Selasa, 06 Desember 2016

NEGARA DAN AGAMA

Dr. Zulfirman, S.H., M.H

         Apakah agama terpisah dari negara atau agama menyatu dengan negara telah menjadi persoalan pemikir kenegaraan. Persoalan itu masih relevan sebagai kajian pemikiran hingga saat ini. Jawaban atas persoalan tersebut masih terdapat perbedaan. Satu pihak menyatakan agama terpisah dari negara, pihak lainnya bersi kukuh mengatakan negara dan agama merupakan kesatuan. Adanya perbedaan pendapat itu sesungguhnya disebabkan perbedaan pendapat mengenai konsep manusia.
Untuk melihat hubungan negara dengan agama haruslah dilihat berdasarkan titik pandang konsep manusia. Mengapa manusia? Karena negara dan manusia adalah dua hal yang tidak terpisahkan satu sama lainnya. Hampir sulit diterima adanya suatu negara tanpa ada manusia dan demikian pula sebaliknya. Hal ini telah menjadi kebenaran umum, bahkan telah ditegaskan oleh Aristoteles dan Ibnu Khaldun.
      
Bila manusia dipandang dari sisi konsep manusia sebagai makhluk religius, sosial, dan biologis tidaklah mungkin agama terpisah dari negara; sebaliknya apabila manusia hanya dipandang dari sisi konsep manusia sebagai makhluk sosial dan biologis semata-mata maka wajar saja bila agama terpisah dari agama.
       Bagaimanapun tidak dapat dipungkiri, agama diperlukan dalam kehidupan bernegara karena hal tersebut berhubungan dengan kebebasan manusia.  Abraham Lincoln, kata Fukuyama dalam bukunya berjudul Kemenangan Kapitalisme Demokrasi Liberal, tidak ragu-ragu untuk menegaskan bahwa kebebasan memerlukan kepercayaan pada Tuhan. Dengan bahasa yang berbeda tapi dengan maksud yang sama ‘Alija ‘Ali Izetbegovic, mantan Presiden Bosnia, mengatakan : ”Jika seseorang memberikan atribut kebebasan kepada manusia, jika ia mengganggap manusia mempunyai beban tanggungjawab, maka ia akan melihat eksistensi Tuhan, baik secara diam-diam maupun secara terbuka. Hanya Tuhan yang mampu untuk menciptakan makhluk bebas, dan kebebasan hanya timbul dari tindakan penciptaan”.
      Menjadi pertanyaan bagi kita bagaimana dengan Negara Indonesia? Apakah Negara Indonesia memisahkan agama dengan Negara atau sebaliknya menyatukan agama dengan Negara? Jawaban ini perlulah di lacak dari apa yang menjadi dasar pandangan hidup bangsa Indonesia yakni Pancasila khususnya dari Sila Pertama: Ketuhanan Yang Maha Esa, Sila ketiga : Persatuan Indonesia, dan Sila Keempat : Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan. Dari ketiga sila tersebut jelaslah Negara tidak terpisahkan dari agama. Bagaimana melaksanakan? Untuk itu dipandu oleh Sila Kemanusiaan yang adil dan beradab (Sila Kedua).  Untuk apa semua itu dilakukan? Hal ini dipandu oleh Sila Keadilan Sosial (Sila Kelima). Khusus Sila Kelima ini bila dilihat dari aspek ekonomi ditujukan mewujudkan kesejahteraan sosial, bila dilihat dari aspek hukum merupakan keadilan untuk semua. Jika dicermati secara mendalam, sesungguhnya Pancasila menggambarkan tentang manusia dalam konsep manusia sebagai makhluk religius, makhluk sosial, dan makhluk biologis. Tiga konsep yang dilekatkan pada manusia itu adalah konsep manusia yang seutuhnya. Dari keterangan ini dapatlah disimpulkan bagi bangsa Indonesia, negara dan agama adalah satu kesatuan.
Bagi bangsa Indonesia menyatunya agama dengan negara bukanlah hal yang baru tetapi suatu keniscayaan, sebagaimana dapat dilihat dari sejarah kerajaan-kerajaan yang pernah ada di Indonesia.  Misalnya  pada kerajaan Hindu Kutai Kartanegara, Kerajaan Budha yakni Sriwidjaya, Kerajaan Hindu Budha Majapahit, Kerajaan Islam Demak dan lain-lain.
       Kesatuan antara agama dengan negara dan bagaimana menjalankan agama jelas diterangkan Ir. Soekarno dalam rapat umum BPUPKI tanggal 1 Juni 1945 dalam pembahasan tentang sila Ketuhanan Yang Maha Esa. Beliau berucap : “Prinsip Ketuhanan! Bukan saja bangsa Indonesia ber-Tuhan, tetapi masing-masing orang Indonesia hendaknya ber-Tuhan…”. “Hendaknya Negara Indonesia ialah Negara yang tiap-tiap orang yang menyembah Tuhannya dengan cara leluasa. Segenap rakyat hendaknya ber-Tuhan, secara kebudayaan, yakni dengan tiada egoisme-agama. Dan hendaknya Negara Indonesia satu Negara yang bertuhan!”
     Masalahnya sekarang, adalah bagaimana kita bertindak dan memperlakukan agama dalam kehidupan saat ini? Untuk itu kita harus berpandu pada lakukanlah sebagaimana apa yang dimintakan oleh Sila Kedua Pancasila : Kemanusiaan yang adil dan beradab,  dalam perbuatan saling hormat menghormati. Intinya menumbuhkembangkan sikap toleransi oleh semua pihak. Bagaimanapun juga manusia tidak akan dapat hidup menghindarkan diri dari manusia yang banyak. Manusia tidak akan hidup jika tidak suka menerima pertolongan manusia lain, tidak suka bercampur gaul dan tolong menolong untuk mencukupkan kebutuhan hidupnya, oleh karena itu manusia adalah negara atau masyarakat. Disanalah arti pentingnya toleransi. Contoh klasik sikap toleransi beragama pernah dicontohkan oleh  Raja Pertama Persia Kuno, Cyrus Agung, tahun  539 SM yang menaklukkan kota Babel. Penaklukan itu, berikutnya menandai kemajuan besar bagi manusia. Dia membebaskan para budak, menyatakan bahwa semua orang memiliki hak untuk memilih agama mereka sendiri, dan mendirikan kesetaraan ras; sebagaimana tertuang dalam Cyrus Cylinder sebuah catatan kuno  dari tanah liat yang sekarang ini diakui oleh PBB sebagai piagam pertama HAM di dunia.
           Dalam ajaran Islam, bentuk toleransi dapat dilihat dari kalimat “agamamu untuk mu, agamaku untuk ku”. Intinya adalah saling hormati menghormati masing-masing pemeluk agama. Wujud konkritnya adalah jangan gunakan dalil agama orang lain yang berbeda agama yang kita anut. Misalnya tepatkah bagi seseorang non muslim menggunakan dalil surat Al Maidah ayat (51) untuk memilih pemimpin dalam kehidupan sosial? Padahal surat Al Maidah ayat (51) dengan tegas ditujukan kepada manusia dalam konsep makhluk religius sebagaimana terlihat  ayat tersebut dimulai dengan kalimat : “Hai orang yang beriman!”, bukan manusia dalam konsep makhluk sosial.  Dalam Al Qur’an konsep manusia sebagai makhluk sosial disebutkan dengan kalimat “Hai manusia” yang menunjukan eksistensi manusia secara keseluruhan tanpa melihat status keimanan.  Jadi, perkataan yang mencampur adukan dua pengertian tersebut tidakkah dapat dikatakan melanggar toleransi bergama?  atau lebih dalam lagi bukankah perkataan itu sebagai bentuk perlawanan terhadap Pancasila? Oleh karena itu, adil dan beradabkah  bila umat muslim yang merasa terusik kenyamanannya beragama menuntut keadilan?  Untuk memperoleh jawaban pertanyaan tersebut  marilah kita direnungkan apa yang diungkapkan oleh pahlawan proklamator kita, Ir. Soekarno, dan untuk lebih objektif lagi  perlu pula kita renungkan apa yang dikatakan oleh Abraham Lincoln, ‘Alija ‘Ali Izetbegovic dan apa yang telah dipraktikan oleh Raja Pertama Persia Kuno, Cyrus Agung sebagaimana diuraikan di atas. Terakhir tanyakan pada  hati nurani kita dalam kapasitas sebagai makhluk religius.


Tulisan ini dimuat di Majalah Forum Keadilan Edisi No. 30 Tahun XXV.05-11 Desember 2016.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar