Kamis, 03 November 2016

ERRARE HUMANUN EST



      Kasus Jessica “kopi bersianida” yang menempuh persidangan sebanyak 31 kali mendapat perhatian besar dan serius dari publik, yang berdasarkan agenda persidangan akan diputus oleh hakim pada tanggal 27 Oktober 2016.  Dilihat dari jalannya persidangan  dan tidak jelasnya fakta Jessica ada membawa sianida dan menaruhnya dalam gelas yang diminum Mirna berpotensi besar terjadinya kekhilafan dan kekeliruan peradilan dalam memutus perkara dimaksud; karena putusan didasarkan pada perasangka-perasangka atas saksi dan aktor-aktor yang terlibat di persidangan.  Bila itu terjadi dapat diasumsikan putusan pengadilan berpotensi besar berada dalam kesesatan.  Memang khilaf adalah insaniah - errare humanun est.
        Khilaf dan kekeliruan sebagai sifat insani acap terjadi dalam kehidupan sehari-hari dan bukan tidak mungkin terjadi di dunia peradilan. Orang mungkin tidak mempersoalkan secara serius bila khilaf dan kekeliruan yang terjadi di luar dunia peradilan. Pernyataan maaf mungkin dapat menganulirnya. Beda halnya bila khilaf dan kekeliruan terjadi di dunia peradilan, peluang besar terjadinya ketidakadilan bertahta merampas dan memperkosa sisi kemanusian manusia. 

          Di Inggris pernah terjadi Ratu Elizabeth II merehabilitasi atas seseorang yang terlanjur dihukum gantung. Orang tersebut dipersalahkan memperkosa dan membunuh anaknya sendiri yang hanya satu-satunya. Segala upaya sang ayah untuk membebaskan diri dari tuduhan telah melakukan perbuatan keji, tak berhasil sama sekali membuktikan dirinya tidak bersalah. Semua kepingan-kepingan fakta menyudutkannya, sehingga seluruh jury bersepakat menyatakan dirinya bersalah. Lebih dari itu, masyarakat Inggris mengecamnya sebagai seorang yang biadab, pendosa di luar batas. Akhirnya orang tersebut mati di tiang gantungan mengikuti anak tunggalnya yang telah meninggal lebih dahulu itu.  Ironisnya dengan hukuman itu garis keturunannyapun  punah.  
     Di Indonesia, menarik untuk diingat kembali, kasus Senkon dan Karta yang dihukum oleh Pengadilan Negeri Bekasi karena merampok dan membunuh Suleman. Mereka dihukum tanpa salah yang hanya rasa sentimen dan perasangka.  Karena kedua orang tersebut mempunyai masa lalu yang kurang baik. Maka lingkungan masyarakat yang  pada dasarnya telah menaruh kecurigaan membebankan dosa atas perampokan dan pembunuhan tersebut kepada mereka. Para saksi yang berperangka telah menyudutkan kedua mereka dengan kesaksian dan keliru. Dan para hakim yang memeriksa perkara tersebut korban sugesti para saksi. Lain halnya dengan Gunel terketuk nuraninya dan menaruh iba kepada kedua orang yang tak berdosa itu. Gunel yang semula menyangkal, pada akhirnya mengakui dosanya dan itu membuahkan peninjuan kembali perkara Sengkon dan Karta yang memulihkan kembali martabatnya. Tapi adalah suatu fakta yang tak dapat dipungkiri hak dasar mereka telah dirampas oleh pengadilan selama mereka menjalani hukuman.
       Pengakuan Gunel sama persis dengan pengakuan seorang kelasi yang membunuh pengembala bernama Meier di  hutan cemara Pommern, Prusia, pada tahun 1834;  dalam kata terakhirnya, saat ia akan menjalani hukuman mati dalam kasus pembunuhan seorang rentenir dan pembantu rumah tangganya.  Ia mengatakan : “Sebelum muncul di hadapan Tuhan, saya ingin membebaskan hati nurani saya dari sebuah beban yang berat. Sepuluh tahun yang lalu, saya memukul mati seorang pengembala di hutan Pommern karena saya bertengkar dengannya mengenai sekotak kecil kawul. Karena saya marah, ia saya pukul dengan pentungan yang berat di kepalanya sampai beberapa kali, sehingga ia mati dan roboh di tanah. Saya menggeledahnya dan di dalam sakunya menemukan sebuah kantung tembakau dan pemantik apinya saya bawa. Dan barang-barang ini termasuk dalam harta benda saya yang disita dan disimpan untuk pemeriksaan. Agar tidak ada orang yang tak berdosa harus menderita, saya minta supaya hal ini dicantumkan dalam berkas”.  Pengakuan kelasi tersebut sudah terlambat, sebab terhadap kasus pembunuhan pengembala tersebut terlanjur telah dihukum gantung seorang laki-laki bernama Friederich  Berger oleh pengadilan yang penuh pengakuan palsu. Pada saat Berger menjalani hukuman gantung ia menyampaikan kata-kata terakhirnya : “Tuhan, yang akan saya jumpai dalam beberapa saat lagi, tahu bahwa saya tak bersalah. Pada suatu ketika terungkap siapa yang melakukan pembunuhan”. Setelah itu ia mati dengan tenang. Ironis memang.   
        Kekhilapan dan kekeliruan peradilan terjadi berhubungan dengan jalannya sidang peradilan dan putusan hakim. Jalannya persidangan amat memungkinkan berpengaruh langsung terhadap perasangka, sikap dan pandangan hakim atas faktanya yang dihadapinya. Terkadang perasangka telah membawa seseorang masuk dalam dunia kekhilapan dan kekeliruan demikian pula terhadap diri seorang hakim yang terjebak mitos yang menyebutkan bahwa hanya dengan mengenakan jubah hitam dan mengambil sumpah sebagai hakim, seseorang dengan serta merta kehilangan kelemahannya sebagai manusia dan terlepas dari segala kecenderungan, ia menjadi mesin pemikir yang tidak punya perasaan. Tersembunyinya unsur manusia dalam proses yudisial membuatnya untuk bekerja secara berlebihan, dan hatinuraninyapun dapat menjadi tumpul.
   Sebagai penegak keadilan, hakim mempunyai kewajiban berusaha sebaik-baiknya untuk memastikan  motif dan bias dari fakta-fakta yang ditemukannya dalam persidangan. Hakim dalam pencarian fakta atas suatu perkara yang dihadapinya yang didasarkan pada penilaiannya mengenai keandalan para saksi yang diambil sumpahnya, penuntut umum, para pembela dan pelapor atas apa yang mereka lihat dan mereka dengar. Sudah menjadi tugas seorang hakim, ketika dia mendengar dan melihat mereka, untuk membentuk sikap terhadap mereka. Dia harus berusaha sebaik-baiknya untuk memastikan motif, bias, serta kegemaran dan minat yang mempengaruhi mereka, karena hanya dengan cara begitu dia dapat menilai keakuratan cerita mereka. Dia juga harus mengamati dengan cerdas tipu daya dari para para pihak yang terlibat dalam persidangan, memperhatikan upaya mereka untuk mempengaruhi dirinya, karena dengan cara begitu dia dapat menilai keakuratan cerita mereka.  Hakim harus mampu menembus apa yang ada dibalik ucapan mereka sehingga mengetahui tujuan dan motif mereka yang sebenarnya. Hakim mempunyai kewajiban resmi untuk selalu berperasangka dalam pengertian itu. Hakim yang tidak memihak bukan berarti mudah tertipu, tidak berkepentingan bukan berarti polos seperti anak kecil.  
           Penemuan faktanya oleh hakim mungkin salah, sebagai manusia, dia tidaklah sempurna bahkan seorang hakim yang mengaku menjadi manusia super atau manusia setengah dewa cenderung akan dikuasai oleh perasangka yang tidak pantas. Oleh karena itu, agar hakim terhindar dari perasangka palsu yang mungkin dapat menimbulkan kekhilapan dalam putusannya, maka ia harus memberi penilaian secara cermat dan hati-hati  mengenai para aktor yang bermain dalam panggung gedung pengadilan sebelum dia mengambil keputusan yang bersifat menentukan itu.
      Demikian terlihat bagaimana khilap dan kekeliruan pernah terjadi pada  diri hakim dalam persidangan dalam memberikan putusannya. Namun, perlu disadari keinsafan akan errare humanun est  haruslah diartikan bahwa keinsafan atas ketidaksempurnan manusia seharusnyalah mendorong semua penegak hukum untuk memperjuangkan hak-hak asasi manusia, dan menjauhi lorong-lorong yang mungkin menjebaknya pada kesesatan pengadilan.
      Bagaimanapun tidak dapat dipungkiri kesesatan peradilan mempunyai dampak yang cukup mengerikan dan bentuk penghancurleburan sisi kemanusian manusia.  Ketidakadilan, melawan fitnah, kebencian, dan kebodohan dan sikap membuta yang mungkin terjadi di panggung peradilan harus diperotes. Dalam sejarah perjalan hidup umat manusia menjelaskan kepada kita, dihukumnya seseorang yang tak bersalah merupakan urusan semua orang yang berfikir.
         Bagi penegak hukum di Indonesia hendaklah terpatri dalam akal dan hatinya, di dalam hidup yang fana ini, dengan segala kelemahan hati dan pikiran kita menanti suatu mahkamah Sang Maha Adil  yang tidak dapat diakali dan direkayasa, disuap, atau dihindari; kesanalah kita menuju.
Medan, 15 Oktober 2016

Penulis
Zulfirman
Staf pengajar Fakultas Hukum, Program Pascasarja Ilmu Hukum Universitas Pembinaan Masyarakat Indonesia Medan.
Artikel ini dimuat di Forum Keadilan No.  24, Tahun XXV/24-30 Oktober 2016

Tidak ada komentar:

Posting Komentar