Senin, 03 Juni 2013

ILMU DAN AGAMA

ILMU BERBASIS IMAN


Zulfirman@ 
Pendahuluan
Sejarah pemikiran manusia terhadap fenomena diawali melalui pemahaman intuitif, yakni percaya pada mitos, kemudian meninggalkan mitos dengan berpikir rasionalitas. Dalam perkembangannya, akallah sebagai kunci untuk menetapkan kebenaran. Pendewaan akal yang demikian besar inilah melahirkan ilmu pengetahuan dan tehnologi dewasa ini, sehingga segala sesuatu yang tidak dapat diketahui, dikenali, dan dijelaskan oleh akal dianggap bukan sebagai ilmu. 

Ilmu sering begitu saja ditautkan dengan rasionalisme karena justru dalam ilmu akallah yang tampil, lebih dari kemauan, perasaan, atau intuisi.1 Hal inilah yang melandasi lahirnya ilmu berbasis sekuler. Penggunaan akal untuk menerangkan dan memahami fenomena disebut sebagai kegiatan yang rasionalitas. Dan mereka itu dikatakan sebagai penganut rasionalisme.2

Secara praktis, dapat dilihat, bahwa ciri khas yang menonjol abad modern sekarang ini adalah peranan ilmu pengetahuan dan teknologi. Menurut Marcuse, rasinonalitas dalam jaman sekarang ini adalah rasinalitas teknologis. Segala sesuatu dipandang dan dihargai sejauh dapat dikuasai, digunakan, diperalat, dimanipulasi, ditangani. Dalam pandangan teknologis, instrumentalisasi merupakan kunci. Mula-mula cara berpikir dan bertindak ini hanya diprak-tikkan dalam hubungan dengan alam saja, tetapi lama kelamaan diterapkan juga pada ma-nusia dan seluruh lapangan sosial. 3 

Dalam kehidupan masyarakat Barat perkembangan ilmu pengetahuan tidak dapat dipisahkan dari pemenuhan kebutuhan hidup. Mereka pada intinya menggabungkan ekonomi, politik, dan ilmu pengetahuan dan hal ini yang membawa manusia dan alam pada titik nadir yang memprihatinkan. Kerusakan alam semesta dan dehumanisasi adalah suatu peristiwa yang akrab dalam kehidupan manusia sekarang ini. Trio yang terdiri dari ekonomi, politik, dan ilmu pengetahuan melahirkan satu dimensi (one dimensionality) yaitu sistem tehnologis yang totaliter.4 Fakta konkrit yang demikian itu, menimbulkan rasa kehampaan dan kesepian terhadap ummat manusia sebagai masalah utama kehidupan modern dewasa ini. Oleh karena itu, perlu dilakukan gugatan terhadap ilmu-ilmu yang berbasis akal murni. Sudah saatnya, semua ilmuwan untuk jeda sejenak dari kegiatan berfikirnya dan merenung untuk menemukan substansi ilmu yang sesungguhnya.

Dari uraian di atas, dapatlah dirumuskan permasalahan apakah alat yang menjadi basis ilmu untuk menemukan kebenaran yang menenteramkan sehingga ilmu benar-benar memberi keselamatan dan kebahagiaan bagi ummat manusia dan mampu berhubungan mesra dan intim dengan alam semesta?

Sejarah Pemikiran Manusia

Sekitar di antara abad keenam dan keempat sebelum Masehi, perkembangan luar biasa terjadi di sejumlah tempat secara terpisah di seantero bumi. Di berbagai wilayah di selatan, utara dan timur Mediternia, di Cina dan beberapa wilayah di antaranya, para pemikir kreatif mulai menantang dan melampui kepercayaan-kepercayaan religius, mitologi, dan folklor masyarakatnya yang sudah mapan. Pemikiran mereka makin abstrak. Pertanyaan-pertanyaan mereka makin menyelidik. Jawaban-jawaban mereka makin ambisus, makin spekulatif, dan makin memicu kemarahan.5 Itu semua sebagai upaya akal menjelaskan fenomena, dan yang demikian inilah sebagai hal ikhwal lahirnya ilmu.

Dalam sejarah pemikiran Barat, penggunaan akal untuk menerangkan dan memahami fenomena, sepanjang yang dapat dilacak, dimulai pertama sekali oleh Thales, seorang filsuf Yunani kuno. Dialah yang menggunakan akal untuk menerangkan dan memahami fenomena alam ini dengan pertanyaan apa asal alam ini? Apa yang menjadi sebab penghabisan dari pada segala yang ada? Menurutnya, hakekat yang ada adalah air. Air adalah permulaan dan penghabisan. Pemikiran yang demikian itu diikuti pula oleh Anaximandros yang mengatakan asal segala yang ada adalah Api, sedangkan menurut Anaximenes asal segala yang ada adalah Udara.6

Sesuai dengan sikap kritis dan rasa ingin tahu manusia yang tiada henti-hentinya, terjadi perubahan pemikiran manusia tentang kebenaran, yaitu terjadinya pergeseran tentang pusat kebenaran yaitu manusialah sebagai pusat kebenaran. Pengagungan akal yang demikian itu dimulai oleh kaum sofis dan tokoh utamanya adalah Sokrates yang kemudian dilanjutkan oleh Plato dan Aristoteles dan selanjutnya ikuti oleh para ilmuwan hingga saat ini.

Menurut kaum sofisme, kebenaran pertama-tama berkedudukan dalam diri si pengenal. Kebenaran diberi batasan sebagai penyamaan akal dengan kenyataan, yang terjadi pada taraf inderawi maupun akal budi tanpa pernah sampai pada kesamaan sempurna yang dituju kebe-naran dalam pengalaman manusia. Ilmu-ilmu empiris memegang perannya dalam usaha mengejar kesamaan itu. Dalam bidang ilmu-ilmu itu sendiri pun kebenaran selalu bersifat sementara. Ilmu-ilmu pasti tidak langsung berkecimpung dalam usaha manusia menuju kebe-naran, tepatnya perjalanan ilmu-ilmu itu merupakan suatu sumbangan agar pengetahuan di luar ilmu-ilmu itu makin lancar mendekati kebenaran.7 Dari sini kemudian berkembang penjelasan dan pemahaman terhadap fenomena sebagai kegiatan ilmu.

Melalui konteks sejarah di atas, dapatlah difahamkan bahwa pada hakikatnya Ilmu tidak hanya menerangkan, melainkan juga berusaha memahami semua fenomena yang ada.8 Ilmu pengetahuan tidak mungkin ada. Satu-satunya sumber untuk mengetahui adalah panca indera,9 dan alat utama yang dipergunakan adalah akal murni. Akal sebagai alat untuk berpikir, dijadikan ukuran dari segalanya. Kedudukan akal demikian tingginya bahkah didewakan  sebagaimana dikatakan oleh Aristoteles akal adalah Tuhan. Tuhan adalah Fikiran yang ber-Fikir.10 Konsekuensinya adalah menimbulkan ide Barat atas perlakuan manusia terhadap alam semesta. Menurut ide Barat, alam semesta sebagai “kerajaan besar, yang diatur oleh logos yang suci“ lebih banyak berkaitan dengan otoritas kerajaan yang tersentralisasi di Eropa daripada dengan gagasan universal lainnya. Jadi, ilmu adalah yang empiris, yang rasional, yang umum, dan bertimbun-bersusun; dan keempat-empatnya serentak.11 Senada dengan itu, V. Afanasyef, mengatakan ilmu pengetahuan adalah pengetahuan manusia tentang alam, masyarakat, dan pikiran. Ia mencerminkan alam dalam konsep-konsep, kategori-kategori dan hukum-hukum, yang ketepatannya dan kebenarannya diuji dengan pengalaman praktis.12

Kultur Barat memandang kehidupan manusia di bumi merupakan tujuan akhirnya karena itu mereka tidak percaya akan perlunya mempertahankan kehidupan ini demi alasan apapun, sungguhpun ongkosnya adalah kehilangan martabat manusia dan menjadi binatang.13 Masyarakat Barat telah dirasuki faham yang aneh, kontradiksi pemikiran, kejiwaan dan juga kehidupan materi.14 Herman Soewardi15 menyebutkan hal inilah yang menyebabkan ilmu berbasis sekuler memunculkan perilaku resah, renggut dan rusak baik terhadap sesama manusia mau pun atas alam semesta.

Ilmu berbasis Iman

Uraian di atas, telah memberikan gambaran bahwa objek ilmu adalah “yang ada”, dan alat yang dipergunakan untuk menjelaskan dan memahaminya adalah akal berdasarkan pengalaman. “Yang ada” sebagai objek ilmu adalah yang tercerap oleh indera manusia. Di luar itu tidak menjadi kajian ilmu. Persesuaian antara pikiran dan kenyataan diklaim oleh ilmu pengetahuan sebagai objektif dan netral.  Untuk ini timbul pertanyaan yang mendasar, apa yang diketahui oleh akal atas pengalaman atau fenomena itu sesungguhnya fenomena itu sedemikan adanya? Bila ilmu benar-benar objektif dan netral mengapa terdapat perbedaan pandapat dan teori atas suatu objek atau fenomena yang sama?  Bukankah hal itu menunjukkan atau bahkan membuktikan bahwa alat yang dipergunakan, yaitu akal, adalah terbatas?

Keterbatasan akal juga dapat dilihat dari krisis energi kekuatan dan kecermatan yang dialami oleh akal. Akal sangat tergantung pada waktu dan tempat di mana akal itu bersemayam, hal ini membuktikan keterbatasannya akal itu. Bila akal terbatas apakah ada alat lain dari diri manusia untuk mampu mengetahui, menjelaskan dan memahami fenomena (objek) kajiannya secara tepat dan sungguh-sungguh objektif? Pertanyaan-pertanyaan kritis perlu diajukan untuk dapat menemukan kebenaran yang sesungguhnya objektif. Dengan cara ini dapatlah dilakukan koreksi terhadap ilmu berbasis akal murni.

Pemikir-pemikir Yunani kuno dan dilanjutkan oleh ilmuan Barat mencari kebenaran di-mulai dari alam nyata, materi, sampai ke puncaknya yang lebih abstrak yaitu metafisika, tegasnya dari bawah ke atas.16 Konsekuensi logis dari pendekatan ini fenomena yang ada itulah pada hakekatnya yang absolut. Akibatnya ilmu pengetahuan, akal, dipergunakan juga untuk membuktikan kebenaran agama sekaligus menjelaskan fenomena (objek) yang ada. Pendekatan ini pada puncaknya menimbulkan konplik antara ilmu dan agama dan berakhir dengan terpisahkan ilmu dengan agama.

Hakekat ilmu pada dasarnya upaya untuk menjelaskan dan memahami tentang yang ada dalam bentuk fenomena atau materia. Alat untuk menjelaskan adalah akal. Ilmu pengetahuan sekuler membatasi “yang ada“ terbatas hanya dua, yaitu alam semesta, dan manusia.  Alam dan manusia saling berhubungan dari hubungan itulah muncul pengetahuan untuk menjelaskan.  Fungsi Ilmu sebagai menjelaskan merupakan bidang epistimologi dari suatu ilmu. Dalam ilmu pengetahuan sekuler epistimologi setiap pengetahuan manusia itu adalah hasil dari kontaknya dua macam yang ada, yaitu (a) benda atau yang diperiksa, diselidiki, dan akhirnya diketahui (objek); (b) manusia yang melakukan pelbagai pemeriksaan dan penyelidikan dan akhirnya mengetahui (mengenal) benda atau objek tadi.

Epistimologi ilmu pengetahuan yang disebutkan di atas menjadi dasar epistimologi sains modern begitu kuat dengan mengagungkan pendekatan rasionalisme, emprisme, obyektifisme, dan eksperimantalisme. Dengan demikian, ilmu pengetahuan sangat terikat pada tempat dan waktu atau benda (materi). Inilah yang oleh para saintis modern dianggap sebagai satu-satunya kutub pendekatan atau metodologi ilmiah yang amat menakjubkan. Pengagungan yang demikian inilah yang melandasi keyakinan dan pikiran ilmiah para saintis modern, yang disebut sebagai paradigma sains modern.

Namun, dalam perkembangannya, nyata kemudian bahwa paradigma itu tidak mampu memberikan jawaban yang komplit atas berbagai realitas dan fenomena yang berkembang. Misalnya soal siapa sesungguhnya manusia, soal asal-usul alam, struktur atom, hakekat elektron, materi terkecil alam, dan lain-lainnya  tidak mampu dijawab oleh paradigma itu.17 Ketidak mampuan ilmu pengetahuan untuk memberikan jawaban yang komplit atas berbagai realitas dan fenomena yang berkembang terbukti terdapatnya berbagai perbedaan pendapat dan teori para ilmuan untuk objek yang sama. Misalnya, Thales menyebutkan asal yang mutlak itu adalah air, Anaximendes mengatakan api, Anaximandros mengatakan udara, Plato dengan konsepsi “cita (idea)”, Aristoteles dengan “entelechi”, Spinoza dengan “substansi”, Hegel dengan “roh”, Marx dengan “perjuangan kelas”, Schopenhauer dengan “kemauan”, Bergson dengan “élan vital”.

Ajaran Islam memberikan keterangan bahwa “yang ada“ di dunia ini ada tiga macam, yaitu: (a) Tuhan (b) Manusia dan (c) Alam. Ketiga “yang ada” itu saling berinteraksi satu sama lainnya. Dari hubungan tiga “yang ada” itu dapat dipahamkan Tuhan sebagai dunia serba ruh (idea), alam sebagai materi dan manusia tempat berpadunya dunia ruh (idea) dan materi (alam). Keberadaan tiga “yang ada” itu saling berhubungan satu sama lainnya dan merupakan satu ke-satuan yang saling terkait pula antara satu dengan lainnya. Hubungan  antara ketiga “yang ada” sebagai suatu kenyataan yang mempunyai makna dan bernilai karena pada hubungan itu terkandung cara dan tujuan. Dan hubungan dari tiga “yang ada“ itulah terlihat sari kehidupan.  Saripati dari tiga “yang ada” itu adalah ruh dan materi. Esensi ruh dan meteri terlihat jelas pada diri manusia. Sesuai dengan esensinya yang demikian  itu, manusia mempunyai kedudukan yang sentrum serta fungsi yang  penting di dunia realitas.

Bertitik tolak dari hubungan sebagai sari kehidupan, maka hubungan tiga “yang ada“  ditemui pula tiga pola hubungan yang mendasar, yaitu (a) Hubungan Tuhan dengan manusia, dan alam (b) Hubungan antar sesama manusia (c) Hubungan antar manusia dan alam lingkungan semesta. Dari tiga pola hubungan itu, timbul pertanyaan, siapakah causa finalis hubungan itu? Jawaban atas pertanyaan ini amat penting guna menentukan pola hubungan dan perilaku ketiga “yang ada“ tersebut terhadap pemikiran manusia khususnya dalam bidang ilmu dan agama. Penjelasan dan pemahaman atas tiga pola hubungan itulah akan ditemukan kebenaran pemikiran yang objektif.

Menjawab pertanyaan tersebut di atas, ajaran Islam telah memberikan patokan yang kokoh dan kuat, melalui pengikraran tauhid, yaitu dua kalimah syahadat. Dalam ajaran Islam. Ikrar tauhid inilah inti pokok untuk menentukan jalannya sari kehidupan. Iman atau keyakinan inilah sebagai titik pangkal dari pengetahuan. Hal ini tegas disebutkan di dalam Al Qur’an surat Al Alaq ayat (1-5), yang intinya membaca atas nama Tuhan dan menulis atas ajaran Tuhan. Membaca mempunyai kaitan yang erat dengan perkembangan ilmu demikian pun menulis. Keduanya berkaitan dengan riset, observasi analisis, ekperimen, dan perumusan teori.

Konsekuensi dari pernyataan tauhid tersebut, maka dalam tiga pola hubungan “yang ada” itu Tuhan adalah sebagai causa finalis pola hubungan, sebab Tuhan adalah pencipta ma-nusia dan alam. Sebagai Pencipta membawa konsekuensi bahwa Tuhan adalah pusat hubungan dan pembentuk hubungan. Sebagai Pencipta pula, Tuhan yang mengetahui secara pasti apa yang dibutuhkan oleh manusia dan alam. Dalam hubungan Tuhan dengan manusia, dan alam; maka Tuhan menyapa manusia dan alam untuk melakukan apa yang terbaik untuk manusia dan alam tersebut. Melalui sapaannyalah Tuhan menentukan bagaimana hubungan itu dijalankan, baik hubungan antara Tuhan dengan manusia, hubungan sesama manusia dan hubungan manusia dengan alam. Hubungan-hubungan yang ada, pada dasarnya adalah untuk keteraturan dan ketertiban dari dua atau lebih hal yang berinteraksi. Dari interaksi itulah ditemukan ontologi, epistimologi dan aksiologi sebagai kajian filsafat ilmu. Keteraturan berkenaan dengan landasan substansi dari ilmu, dan ini ada dalam dunia ruh (Idea) atau sebagai jiwa ilmu, sedangkan ketertiban ada dalam dunia akal, yang berkenaan dengan materi dan ini merupakan tubuhnya ilmu. Oleh karena itulah pandangan Islam dalam ketauhidan menganut kemapanan dan absolut, bukan  relativisme dan anti kemapanan. Pendobrakan terhadap kekuasaan absolut itulah munculnya konflik antara ilmu dengan agama.

Tuhan adalah esensi yang universal sifatnya dan dianut oleh setiap manusia. Karena manusia pada hakekatnya adalah makhluk yang religius dan keberadaan Tuhan adalah menjadi kebutuhan laten bagi dirinya. Kalau pun ada perbedaan tentangnya tidaklah berkenaan dengan hakekat adanya Tuhan melainkan mengenai hakikat makna Tuhan dalam pembahasaan.

Upaya pencarian Tuhan telah dilakukan oleh umat manusia sejak zaman primitip hingga masa kini. Awal anjak pencarian Tuhan oleh manusia dimulai dan bersandar pada benda-benda materi (ujud nyata) sampai kepada dunia yang tidak dapat disentuh oleh panca indera yaitu ruh. Percaya pada roh-roh merupakan kepercayaan yang paling padat dan paling melekat dengan intuisi manusia pada permulaan menemukan jalan beragama dan berkepercayaan.18 Hal ini membuktikan, bahwa  kebutuhan akan Tuhan adalah kebutuhan laten dan hakiki manusia. Tuhan tidak dapat dipahami sebagai Tuhan yang antropomorfis. Kita hanya dapat mengetahui esensi Tuhan dalam makna kata “meng-ada”. Kata kerja meng-ada (to be), digunakan dengan dua cara yang berbeda: Pertama, kata tersebut berarti tindakan bereksistensi (actu essendi); Kedua, kata tersebut berarti komposisi dalil-dalil yang diciptakan jiwa dengan menggabungkan sebuah predikat dengan sebuah subjek. Pengertian meng-ada yang kedua inilah yang dapat dipergunakan untuk memahami esensi Tuhan.19
Berdasarkan penggunaan akal seadanya, sebagian orang meragukan, apakah Tuhan itu ada? Artinya dengan akalnya ada sebagian orang meragukan adanya Tuhan, karena akalnya tidak mampu mengecap tentang ada-Nya itu.20 Ketidaktahuan akal tersebut tidaklah berarti Tuhan tidak ada, karena akal tidak tahu bukan berarti sesuatu yang tidak diketahuinya itu tidak ada, tapi karena ia belum sampai pada tahu tentang yang ada yang belum diketahuinya itu. Adanya sesuatu yang belum diketahui oleh akal, hal itu dianggap misteri menurut akal, bila akal telah menerimanya barulah, hal itu diakui adanya. Oleh karena itu, manusia bukan pusat kebenaran melainkan ia hanya mengakui adanya kebenaran.21 Jelaslah, pusat kebenaran adalah Tuhan dan kebenaran itu sendiri ditetapkan oleh Tuhan.

Dalam upaya pencarian Tuhan melalui akal dapat didekati melalui pendekatan metafisika yang paling tertinggi, yakni Ada. Di luar pertanyaan: ”Mengapa terdapat adaan-adaan yang tertata rapi? Pertanyaan lain yang jauh lebih mendalam: “Mengapa ada sesuatu dari pada tidak ada sesuatu apa pun?.” Di sini ilmuwan yang tidak mau menanyakan hal tersebut, karena pertanyaan tersebut tidak masuk akal. Secara ilmiah, pertanyaan itu memang tidak masuk akal.  Tetapi,  secara metafisik, kefilsafatan, pertanyaan itu masuk akal dan dapat dipikirkan.22

Sains dapat menjelaskan banyak hal di dunia ini; mungkin pada suatu hari kelak sains dapat menjelaskan, bahwa dunia fenomena sesungguhnya  ada. Tetapi, alasan mengapa segala sesuatu itu ada, atau ber-ada (eksis), sama sekali tidak diketahui olehnya; mungkin sebabnya karena sains bahkan sama sekali tidak dapat mengajukan pertanyaan tersebut. Satu-satunya jawaban untuk pertanyaan tertinggi ini adalah bahwa semua masing-masing dan semua energi eksistensial partikular, masing-masing dan semua benda tertentu yang ber-ada (eksis), menggantungkan eksistensi pada sebuah Tindakan-eksistensi-murni. Agar dapat menjadi jawaban tertinggi bagi semua masalah eksistensial, sang penyebab tertinggi ini harus merupakan eksistensi absolut. Karena absolut, penyebab semacam itu memadai dalam dirinya sendiri; jika dia mencipta, tindakan kreatifnya haruslah bebas. Karena dia tidak hanya mencipta keadaan, tetapi juga tatanan, dia pastilah sesuatu yang setidak-tidaknya sungguh-sungguh memiliki satu-satunya prinsip tatanan yang kita kenal dalam pengalaman kita, yakni pemikiran. Nah, sang penyebab absolut itu, bukanlah sesuatu (it), melainkan Dia (She/He). Singkatnya, penyebab pertama adalah Sang Esa yang menjadi tempat bertemunya penyebab (kausa) alam dan sejarah.23 Jawaban dari filsafat, rasional,  ini telah memberikan argumentasi yang kuat tentang adanya Tuhan.

Tuhan adalah esensi utama dan mengeksistensikan segala sesuatu yang ada. Tuhan sebagai pusat dari segala sesuatu itu. (esensial) bagi Islam. Tuhan adalah pembuat grand design.  Manusia dan alam adalah sesuatu yang dieksistensikan oleh Tuhan, karenanya antara Tuhan dan yang dieksistensikan-Nya tetap terjalin keterikatan yang kuat yaitu dalam bentuk hubungan, yaitu hubungan manusia dengan Tuhan dan sebaliknya. Dalam tataran ini, haruslah dipahamkan bahwa Tuhan adalah inti kenormatifan, yang berarti Tuhan adalah satu-satunya yang Mengatur, Mengelola, Memelihara, dan Memerintah.24 Dengan demikian Tuhan adalah pusat dari asal dan tujuan akhir segala sesuatu.

Konsekuensi bahwa Tuhan adalah esensi utama, maka Tuhan juga sebagai Pelaku sem-purna (a perfect agent) dalam arti tak satu pun yang dapat mencegah-Nya dan tidak ada kekurangan pengetahuan atau motivasi pada-Nya. Tindakan-Nya adalah sempurna dalam arti, ia sepenuhnya dilaksanakan secara rasional, tanpa kepentingan pribadi, dan dengan pemahaman utuh atas akibat tindakan-Nya. Selanjutnya, dalam kenyataannya, gagasan kepelakuan yang sudah sempurna itu pun perlu lebih diangkat ke tingkat asal kejadian, sebab ia berbeda sekali dengan yang kita sebut sebagai kepelakuan. Misalnya, kita biasa melakukan sesuatu sekedar untuk  membuktikan bahwa kita bisa melakukannya. Dan karena bertindak dalam konteks informasi yang tidak sempurna, tindakan kita acap ngawur dan tidak tepat guna dalam rangka menggapai tujuannya. Tentunya, ini sangat berbeda dengan tindakan-tindakan Tuhan  yang  sangat  sesuai dengan pandangan utuh atas keadaan dan tidak   terbatasi oleh keberhinggaan (finitude) dan keberwadahan (materiallity).25

Ajaran Islam tidak lagi berupaya mencari Tuhan. Tetapi Islam telah menentukan adanya Tuhan. Di sinilah bedanya dengan pencarian Tuhan menurut akal sebagaimana dilakukan oleh pemikir-pemikir Barat dan Yunani, mereka masih mencari Tuhan dengan menemukan jawaban yang mutlak dari fenomena yang ada melalui akalnya.  Ajaran Islam secara kukuh telah me-nentukan tentang adanya Tuhan. Manusia melalui akal budinya, hanya berupaya menggapai dan memahami Kehendak Tuhan. Pengukuhan ada-Nya Tuhan dalam ajaran Islam diawali dengan ikrar tauhid dalam ucapan duakalimasyahadat, Laillahailallah, Muhammadurrasulullah. Kalimat tauhid inilah sumber dan akar dan jalan untuk mengenal, memahami, dan menjelaskan tentang fenomena yang ada.

Dengan ikrar tauhid, dua kalimah syahadat, tersebut pada dasarnya adalah berkenaan dengan “masalah tahu” dan “masalah menjadi.” “Masalah tahu” diderivasi dari kalimat Laillahailallah, sedang “masalah menjadi” diderivasi dari kalimat Muhammaddurarasullah. Keduanya merupakan hubungan yang tidak terpisahkan. Dan pengetahuan yang dihasilkan dari keduanya adalah pengetahuan dan pemahaman manusia yang sempurna. “Masalah tahu“ adalah kerjanya hati26 yang bertujuan untuk menentukan betul dan salah, dan hal ini berkaitan dengan ruh sebagai cikal bakalnya lahirnya kesadaran, dan hatilah yang berpikir.27 Munculnya masalah tahu ini karena adanya hubungan Tuhan, manusia, dan alam yang teratur. Pada tataran inilah, tahu yang sejati itu ditemui, dan itulah sumber dari tahu yang tidak terlalu terikat pada materi atau pengalaman. Ia merupakan hati nurani. Suara hati lebih cenderung merupakan kemampuan seseorang untuk menggali wawasan yang lebih dalam, kepekaan etis, dan pengenalan diri, dan dalam suara hati tradisi dan pengalaman langsung tidak saling bertentangan namun saling berkaitan.28

Dalam tataran filsafat ilmu “masalah tahu“ ini berkenaan dengan ontologi ilmu atau masalah konsep. Ontologi dalam Islam dapat diketahui dalam Al Qur’an dalam surat Al Baqarah, ayat (31)29. Berbeda dengan ilmu Barat sekuler masalah tahu adalah hasil kerja akal yang berasal dari pemahaman realitas dalam alam materi, oleh karenanya tidak tetap dan selalu berubah-ubah tergantung pada objeknya atau fenomenanya. Dan alam materi digerakkan oleh dirinya sendiri secara mekanik.

“Masalah menjadi“ berhubungan erat dengan kerjanya akal yang bertujuan untuk men-jelaskan benar dan palsu,30 dari fenomena atau  benda, materi, yang sangat terkait dengan tempat dan waktu. Masalah menjadi ini adalah adanya hubungan antara Tuhan, Manusia, dan alam yang berjalan secara tertib. Tertib terlibat pada tempat dan waktu itulah menyebabkan bekerjanya akal dan membawa konsekuensi tentang menilai benar atau palsu dari suatu kenyataan atau fenomena. Untuk menjatuhkan penilian maka dilakukan penjelasan dengan tata kerja yang tertentu. Cara kerja yang demikian ini merupakan proses yang dalam tataran filsafat ilmu disebut dengan epistimologi.  Proses atau epistimologi ilmu untuk mengetahui benar atau palsu fenomena dengan tetap berhubungan erat dengan Tuhan sebagai Pencipta sebagaimana tertuang di dalam Surat Al-Baqarah ayat (67-73) menjelaskan dalam Islam bertujuan ganda, yaitu membuktikan kebenaran Tuhan, dan pemanfaatan terhadap kehidupan manusia itu sendiri. Keduanya tidak dapat dipisahkan. Ilmu dan agama dalam pandangan ajaran Islam adalah satu kesatuan. Dalam ajaran Islam ilmu adalah bahasa agama sekaligus bahasa budaya, se-bagaimana terlihat dalam Al Qur’an ditemukan sebanyak 750 kata ilmu. Adalah kekeliruan bila pengertian ilmu yang dipergunakan secara konvensional yaitu yang berkenaan dengan pengalaman empirik dan uji kausalitas saja.31  

Berbeda dengan epistimologi ilmu Barat sekuler yang diurai oleh kekuatan akal semata-mata atas pengalaman, eksperimen, atas fenomena yang ada. Ilmu-ilmu sekuler dalam cara kerjanya hanya bertumpu pada akal dan memisahkan diri dengan hati nurani.  Ilmu pengetahuan yang berkembang dengan metodologi yang dikenal sekarang ini lebih banyak menjangkau kebenaran epistimologik, belum menjangkau substantif hakiki.32 Hal itu terjadi karena mening-galkan rasa, hati sebagai pusat tahu, dan mengutamakan pengujian atau pengukuran atas fenomena yang ada melalui akal semata-mata.  Jiwanya telah putus dari kerinduan kepada Yang Maha Kuasa sebagai penciptanya dan pencipta seluruh alam,33 dan sumber tahu. Mereka jadikan ilmu sebagai Tuhan dan mendewakannya. Mereka mengabdikan kepada syahwat, kesenangan dan kepada zatnya sendiri, membawanya kepada foya-foya yang mengakibatkan kebinasaan di-rinya sendiri, seperti api yang memakan dirinya kalau tidak mendapat lalapan.34  Akibatnya aksiologi ilmu sekuler yang yang bersandar pada akal semata-mata hanya menghasilkan kehampaan dan kesepian sebagai puncak permasalahan utama yang dialami manusia modern saat ini.35 Sebagai akibat bekerjanya akal tanpa diselimuti oleh rasa atau iman atau bersumber pada inti “masalah tahu” yang sesungguhnya.
Jelasnya dalam ajaran Islam jiwanya ilmu adalah iman yang berkenaan dengan hati dan tubuhnya adalah ilmu sebagai domain akal. Dalam penerapannya, aksiologi, keduanya tidak dapat dipisahkan satu dengan lainnya. Inilah hakikat dari ikrar tauhid dan dari sinilah akan muncul ilmu tauhidullah. Jadi, ilmu berbasis tauhid adalah tata nilai inti yang dapat menjamin kehidupan manusia sebagaimana seharusnya ma-nusia dan alam itu sesuai dengan fitrahnya.

Simpulan

Ilmu berbasis iman adalah ilmu yang bersumber pada kalimat dua kalimah syahadat, yaitu berkenaan dengan (a) masalah tahu sebagai kerjanya ruh atau hati, dan (b)  masalah menjadi sebagai kerjanya akal. Masalah tahu berkenaan dengan ontologi yang ditetapkan berdasarkan sumber awalnya yaitu Allah. Ontologi berdasarkan akal bersifat berubah-ubah karena berkaitan dengan fenomena atau materi.

Masalah menjadi adalah masalah epistimologi yang ditetapkan berdasarkan kerjanya akal untuk menjelaskan fenomena dan ia sangat berhubungan dengan pengalaman dan cerapan inderawi. Jadi, akal tidak mengetahui melainkan berfungsi sebagai alat menjelaskan benar atau palsu suatu fenomena. Kebenaran akal adalah kebenaran epistimologik bukan substansif hakiki. Untuk memperoleh ilmu sejati, kerja hati dan akal haruslah seiring sejalan tidak dapat dipisahkan satu dengan lainnya. Inilah ilmu pengetahuan yang dimintakan oleh Islam.

Aksiologi ilmu dalam Islam adalah menjunjung tinggi fitrah manusia dan alam secara penuh santun, karena manusia dan alam adalah makhluk ciptaan-Nya dan dibawah satu kendali Tuhan sang Pencipta asal dan tujuan akhir kehidupan.

DAFTAR KEPUSTAKAAN

Abbas Mahmoud Al-Akkad, 1981, Ketuhanan Sepanjang Ajaran Agama dan Pemikiran Manusia, Bulan Bintang, Jakarta.

Abdulkarim Al Chotib & Dr.Abdul Aziz, 1989, Islam dan Keanehan Ummatnya, Pustaka Mantiq, Solo.

Agus Purwadi, 2002, Teologi, filsafat dan Sains, Pergumulan dalam Peradaban mencari Parafigma Islam untuk Ilmu dan Pendidikan, UMM, Malang.

A. Epping O.F.M, dkk, 1983, Filsafat Ensie, Jemmars, Bandung.

C.Verhaak, 1995, Filsafat Ilmu Pengetahuan, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.

Etienne Gilson, 2004, God and Philosophy, terjemahan, Mizan, Bandung.

Endang Saifuddin Anshari, 1987, Ilmu, filsakat, dan Agama, Bina Ilmu Surabaya.

Frans Rosenthal, 1970, Knowlegde Triumphant, E.J.Brill, Leiden.

Herman Suwardi, Catatan kuliah Filsafat Ilmu, pada program S-3 Ilmu Hukum UII, Yogjakarta, tanggal  18 Februari 2006.

K.Bertens, 1981, Filsafat Barat dalam abad XX, Gramedia Jakarta.

Lias Hasibuan, 2004, Berfikir Reflektif Qur’ani, Menebus Tabir Akidah, Menemukan Pemahaman Yang Mencerahkan, SAPA Projek, Jambi.

Neong Muhadjir, 2001, Filsafat Ilmu, Positivisme, Post Positivisme dan Post Modernisme, Edisi II, Rake Sarasin.

Oliver Leaman, 2002, Pengantar Filsafat Islam Sebuah Pendekatan Tematis, Mizan, Bandung.

Orloc, 1987, Kekuasaan, Erlangga, Jakarta.

Ralp Ross and Ernest Van Den Haag, 1957, The Fabric of Society, New York.

Robert C.Solomon & Kethleen M.Higgins, 2002, Sejarah Filsafat, Bentang Budaya, Yogyakarta.

Rollo May, 1993, Manusia Mencari Dirinya, Memahami Manusia Modern di Tengah Berbagai Kompleksitas Dan Konplik yang dihadapinya, Mitra Utama, Jakarta.

Sayyed Hussein Nasr, 2003, Antara Tuhan, Manusia, dan Alam, IRCsoD, Yogyakarta.

Van Peursen,1989, Susunan Ilmu Pengetahuan, Sebuah Pengantar Filsafat Ilmu Gramedia, Jakarta.
 
 ----------------------------- 
@ Dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Sumatera Utara, Fakultas Hukum Universitas Pembinaan Masyarakat Indonesia, Sekolah Tinggi Ilmu Hukum Swadaya Medan, dan Advokat.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar