Kasus
Jessica “kopi bersianida” yang menempuh persidangan sebanyak 31 kali mendapat
perhatian besar dan serius dari publik, yang berdasarkan agenda persidangan
akan diputus oleh hakim pada tanggal 27 Oktober 2016. Dilihat dari jalannya persidangan dan tidak jelasnya fakta Jessica ada membawa
sianida dan menaruhnya dalam gelas yang diminum Mirna berpotensi besar
terjadinya kekhilafan dan kekeliruan peradilan dalam memutus perkara dimaksud;
karena putusan didasarkan pada perasangka-perasangka atas saksi dan aktor-aktor
yang terlibat di persidangan. Bila itu
terjadi dapat diasumsikan putusan pengadilan berpotensi besar berada dalam
kesesatan. Memang khilaf adalah insaniah
- errare humanun est.
Khilaf dan kekeliruan sebagai sifat insani acap terjadi dalam kehidupan sehari-hari dan bukan tidak mungkin terjadi di dunia peradilan. Orang mungkin tidak mempersoalkan secara serius bila khilaf dan kekeliruan yang terjadi di luar dunia peradilan. Pernyataan maaf mungkin dapat menganulirnya. Beda halnya bila khilaf dan kekeliruan terjadi di dunia peradilan, peluang besar terjadinya ketidakadilan bertahta merampas dan memperkosa sisi kemanusian manusia.
Khilaf dan kekeliruan sebagai sifat insani acap terjadi dalam kehidupan sehari-hari dan bukan tidak mungkin terjadi di dunia peradilan. Orang mungkin tidak mempersoalkan secara serius bila khilaf dan kekeliruan yang terjadi di luar dunia peradilan. Pernyataan maaf mungkin dapat menganulirnya. Beda halnya bila khilaf dan kekeliruan terjadi di dunia peradilan, peluang besar terjadinya ketidakadilan bertahta merampas dan memperkosa sisi kemanusian manusia.
Di Inggris pernah terjadi Ratu Elizabeth II merehabilitasi atas seseorang yang terlanjur dihukum gantung. Orang tersebut dipersalahkan memperkosa dan membunuh anaknya sendiri yang hanya satu-satunya. Segala upaya sang ayah untuk membebaskan diri dari tuduhan telah melakukan perbuatan keji, tak berhasil sama sekali membuktikan dirinya tidak bersalah. Semua kepingan-kepingan fakta menyudutkannya, sehingga seluruh jury bersepakat menyatakan dirinya bersalah. Lebih dari itu, masyarakat Inggris mengecamnya sebagai seorang yang biadab, pendosa di luar batas. Akhirnya orang tersebut mati di tiang gantungan mengikuti anak tunggalnya yang telah meninggal lebih dahulu itu. Ironisnya dengan hukuman itu garis keturunannyapun punah.
Di
Indonesia, menarik untuk diingat kembali, kasus Senkon dan Karta yang dihukum
oleh Pengadilan Negeri Bekasi karena merampok dan membunuh Suleman. Mereka
dihukum tanpa salah yang hanya rasa sentimen dan perasangka. Karena kedua orang tersebut mempunyai masa
lalu yang kurang baik. Maka lingkungan masyarakat yang pada dasarnya telah menaruh kecurigaan
membebankan dosa atas perampokan dan pembunuhan tersebut kepada mereka. Para
saksi yang berperangka telah menyudutkan kedua mereka dengan kesaksian dan
keliru. Dan para hakim yang memeriksa perkara tersebut korban sugesti para
saksi. Lain halnya dengan Gunel terketuk nuraninya dan menaruh iba kepada kedua
orang yang tak berdosa itu. Gunel yang semula menyangkal, pada akhirnya
mengakui dosanya dan itu membuahkan peninjuan kembali perkara Sengkon dan Karta
yang memulihkan kembali martabatnya. Tapi adalah suatu fakta yang tak dapat
dipungkiri hak dasar mereka telah dirampas oleh pengadilan selama mereka menjalani
hukuman.
Pengakuan
Gunel sama persis dengan pengakuan seorang kelasi yang membunuh pengembala bernama
Meier di hutan cemara Pommern, Prusia, pada
tahun 1834; dalam kata terakhirnya, saat
ia akan menjalani hukuman mati dalam kasus pembunuhan seorang rentenir dan
pembantu rumah tangganya. Ia mengatakan
: “Sebelum muncul di hadapan Tuhan, saya ingin membebaskan hati nurani saya
dari sebuah beban yang berat. Sepuluh tahun yang lalu, saya memukul mati
seorang pengembala di hutan Pommern karena saya bertengkar dengannya mengenai
sekotak kecil kawul. Karena saya marah, ia saya pukul dengan pentungan yang
berat di kepalanya sampai beberapa kali, sehingga ia mati dan roboh di tanah.
Saya menggeledahnya dan di dalam sakunya menemukan sebuah kantung tembakau dan
pemantik apinya saya bawa. Dan barang-barang ini termasuk dalam harta benda
saya yang disita dan disimpan untuk pemeriksaan. Agar tidak ada orang yang tak
berdosa harus menderita, saya minta supaya hal ini dicantumkan dalam
berkas”. Pengakuan kelasi tersebut sudah
terlambat, sebab terhadap kasus pembunuhan pengembala tersebut terlanjur telah dihukum
gantung seorang laki-laki bernama Friederich
Berger oleh pengadilan yang penuh pengakuan palsu. Pada saat Berger
menjalani hukuman gantung ia menyampaikan kata-kata terakhirnya : “Tuhan, yang
akan saya jumpai dalam beberapa saat lagi, tahu bahwa saya tak bersalah. Pada
suatu ketika terungkap siapa yang melakukan pembunuhan”. Setelah itu ia mati
dengan tenang. Ironis memang.
Kekhilapan
dan kekeliruan peradilan terjadi berhubungan dengan jalannya sidang peradilan
dan putusan hakim. Jalannya persidangan amat memungkinkan berpengaruh langsung
terhadap perasangka, sikap dan pandangan hakim atas faktanya yang dihadapinya. Terkadang
perasangka telah membawa seseorang masuk dalam dunia kekhilapan dan kekeliruan
demikian pula terhadap diri seorang hakim yang terjebak mitos yang menyebutkan
bahwa hanya dengan mengenakan jubah hitam dan mengambil sumpah sebagai hakim,
seseorang dengan serta merta kehilangan kelemahannya sebagai manusia dan
terlepas dari segala kecenderungan, ia menjadi mesin pemikir yang tidak punya
perasaan. Tersembunyinya unsur manusia dalam proses yudisial membuatnya untuk
bekerja secara berlebihan, dan hatinuraninyapun dapat menjadi tumpul.
Sebagai
penegak keadilan, hakim mempunyai kewajiban berusaha sebaik-baiknya untuk
memastikan motif dan bias dari
fakta-fakta yang ditemukannya dalam persidangan. Hakim dalam pencarian fakta
atas suatu perkara yang dihadapinya yang didasarkan pada penilaiannya mengenai keandalan
para saksi yang diambil sumpahnya, penuntut umum, para pembela dan pelapor atas
apa yang mereka lihat dan mereka dengar. Sudah menjadi tugas seorang hakim,
ketika dia mendengar dan melihat mereka, untuk membentuk sikap terhadap mereka.
Dia harus berusaha sebaik-baiknya untuk memastikan motif, bias, serta kegemaran
dan minat yang mempengaruhi mereka, karena hanya dengan cara begitu dia dapat
menilai keakuratan cerita mereka. Dia juga harus mengamati dengan cerdas tipu
daya dari para para pihak yang terlibat dalam persidangan, memperhatikan upaya
mereka untuk mempengaruhi dirinya, karena dengan cara begitu dia dapat menilai
keakuratan cerita mereka. Hakim harus
mampu menembus apa yang ada dibalik ucapan mereka sehingga mengetahui tujuan
dan motif mereka yang sebenarnya. Hakim mempunyai kewajiban resmi untuk selalu
berperasangka dalam pengertian itu. Hakim yang tidak memihak bukan berarti
mudah tertipu, tidak berkepentingan bukan berarti polos seperti anak kecil.
Penemuan
faktanya oleh hakim mungkin salah, sebagai manusia, dia tidaklah sempurna
bahkan seorang hakim yang mengaku menjadi manusia super atau manusia setengah
dewa cenderung akan dikuasai oleh perasangka yang tidak pantas. Oleh karena
itu, agar hakim terhindar dari perasangka palsu yang mungkin dapat menimbulkan
kekhilapan dalam putusannya, maka ia harus memberi penilaian secara cermat dan
hati-hati mengenai para aktor yang
bermain dalam panggung gedung pengadilan sebelum dia mengambil keputusan yang
bersifat menentukan itu.
Demikian
terlihat bagaimana khilap dan kekeliruan pernah terjadi pada diri hakim dalam persidangan dalam memberikan
putusannya. Namun, perlu disadari keinsafan akan errare humanun est haruslah diartikan bahwa keinsafan atas
ketidaksempurnan manusia seharusnyalah mendorong semua penegak hukum untuk
memperjuangkan hak-hak asasi manusia, dan menjauhi lorong-lorong yang mungkin
menjebaknya pada kesesatan pengadilan.
Bagaimanapun
tidak dapat dipungkiri kesesatan peradilan mempunyai dampak yang cukup
mengerikan dan bentuk penghancurleburan sisi kemanusian manusia. Ketidakadilan, melawan fitnah, kebencian, dan
kebodohan dan sikap membuta yang mungkin terjadi di panggung peradilan harus
diperotes. Dalam sejarah perjalan hidup umat manusia menjelaskan kepada kita, dihukumnya
seseorang yang tak bersalah merupakan urusan semua orang yang berfikir.
Bagi penegak
hukum di Indonesia hendaklah terpatri dalam akal dan hatinya, di dalam hidup yang
fana ini, dengan segala kelemahan hati dan pikiran kita menanti suatu mahkamah
Sang Maha Adil yang tidak dapat diakali
dan direkayasa, disuap, atau dihindari; kesanalah kita menuju.
Medan, 15
Oktober 2016
Penulis
Zulfirman
Staf pengajar Fakultas Hukum, Program Pascasarja Ilmu Hukum
Universitas Pembinaan Masyarakat Indonesia Medan.
Artikel
ini dimuat di Forum Keadilan No. 24,
Tahun XXV/24-30 Oktober 2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar