Dr. Zulfirman,
S.H., M.H
Apakah agama
terpisah dari negara atau agama menyatu dengan negara telah menjadi persoalan
pemikir kenegaraan. Persoalan itu masih relevan sebagai kajian pemikiran hingga
saat ini. Jawaban atas persoalan tersebut masih terdapat perbedaan. Satu pihak menyatakan
agama terpisah dari negara, pihak lainnya bersi kukuh mengatakan negara dan
agama merupakan kesatuan. Adanya perbedaan pendapat itu sesungguhnya disebabkan
perbedaan pendapat mengenai konsep manusia.
Untuk
melihat hubungan negara dengan agama haruslah dilihat berdasarkan titik pandang
konsep manusia. Mengapa manusia? Karena negara dan manusia adalah dua hal yang
tidak terpisahkan satu sama lainnya. Hampir sulit diterima adanya suatu negara
tanpa ada manusia dan demikian pula sebaliknya. Hal ini telah menjadi kebenaran
umum, bahkan telah ditegaskan oleh Aristoteles dan Ibnu Khaldun.
Bagaimanapun
tidak dapat dipungkiri, agama diperlukan dalam kehidupan bernegara karena hal
tersebut berhubungan dengan kebebasan manusia.
Abraham Lincoln, kata
Fukuyama dalam
bukunya berjudul Kemenangan Kapitalisme Demokrasi Liberal, tidak ragu-ragu untuk menegaskan bahwa kebebasan memerlukan kepercayaan
pada Tuhan. Dengan bahasa yang berbeda tapi dengan maksud yang sama ‘Alija
‘Ali Izetbegovic, mantan Presiden Bosnia, mengatakan : ”Jika seseorang
memberikan atribut kebebasan kepada manusia, jika ia mengganggap manusia
mempunyai beban tanggungjawab, maka ia akan melihat eksistensi Tuhan, baik
secara diam-diam maupun secara terbuka. Hanya Tuhan yang mampu untuk
menciptakan makhluk bebas, dan kebebasan hanya timbul dari tindakan penciptaan”.
Menjadi
pertanyaan bagi kita bagaimana dengan Negara Indonesia? Apakah Negara Indonesia
memisahkan agama dengan Negara atau sebaliknya menyatukan agama dengan Negara?
Jawaban ini perlulah di lacak dari apa yang menjadi dasar pandangan hidup
bangsa Indonesia yakni Pancasila khususnya dari Sila Pertama: Ketuhanan Yang
Maha Esa, Sila ketiga : Persatuan Indonesia, dan Sila Keempat : Kerakyatan yang
dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan. Dari
ketiga sila tersebut jelaslah Negara tidak terpisahkan dari agama. Bagaimana
melaksanakan? Untuk itu dipandu oleh Sila Kemanusiaan yang adil dan beradab
(Sila Kedua). Untuk apa semua itu dilakukan?
Hal ini dipandu oleh Sila Keadilan Sosial (Sila Kelima). Khusus Sila Kelima ini
bila dilihat dari aspek ekonomi ditujukan mewujudkan kesejahteraan sosial, bila
dilihat dari aspek hukum merupakan keadilan untuk semua. Jika dicermati secara
mendalam, sesungguhnya Pancasila menggambarkan tentang manusia dalam konsep
manusia sebagai makhluk religius, makhluk sosial, dan makhluk biologis. Tiga
konsep yang dilekatkan pada manusia itu adalah konsep manusia yang seutuhnya.
Dari keterangan ini dapatlah disimpulkan bagi bangsa Indonesia, negara dan
agama adalah satu kesatuan.
Bagi bangsa
Indonesia menyatunya agama dengan negara bukanlah hal yang baru tetapi suatu
keniscayaan, sebagaimana dapat dilihat dari sejarah kerajaan-kerajaan yang
pernah ada di Indonesia. Misalnya pada kerajaan Hindu Kutai Kartanegara,
Kerajaan Budha yakni Sriwidjaya, Kerajaan Hindu Budha Majapahit, Kerajaan Islam
Demak dan lain-lain.
Kesatuan
antara agama dengan negara dan bagaimana menjalankan agama jelas diterangkan Ir.
Soekarno dalam rapat umum BPUPKI tanggal 1 Juni 1945 dalam pembahasan tentang
sila Ketuhanan Yang Maha Esa. Beliau berucap : “Prinsip Ketuhanan! Bukan saja
bangsa Indonesia ber-Tuhan, tetapi masing-masing orang Indonesia hendaknya
ber-Tuhan…”. “Hendaknya Negara Indonesia ialah Negara yang tiap-tiap orang yang
menyembah Tuhannya dengan cara leluasa. Segenap rakyat hendaknya ber-Tuhan,
secara kebudayaan, yakni dengan tiada egoisme-agama. Dan hendaknya Negara
Indonesia satu Negara yang bertuhan!”
Masalahnya
sekarang, adalah bagaimana kita bertindak dan memperlakukan agama dalam
kehidupan saat ini? Untuk itu kita harus berpandu pada lakukanlah sebagaimana apa
yang dimintakan oleh Sila Kedua Pancasila : Kemanusiaan yang adil dan beradab, dalam perbuatan saling hormat menghormati. Intinya
menumbuhkembangkan sikap toleransi oleh semua pihak. Bagaimanapun juga manusia
tidak akan dapat hidup menghindarkan diri dari manusia yang banyak. Manusia
tidak akan hidup jika tidak suka menerima pertolongan manusia lain, tidak suka
bercampur gaul dan tolong menolong untuk mencukupkan kebutuhan hidupnya, oleh
karena itu manusia adalah negara atau masyarakat. Disanalah arti pentingnya
toleransi. Contoh klasik sikap toleransi beragama pernah dicontohkan oleh Raja Pertama Persia Kuno, Cyrus Agung,
tahun 539 SM yang menaklukkan kota
Babel. Penaklukan itu, berikutnya menandai kemajuan besar bagi manusia. Dia
membebaskan para budak, menyatakan bahwa semua orang memiliki hak untuk memilih
agama mereka sendiri, dan mendirikan kesetaraan ras; sebagaimana tertuang dalam
Cyrus Cylinder sebuah catatan kuno dari
tanah liat yang sekarang ini diakui oleh PBB sebagai piagam pertama HAM di
dunia.
Dalam ajaran Islam, bentuk toleransi dapat
dilihat dari kalimat “agamamu untuk mu, agamaku untuk ku”. Intinya adalah saling
hormati menghormati masing-masing pemeluk agama. Wujud konkritnya adalah jangan
gunakan dalil agama orang lain yang berbeda agama yang kita anut. Misalnya
tepatkah bagi seseorang non muslim menggunakan dalil surat Al Maidah ayat (51)
untuk memilih pemimpin dalam kehidupan sosial? Padahal surat Al Maidah ayat
(51) dengan tegas ditujukan kepada manusia dalam konsep makhluk religius
sebagaimana terlihat ayat tersebut dimulai
dengan kalimat : “Hai orang yang beriman!”, bukan manusia dalam konsep makhluk
sosial. Dalam Al Qur’an konsep manusia sebagai makhluk sosial disebutkan dengan
kalimat “Hai manusia” yang menunjukan eksistensi manusia secara keseluruhan
tanpa melihat status keimanan. Jadi,
perkataan yang mencampur adukan dua pengertian tersebut tidakkah dapat dikatakan
melanggar toleransi bergama? atau lebih
dalam lagi bukankah perkataan itu sebagai bentuk perlawanan terhadap Pancasila?
Oleh karena itu, adil dan beradabkah
bila umat muslim yang merasa terusik kenyamanannya beragama menuntut
keadilan? Untuk memperoleh jawaban
pertanyaan tersebut marilah kita direnungkan
apa yang diungkapkan oleh pahlawan proklamator kita, Ir. Soekarno, dan untuk lebih
objektif lagi perlu pula kita renungkan
apa yang dikatakan oleh Abraham Lincoln, ‘Alija ‘Ali Izetbegovic dan apa yang telah
dipraktikan oleh Raja Pertama Persia Kuno, Cyrus Agung sebagaimana diuraikan di
atas. Terakhir tanyakan pada hati nurani
kita dalam kapasitas sebagai makhluk religius.
Tulisan ini
dimuat di Majalah Forum Keadilan Edisi No. 30 Tahun XXV.05-11 Desember 2016.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar