KEBEBASAN HAKIM
“Mudah-mudahan beliau (adil), saya yakin,
beliau ini kan perwujudan Tuhan
berbentuk manusia. Oleh karena itu, saya mohon keadilan dari beliau-beliau”
Tutur Waryono Karno Sekretaris Jenderal Kementerian Energi dan Sumber Daya
Mineral (ESDM) sesaat sebelum sidang (Forum Keadilan Tahun XXIV/21-27 September 2015).
Pernyataan seperti itu, acap kali dilontarkan seseorang manakala sedang
berperkara di pengadilan. Pernyataan itu sudah awam didengar; tapi bila direnungkan,
pernyataan itu sesungguhnya sarat makna dan mengandung unsur filosofis. Sesungguhnya
pernyataan itu adalah bentuk gugatan moral terhadap summum bonum (The Supreme
Good) hakim, secara praktis gugatan itu ditujukan pada kebebasan
hakim.
Dalam lintasan sejarah pemikiran
manusia, kata kebebasan tidak habis-habisnya diperdebatkan baik di bidang politik
maupun hukum. Dalam arena hukum, perdebatan tentang kebebasan menjadi kajian
filsafat hukum yang masih relevan hingga saat ini; apalagi bila dikaitkan
dengan upaya mencari keadilan. Tulisan ini mencoba membahas secara ringkas kebebasan
hakim secara proporsional tanpa ada tendensi apapun terkecuali hanya suatu
analisis hukum dari perhati hukum yang
peduli terhadap prilaku hukum
yang terjadi di tengah-tengah kehidupan sehari-hari.
Hakim adalah ujung tombak
terwujudkan hukum dan keadilan. Tugas dan fungsi hakim pada hakikatnya adalah meraih
tujuan sejati hukum yakni keadilan di dalam pengadilan. Tidak ada bangsa yang
beradab tanpa peradilan yang baik. Secara klasik ungkapan ini di tulis oleh Aeshylus dalam bukunya “Eumenides” dan
tulisan Sophocles dalam bukunya “Antigone”; masing-masing mengatakan :
“seruan untuk menghormati hukum sebagai
pelindung utama dari ketertiban perdamaian dan keimbangan di negara. Suatu
kepercayaan pada kemajuan suatu masyarat yang beradab dan yang dikuasai oleh perturan-peraturan
hukum, yang bijaksana di atas anarchi dan tirani yang merajalela”. Jadi tak
diragukan lagi, posisi hakim menentukan dan mencerminkan suatu peradaban
bangsa.
Dalam bangunan negara hukum kebebasan
hakim mutlak diperlukan. Untuk itu, ada dua prasyarat bagi seorang hakim dalam
menjalankan tugas dan fungsinya, yaitu: (a) memiliki moralitas terpuji dan (b) intelektualitas
hukum yang paripurna. Heraklitus pernah mengingatkan: tragedi manusia yang
terbesar terletak pada moralitas dan
bahwa mereka yang mempunyai pengetahuan atau kebajikan tidak memilki bagian,
atau bagian yang efektif dalam kekuasaan. Oleh karena itu, moral dan
intelektual menjadi tolok ukur hakim yang mempengaruhi secara langsung fungsi
pengadilan sebagai pembentuk peradaban.
Kebebasan
hakim perlu diawasi?
Kebebasan hakim menjadi kata kunci
tegaknya hukum dan keadilan di pengadilan. Hal itu sesuatu yang objektif karena
ditentukan undang-undang. Pernyataan ini kelihatannya sudah final dan tidak
perlu diperdebatkan lagi bila didekati melalui pendekatan positivis legis.
Tapi, benarkah begitu? Kenyataannya banyak gugatan terhadap kebebasan hakim. Terlebih-lebih
lagi manakala hakim melakukan terobosan hukum yang dinilai mencederai keadilan
moral dan keadilan masyarakat. Dari fakta itu timbul pertanyaan, pelukah hakim di
awasi dalam merealisasikan kebebasannya? Pertanyaan ini dapat dijawab melalui tiga
hal. Pertama, bagaimanakah “sikap” hakim terhadap kebebasannya? Kedua,
bagaimana “seharusnya sikap” hakim
terhadap kebebasannya? Ketiga, bagaimana meralisasikan lebih jauh potensi dan
kemampuan kebebasan yang dimilikinya?.
Hal pertama, tidak dapat dipungkiri,
kebebasan hakim sesungguhnya berkaitan dengan implementasi kekuasaan untuk
menegakan hukum dan keadilan. Untuk itu,
“sikap” hakim adalah objektif, fair, terlepas dari prasangka, terlepas dari
kepentingan pribadi, kelompok maupun kepentingan penguasa. Hakim adalah saksi
yang paling menentukan dari perkara yang ditanganinya. Untuk ini, hakim pada
posisi mendengar, melihat dan merasakan apa yang terjadi dalam pesidangan. Aristoteles
mengingatkan, seorang
hakim yang mengambil tindakan in concreto
hendaknya mengambil tindakan seakan-akan ia menyaksikan sendiri peristiwa
konkret yang diadilinya. Dalam
hal ini kebebasan hakim adalah pasip. Hakim harus bersikap menerima semua
masukan kemudian mencernanya sesuai dengan konteksnya; dia tidak boleh keluar
dari kontek. Apabila hal ini dilanggar sudah dipastikan akan terjadi bias dari
apa yang disaksikannya. Sikap hakim yang demikan itu berasal dari undang-undang
(hukum yang dibuat oleh manusia). Oleh
karena itu, agar sikap hakim tetap pada jalurnya, kebebasan hakim perlu diawasi,
jika tidak ia akan menjadi tirani dan anarchi yang berlindung dibalik
undang-undang.
Hal kedua, bagaimana hakim “seharusnya
bersikap” atas kebebasan yang dimilikinya dalam mengadili suatu perkara. Untuk
ini dapat dilihat dari ketentuan undang-undang mengatakan setiap putusan hakim wajib
mencantumkan irah-irah: “Demi Keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. Irah-irah
ini mengandung norma moral, kesusilaan yang tertinggi, dan mengandung norma hukum
yang berisikan unsur wajib, yakni “hakim
harus!”. Dalam hal ini, hakim terikat pada keharusan yang ditetapkan oleh
Tuhan. Keharusan itu adalah menegakan keadilan bagi diri sendiri, keluarga dan
masyarakat. Jadi ada keterkaitan erat
antara hakim dengan Tuhan. Dalam hal ini kebebasan hakim adalah suatu amanah
yang harus dipertanggungjawabkan tidak saja kepada negara tetapi juga kepada
Tuhan Yang Maha Esa.
Pemahaman terhadap keterkaitan hakim
dengan Tuhan sangat berpengaruh langsung terhadap “keharusan sikap hakim” terkait kebebasannya. Dalam hal ini ada dua segi
memandang kebebasan hakim. Dari segi konseptual dan dari segi eksistensial
hakim. Dari segi konseptual, kebebasan itu adalah tanpa batas, apalah arti
kebebasan kalau harus dibatasi? Kalau kita mau konsekuen dengan pengertian
kebebasan secara konseptual. Jika kita larut pada pengertian kebebasan
konseptual, tidak dapat dipungkiri posisi hakim beralih menjadi Tuhan dalam
menyelesasikan perkara yang dihadapinya. Dalam hal ini seakan hakim identik
dengan Tuhan. Pada situasi demikian, hakim dapat menjadi tyrani dan anarchie
dalam mengoperasonalisasikan kebebasannya. Sejarah peradaban umat manusia
membuktikan, jika hakim berpegang teguh pada kebebasan konseptual semata-mata telah
terjadi tragedi manusia yang terbesar bagaimana martabat manusia
diluluhlantakkan. Fir’aun contohnya. Dia merasa memiliki kebebasan tanpa batas,
akibatnya bertindak secara semena-mena dan meluluhlantakkan martabat manusia
yang klimaksnya menyatakan dirinyalah Tuhan.
Cukupkah hakim mendasarkan diri pada
pengertian otonominya secara konseptual saja? Pembatasan macam ini tidak hanya
kurang seibambang tetapi juga tidak sesuai dengan pengalaman dirinya yang
eksistensial. Jadi, kebebasan harus juga dipandang sisi eksistensial hakim
sebagai bagian dari segi eksistensialnya selaku manusia. Dalam hal ini hakim
harus bersikap benar-benar wakil Tuhan; sebagai wakil Tuhan dia memiliki
kebebasan yang terbatas dan bertujuan, dia juga bagian dari ciptaaan Tuhan yang
mempunyai kelemahan dan keterbatasan. Oleh karena itu, hakim dalam menegakan
hukum dan keadilan haruslah tidak lepas dari kontrol wakil Tuhan lainnya, yakni
manusia lainnya yang bukan hakim yang memiliki intelektualitas hukum tetapi
tidak memiliki kekuasaan hukum. Bukankah manusia secara umum adalah wakil Tuhan
di dunia ini? Lagi pula dalam konteks negara hukum tidak ada kekuasaan negara
yang tidak diawasi sebagaimana yang terkandung dalam prinsip cheks and balances sebagai prinsip
negara demokratis.
Terakhir, bagaimana hakim
merealisasikan potensi dan kemampuan kebebasannya?
Syarat utamanya adalah hakim harus benar-benar memahami, bukan sekedar tahu posisinya
dalam menangani sengketa yang dihadapkan kepadanya. Hakim haruslah memahami kebebasan
yang dimilikinya diperuntukkan sebesar-besarnya diabdikan pada perlindungan
harkat dan martabat manusia. Artinya hakim dalam mengoperasi-onalisasikan
kebebasannya memberikan keadilan di antara manusia, bukan keadilan hanya ada
pada yang setara; karena sejarah tragedi
keberadaan manusia sepanjang sejarah terletak pada yang kuat mengambil apa yang
diinginkannya, dan yang lemah menyerahkan apa yang harus diserahkannya. Hakim dalam menangani perkara berhadapan
dengan manusia bukan berhadapan dengan benda-benda mati. Untuk itu, hakim
dituntut mengembangkan potensinya semaksimal mungkin untuk menjaga, memelihara,
melindungi dan menghormati harkat dan
martabat manusia. Intinya, dalam hal ini, hakim dituntut kepekaannya terhadap
sisi kemanusiaan manusia sebagai mahkluk yang memiliki drajat tertinggi dari
makhluk hidup lainnya.
Tak sak lagi, dari apa yang
diutarakan di atas, memahami kebebasan hakim tidaklah semata-mata dipahami dari
segi konseptual, tetapi harus dipahami sisi eksitensialnya. Jadi, kebebasan
hakim mengandung hak dan kewajiban. Untuk itu, secara alamiah, kebebasan hakim
itu sendiri menuntut agar dirinya yakni “kebebasan itu sendiri” diawasi terkait
pelaksanakan kewajibannya. Kata kuncinya: hakim adalah wadah keadilan bukan
mata air keadilan; hakim adalah manusia bukan Tuhan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar