EKSPLORASI
AWAL FILSAFAT HUKUM PANCASILA
Zulfirmanâ
Abstrak
Pancasila sebagai weltanschauung,
philosophischegronslag atau pandangan hidup bangsa adalah sumber perilaku
bermasyarakat, bernegara dan berbangsa. Dari segi hukum, Pancasila
merupakan norma dasar yang diujudkan dalam pembentukan hukum. Dari kajian
filsafat hukum, Filsafat Hukum Pancasila didasarkan pada pemikiran hukum alam
yang bersifat irrasional sekaligus rasional sebagaimana yang tertuang di dalam
sila-sila Pancasila.
A.
Pendahuluan
Pada
tanggal 1 Juni 1945 di depan sidang Dokuritsu
Zyumbi Tyoosakai, Ir. Soekarno untuk pertama kalinya mengucapkan philosofische
grondslag/ weltanschauung atau pandangan hidup yang merupakan asas
atau dasar negara Indonesia merdeka
yang dinamakannya Pancasila atau Lima
Asas atau Lima Dasar. Rumusan Lima Dasar yang diajukan oleh Ir. Soekarno
dilakukan penyempurnaan yang kemudian diformalisasikan dalam Pembukaan UUD 1945,
yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia,
Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan/
perwakilan, Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.[1]
Sejak
diformalisasikannya Pancasila dalam Pembukaan UUD 1945, maka sejak itu, Pancasila
bukan lagi sekedar kesepakatan politik, melainkan telah menjadi komitmen
filosofis yang mengandung consensus trasenden, yang menjanjikan kesatuan
dan persatuan sikap serta pandangan bangsa Indonesia dalam menyongsong hari
depan yang dicita-citakan. Dengan demikian, Pancasila bukan lagi sekedar alternatif,
melainkan suatu imperatif bagi bangsa Indonesia.[2]
Pancasila sebagai asas atau dasar negara Indonesia merupakan titik awal
untuk menentukan semua kebijakkan dalam menyelenggarakan negara Indonesia,
apakah itu yang berkenaan dengan politik, sosial kemasyarakatan, ekonomi, dan
yang tak kalah pentingnya dalam bidang hukum sebagai sumber hukum materil dan
formil untuk mengatur hubungan internal mau pun hubungan pergaulan
internasional. Menyadari arti pentingnya
Pancasila sebagai sumber dalam pembentukan hukum di Indonesia perlu ditemukan
esensi Pancasila yang berwujud nilai yang akan diturunkan dalam tataran asas
untuk mewarnai kaedah hukum sebagai titik tolak pembentukan dan pembangunan
hukum di Indonesia.
Bertitik tolak dari pernyataan ini perlu dilihat dan ditemukan hakekat
hukum berdasarkan padangan Pancasila. Tegasnya, dari Pancasila tersebut dicari
esensi hukum berupa nilai yang bersifat filsafati akan dijadikan acuan dalam
pembentukan dan pembangunan hukum. Dari filsafat hukum itulah nantinya
diturunkan asas-asas hukum yang kemudian diujudkan lebih konkrit dalam
peraturan-peraturan hukum yang mengatur hubungan antar individu, kenegaraan,
dan hubungan internasional.
Pembahasan makalah ini didasarkan pada rumusan masalah apakah esensi pemikiran yang dijadikan
landasan berpikir tentang hakikat hukum menurut Pancasila?
Makalah ini adalah suatu kajian akademis yang mencoba untuk menemukan unsur
filsa-fati hukum berdasarkan Pancasila dengan tujuan guna menemukan dunia meta
hukum sebagai landasan kajian ilmiah bidang hukum yang mungkin dapat dijadikan
dasar pembentukan perundang-undangan di Indonesia.
B.
Hubungan sebagai
penyebab adanya hukum
Meuwissen
mengatakan filsafat hukum ingin mendalami “hakikat” dari hukum, dan itu berarti
bahwa ia ingin memahami hukum sebagai penampilan atau manifestasi dari suatu
asas yang melandasinya. Hukum itu adalah suatu bagian dari “kenyataan” dan
dengan demikian ia juga memiliki sifat-sifat kenyataan itu.[3]
Hukum sebagai bagian dari kenyataan hanya dapat dilihat pada adanya “hubungan”.[4]
Hubungan merupakan hal yang esensial untuk adanya hukum, karena di dalam
kandungan hubungan berkenaan dengan cara dan tujuan. Oleh karenanya, hubungan sebagai kenyataan mempunyai arti terhadap
benda-benda alam dan mempunyai nilai terhadap hubungan manusia dengan segala
sesuatu yang ada.
Berdasarkan itu, hukum dibagi dalam dua macam yaitu hukum
deskriptif dan hukum preskriptif.5 Dalam
konteks kealaman, hukum dapat diberi arti sebagai hukum yang deskriptif yaitu
hukum yang menunjukkan sesuatu yang dapat terjadi, misalnya hukum gravitasi,
hukum Archimedes. Hukum
yang demikian ini menjadi objek ilmu-ilmu
kealaman. Sedangkan hukum yang berkenaan dengan petunjuk tingkah laku
manusia dalam pergaulan hidupnya yang ditentukan oleh suatu otoritas yang
mengatur apa yang boleh dan apa yang tidak boleh dikerjakan dalam bentuk norma
atau kaidah disebut hukum preskriptif. Hukum yang terakhir ini yang
menjadi objek filsafat hukum maupun ilmu hukum.
Dalam formulasi Pancasila dapat dilihat arti dan makna hubungan yang dapat
dijadikan dasar untuk adanya hukum. Apabila dicermati dari Sila-sila Pancasila,
yaitu. Pertama, Sila Ketuhanan Yang Maha Esa. Kedua,
Sila Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab. Ketiga, Sila Persatuan Indonesia.
Keempat, Sila Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam
permusyawatan/ perwakilan. Kelima, Sila Keadilan Sosial dari kelima sila-sila tersebut terdiri dari tiga
unsur penting, yaitu (a) Tuhan, (b) manusia, dan (c) alam. Ketiga esensi
tersebut dapat dipahamkan Tuhan sebagai dunia idea (ruh), alam (dunia) sebagai
materi, dan manusia tempat berpadunya dunia idea (ruh) dan materi (alam). Saripati
dari tiga unsur itu asalnya adalah roh dan materi. Esensi ruh dan meteri
terlihat jelas pada diri manusia, sesuai dengan esensinya yang demikian itu, manusia mempunyai kedudukan dan fungsi
yang sentrum dan penting di dunia. Keberadaan
tiga esensi itu saling berhubungan satu sama lainnya dan merupakan satu
kesatuan yang saling terkait pula antara satu dengan lainnya. Bertitik tolak,
bahwa hubungan adalah hal yang esensial untuk adanya hukum, maka berdasarkan
Pancasila, ada tiga pola hubungan yang paling mendasar, yaitu:
1.
Hubungan Tuhan dengan manusia, dan alam.
2.
Hubungan antar sesama manusia.
3.
Hubungan antar manusia dan alam lingkungan.
Dari
tiga pola hubungan itu Tuhanlah sebagai penentu utama pola hubungan, sebab
Tuhan adalah pencipta manusia dan alam.
Bagi
bangsa Indonesia, Tuhan sebagai pencipta membawa konsekuensi, bahwa Tuhan
adalah pusat hubungan dan pembentuk hubungan. Sebagai Pencipta pula, Tuhan yang
mengetahui secara pasti apa yang dibutuhkan oleh manusia dan alam. Dalam
hubungan Tuhan dengan manusia dan alam, maka Tuhan menyapa manusia dan alam
untuk melakukan apa yang terbaik untuk manusia dan alam tersebut. Melalui
sapaannyalah Tuhan menentukan bagaimana hubungan itu dijalankan, baik hubungan
antara Tuhan dengan manusia, hubungan sesama manusia dan hubungan manusia
dengan alam. Hubungan-hubungan yang ada, pada dasarnya adalah untuk
keteraturan dan ketertiban dari dua hal yang berinteraksi. Keteraturan
berkenaan dengan landasan substansi dari hukum ada dalam dunia nilai (Idea)
atau sebagai jiwa hukum, sedangkan ketertiban adalah tujuan hukum dalam ujudnya
yang materia (positivis) merupakan tubuh hukum.
Tuhan5 adalah esensi yang universal sifatnya
dan dianut oleh setiap manusia. Karena manusia pada hakekatnya adalah makhluk
yang religius6 dan keberadaan Tuhan
adalah menjadi kebutuhan laten bagi dirinya. Kalau pun ada perbedaan tentangnya
tidaklah berkenaan dengan hakekat adanya Tuhan melainkan mengenai hakikat makna
Tuhan dalam pembahasaan.
Upaya pencarian Tuhan telah dilakukan oleh umat manusia sejak zaman primitip
hingga masa kini. Awal anjak pencarian Tuhan oleh manusia dimulai dan bersandar
pada benda-benda materi (ujud nyata) sampai kepada dunia yang tidak dapat
disentuh oleh panca indera yaitu ruh. Percaya pada roh-roh merupakan
kepercayaan yang paling padat dan paling melekat dengan intuisi manusia pada
permulaan menemukan jalan beragama dan berkepercayaan.7
Hal ini membuktikan, bahwa kebutuhan
akan Tuhan adalah kebutuhan hakiki manusia. Ada tiga fase umum yang
dilalui umat primitip mengenai kepercayaan terhadap Tuhan dan dewa-dewa, yaitu
(a) fase Polytheisme (berbilangnya
Tuhan) (b) fase Henotheisme (fase
seleksi), dan (c) fase Monotheisme
(fase Ke-Esa-an, fase Ketauhidan).8
Tuhan tidak hanya dapat dipahami sebagai Tuhan yang antropomorfis. Kita
hanya dapat mengetahui esensi Tuhan dalam makna kata “meng-ada”. Dengan
meminjam argumentasi St.Thomas Aquinas, Gilson mengatakan kata kerja meng-ada (to
be), digunakan dengan dua cara yang berbeda: Pertama, kata tersebut berarti
tindakan bereksistensi (actu essendi), kedua, kata tersebut berarti
komposisi dalil-dalil yang diciptakan jiwa dengan menggabungkan sebuah predikat
dengan sebuah subjek. Pengertian mengada yang kedua inilah yang dapat dipergunakan
untuk memahami esensi Tuhan.9
Manusia tidak tahu bukan berarti sesuatu yang tidak diketahuinya itu tidak
ada, tetapi karena ia belum sampai pada tahunya tentang “yang ada“ yang belum
diketahuinya itu. “Ada“-nya sesuatu yang belum diketahui oleh akal, hal itu
dianggap misteri menurut akal, bila akal telah menerimanya barulah, hal itu
diakui ada-nya. Oleh karena itu, manusia bukan pusat kebenaran melainkan ia
hanya mengakui adanya kebenaran.10
Jelaslah, bahwa pusat kebenaran adalah Tuhan dan kebenaran itu sendiri
ditetapkan oleh Tuhan.
Dalam upaya pencarian Tuhan dapat didekati melalui pendekatan metapisika
yang paling tertinggi, yakni Ada. Di luar pertanyaan: ”Mengapa terdapat
adaan-adaan yang tertata rapi?; terdapat pertanyaan lain yang jauh lebih
mendalam, menurut Gilson mengutip istilah Leibinnz: “Mengapa ada sesuatu
daripada tidak ada sesuatu apa pun?”. Di sini ilmuwan yang tidak mau menanyakan
hal tersebut, karena pertanyaan tersebut tidak masuk akal. Secara ilmiah,
pertanyaan itu memang tidak masuk akal. Tetapi, secara metafisik, pertanyaan
itu masuk akal dan dapat dipikirkan.11
Sains dapat menjelaskan banyak hal di dunia ini; mungkin pada suatu hari
kelak sains dapat menjelaskan, bahwa dunia fenomena sesungguhnya ada. Tetapi, alasan mengapa segala sesuatu
itu ada, atau ber-ada (eksis), sama sekali tidak diketahui olehnya; mungkin
sebabnya karena sains bahkan sama sekali tidak dapat mengajukan pertanyaan
tersebut. Satu-satunya jawaban untuk pertanyaan tertinggi ini adalah bahwa
semua masing-masing dan semua energi eksistensial partikular, masing-masing dan
semua benda tertentu yang ber-ada (eksis), menggantungkan eksistensi pada
sebuah Tindakan-eksistensi-murni. Agar dapat menjadi jawaban tertinggi bagi semua masalah
eksistensial, sang penyebab tertinggi ini harus merupakan eksitensi absolut.
Karena absolut, penyebab semacam itu memadai dalam dirinya sendiri; jika dia
mencipta, tindakan kreatifnya haruslah bebas. Karena dia tidak hanya mencipta
keadaan, tetapi juga tatanan, dia pastilah sesuatu yang setidak-tidaknya
sungguh-sungguh memiliki satu-satunya prinsip tatanan yang kita kenal dalam
pengalaman kita, yakni pemikiran. Nah, sang penyebab absolut itu, bukanlah sesuatu
(it), melainkan Dia (She/He). Singkatnya, penyebab pertama adalah
Sang Tunggal yang menjadi tempat bertemunya penyebab (kausa) alam dan sejarah. Sang
Tuhan filosofis yang juga dapat menjadi Tuhan sebuah agama.12
Tuhan adalah Pelaku sempurna (a
perfect agent) dalam arti tak satu pun yang dapat mencegah-Nya dan tidak
ada kekurangan pengetahuan atau motivasi pada-Nya. Tindakan-Nya adalah sempurna
dalam arti, ia sepenuhnya dilaksanakan secara rasional, tanpa kepentingan
pribadi, dan dengan pemahaman utuh atas akibat tindakan-Nya. Selanjutnya, dalam
Kenyataannya, gagasan kepelakuan yang sudah sempurna itu pun perlu lebih
diangkat ke tingkat asal kejadian sebab ia berbeda sekali dengan yang kita
sebut sebagai kepelakuan. Misalnya, kita biasa melakukan sesuatu sekedar
untuk membuktikan bahwa kita bisa melaku-kannya.
Dan karena bertindak dalam konteks informasi yang tidak sempurna, tindakan kita
acap ngawur dan tidak tepat guna dalam rangka menggapai tujuannya. Tentunya,
ini sangat berbeda dengan tindakan-tindakan Tuhan yang sangat sesuai dengan
pandangan utuh atas keadaan dan tidak terbatasi oleh keberhinggaan (finitude) dan keberwadahan (materiality).13
Tuhan adalah esensi utama dan mengeksistensikan segala sesuatu yang ada.
Manusia dan alam adalah sesuatu yang dieksistensikan oleh Tuhan, karenanya
antara Tuhan dan yang dieksistensikan-Nya tetap terjalin keterikatan yang kuat
yaitu dalam bentuk hubungan, yaitu hubungan manusia dengan Tuhan dan
sebaliknya. Keber-ada-an manusia akan nyata dan bermakna apabila manusia
karena keberadaannya melakukan hubungan dengan keberadaan manusia lainnya. Demikian pula hubungan antara Tuhan dan Alam.
Manusia dan alam yang dieksistensikan ke-ada-annya oleh Tuhan, karena
keber-ada-annya pula saling melakukan hubungan secara timbal balik agar
keber-ada-annya sempurna ada dan dipahami. Oleh karena itu, keterkaitan antara
Tuhan, manusia, dan alam merupakan suatu sistem, hubungan yang saling terkait
satu dengan lainnya merupakan satu kesatuan, yang tunduk pada esensi Tuhan sebagai penyebab keber-ada-an. Pada
tataran inilah terlihat makna sila Ketuahanan Yang Maha Esa sebagaimana terdapat
pada formulasi sila-sila Pancasila.
Manusia di dunia ini menduduki fungsi sentrum dan dapat dicermati dari dua
sisi. Pada satu sisi manusia sebagai subjek dan pada satu sisi ia juga dapat
sebagai objek. Di sinilah arti penting manusia dari sudut pandang filsafat
hukum yang akan melahirkan ilmu hukum. Dalam hukum, manusia adalah subjek dalam
hukum, dan sekaligus juga subjek hukum. Artinya, di satu sisi manusia
menentukan hukum apa yang akan dibuatnya dan bagaimana dia akan memperlakukan
hukum itu, dan di sisi lain, dia juga menentukan kedudukan yang bagaimana yang
diambilnya terhadap hukum yang dibuatnya itu. Inti dari pandangan filsafat ini
adalah manusia individu sebagai eksistensi dan eksistensi sebagai ko
eksistensi. Artinya keberadaan manusia secara pribadi tidak akan ada tanpa ada manusia
lainnya, dengan kalimat lain, eksistensi memang hanya mungkin eksis dalam
koeksistensi. Pandangan inilah yang terlihat di dalam esensi Pancasila, oleh
karenanya Pancasila memandang keberadaan individu sekaligus keberadaan kolektip
sebagai mana terlihat pada Sila Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab, Persatuan
Indonesia, dan Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan/
perwakilan.
Berdasarkan kedudukan dan fungsi manusia di atas, terlihatlah dalam hukum,
bahwa manusia adalah sebagai pusat nilai sekaligus asas hukum. Manusia sebagai
pusat nilai karena bagian dari dirinya terdiri dari ruh. Dalam pandangan
Pancasila, bila dipandang dari sisi ruh, manusia sangat erat dengan Tuhan dan
akan tetap berhubungan dengan Tuhan dari sinilah sumber nilai yang dipunyai
manusia. Hubungan manusia dengan Tuhan demikian eratnya, karena Tuhan selalu
bersama manusia, mendengar bisikan-bisikan mereka, mengetahui rahasia-rahasia
mereka, mengetahui apa yang mereka dahulukan dan mereka belakangkan, apa yang
mereka inginkan dan apa yang mereka takutkan.
Hubungan yang demikian inilah yang menimbulkan nilai yang dianutnya
sebagai pusat nilai manusia bagaimana eksistensinya dan ko eksistensinya.
Dari sudut pandang materi, manusia juga terdiri dan berhubungan erat dengan
materi atau alam. Hubungan antara
manusia dengan materi lainnya (alam) juga dipengaruhi oleh nilai yang dianut
manusia hasil dari hubungannya dengan Tuhan. Artinya hubungan manusia dengan
Tuhan yang melahirkan nilai yang akan mempengaruhi asas hukum sebagai dasar
padang manusia untuk melakukan hubungan antara sesama manusia dan materi
(alam). Karena disadari, bahwa antara Tuhan (dunia idea) dengan dunia materi
juga terjalin hubungan yang erat tak terlepaskan. Bedanya hubungan Tuhan (dunia
idea) dengan materi (alam) tidak mengandung nilai yang berhubungan dengan
kesadaran. Sedangkan hubungan manusia dengan Tuhan (dunia idea) diladasi oleh
kesadaran dan dari kesadaran itulah muncul hubungan yang bermuatan nilai. Dari
ada-nya hubungan-hubungan itulah lahir hukum. Dengan demikian hubungan manusia
sesama manusia sarat dengan nilai-nilai kemanusiaan karena manusia itu sadar
dan inilah yang melahirkan hukum secara normatip.
Penghargaan antara manusia dengan
manusia lainnya adalah sangat berhubungan erat dengan harkat dan martabat
manusia sebagai konsekuensi eksistensi dan eksistensi sebagai ko eksistensi.
Eksistensi dan eksistensi sebagai ko eksistensi tidak dapat dilepaskan dari
akibat adanya hubungan erat dan tak terpisahkan antara Tuhan (dunia idea)
dengan manusia melalui ruhnya. Inilah pusat dan dasar lahirnya nilai hukum baik
terhadap sesama manusia maupun antara manusia dengan alam (materi). Dari
hubungan inilah lahir prisip dasar hukum yaitu men-jaga tegaknya kehidupan
manusia.
Hubungan manusia dengan materi (alam) juga didasarkan pada nilai, hal ini
terjadi karena hubungan alam dengan manusia merupakan keniscayaan. Artinya terdapat keterkaitan, keterhubungan,
dan keterlibatan yang bersifat dinamis, keterjalinan sadar yang dihayati dan
dijadikan sebagai akar serta inti kepribadiannya, dan Reflektif penuh
arti serta sukarela dan dapat dipikirkan.
Manusia tidak menyadari sepenuhnya siapa ia dan apa yang dapat ia lakukan.14 Namun ia sadar bahwa ia ada.
Oleh karena itulah, manusia memerlukan bantuan pihak lain, Dialah Tuhan. Tuhan
yang memberi tahu siapa manusia15 dan
apa yang dapat ia lakukan. Di sinilah semakin kuat terjadinya hubungan antara
manusia dengan Tuhan. Dalam hubungan itu, manusia dengan akalnya tidak
mengetahui cara berterima kasih kepada Tuhan. Tuhan kembali tampil memberikan
petunjuk dalam bentuk firman-Nya. Firman Tuhan turun untuk membantu manusia
menunjukkan cara-cara berterima kasih tersebut dan bagaimana ia berperliku
dengan ciptaan Tuhan lainnya.16 Dengan
mengikuti petunjuk Tuhan niscaya manusia mengharapkan agar ia selamat dalam
kehidupan di dunia (materi) maupun di akhirat (dunia ruh) dan ini adalah tujuan
hidup manusia. Di sinilah terlihat bahwa manusia tidak dapat lepas dari
Tuhan.
Seberapa jauh keterikatan hubungan manusia dengan Tuhan sangat mempengaruhi
bathin dan akal manusia yang mewarnai perilaku dan nilai manusia itu dalam
melakukan hubungan sesama manusia baik
dalam hubungan pribadi maupun hubungan sosial. Dalam hubungan manusia dengan
Tuhan dan antar manusia dan alam sekitarnya timbul kesadaran17 bagi manusia. Dan melalui kesadarannya
manusia langsung menemukan dirinya sebagai subjek. Penemuan ini akan mewarnai
semua kegiatannya selanjutnya.18
Kesadaran manusia menemukan dirinya sebagai subjek akan memberi makna dan
nilai terhadap manusia sebagai subjek lainnya. Makna dan nilai yang dimiliki
manusia itu akan memberi pengaruh bagaimana ia harus berhubungan dan bagaimana
ia harus bersikap terhadap subjek yang satu dengan subjek yang lain. Hal yang
paling mendasar dalam hubungan itu adalah menjaga bagaimana kesadaran dirinya
sebagai subjek, hal ini berkaitan dengan hidup, untuk dapat dipertahankan dan
hidup dari setiap subjek tetap berjalan demi keberadaan subjek tersebut. Hal
yang paling utama dalam menjalankan hal yang demikian itu agar keberadaannya
tetap terjaga, maka dalam hubungan antar sesama subjek, manusia, haruslah
saling hormat menghormati hidup sesamanya sesuai dengan petunjuk-petunjuk yang
diberikan oleh Tuhan yang mewarnai peradaban manusia itu sendiri.
Keberadaan
manusia sebagai subjek adalah nyata karena ia hidup atau sadar. Sadarnya
manusia, bahwa dirinya manusia sebagai subjek, manakala ia berhubungan dengan
manusia lainnya yang juga berkedudukan sebagai subjek. Artinya
manusia barulah ia sadar sebagai manusia apabila ia berhubungan dengan manusia
lainnya. Oleh karena itu, hidupnya setiap subjek haruslah dipertahankan dan
dihormati oleh sesama subjek lainnya. Menjaga hidup adalah merupakan seruan
paling hakiki terhadap manusia selaku subjek. Tujuannya adalah agar setiap
subjek dapat menjalankan hidupnya dengan baik sebagaimana adanya ia sebagai
subjek. Dalam hubungan antar manusia itulah muncul hukum. Oleh karena itu,
hukum adalah hukum kema-nusiaan. Bagaimanapun juga tidak dapat dipungkiri bahwa
hukum bermaksud untuk kebagiaan manusia. Hukum memberikan kemuliaan kepada
manusia karena kemanusiaannya. Manusia harus didahulukan dari benda-benda
lainnya. Manusialah yang menjadi asas. Dari padanyalah sumber kemudian
menjadikan cara dan tujuan serta menjadikannya objek pembahasan. Nilai-nilai
inilah yang dirumuskan di dalam sila kedua Pancasila yakni Kemanusiaan Yang
Adil Dan Beradab. Jadi dalam konteks hubungan sesama manusia.
Di atas telah disebutkan, bahwa manusia sebagai subjek tidak akan mampu
berdiri sendiri tanpa tergantung pada manusia sebagai subjek selain dirinya. Di
samping ketergantungan manusia dengan subjek lainnya, manusia sebagai subjek
juga sangat bergantung dengan alam sekitarnya di mana ia dapat menjalankan
hidupnya. Ketergantungan manusia terhadap sesama manusia selaku subjek dan alam
sekitarnya adalah suatu hal yang esensial bagi keberadaan subjek itu sendiri.
Kebutuhan esensial ini menyebabkan manusia hidup berhubungan dengan manusia
lainnya dalam bentuk kelompok atau masyarakat.
Terbentuknya kelompok masyarakat manusia pada tempat tertentu dan alam
sekitarnya secara objektif dapat terjadi karena kebutuhan bathin ingin hidup
bersama, faktor alam yang memaksa mereka harus bersatu, atau faktor keyakinan,
bahkan tidak jarang bersatunya manusia karena mengalami perlakuan yang tidak
adil dari kelompok manusia lainnya. Dari sinilah tumbuh dan berkembang suatu
ikatan sosial tertentu baik terhadap subjek-subjeknya maupun antara subjek
dengan tempat dan lingkungan alam di mana subjek-subjek itu berada dan hidup.
Terjalinnya ikatan dan tatanan sosial adalah didasarkan pada hubungan yang
didasarkan pada nilai-nilai dan peradaban serta keepercayaan yang dianut oleh
kelompok manusia tersebut. Nilai inilah yang menimbulkan rasa persatuan di
kalangan kelompok manusia itu dan akhirnya menimbulkan rasa kebersamaan yang
sama yang terungkap dalam bentuk kelompok bangsa dan rasa nasionalisme.
Kenyataan yang hakiki inilah yang tercernin di dalam Sila Ketiga Pancasila,
yakni Persatuan Indonesia. Hobsbawm mengutip Geller menyebutkan bangsa adalah
sesuatu yang alami, cara pengklasifikasi manusia yang diberikan Tuhan, sebagai
sesuatu yang inheran…takdir politik;
semuanya merupakan mitos; nasionalisme, yang terkadang membawa
kebudayaan-kebudayaan yang ada sebelum dan membelokkannya ke dalam
bangsa-bangsa, terkadang menemukan dan sering menghapuskan
kebudayaan-kebudayaan yang ada sebelum. Ini adalah realitas.19
Setelah manusia sebagai subjek berkumpul dan berhubungan dengan subjek
lainnya, sudah tentu memiliki maksud dan tujuan hidup bersama dalam bentuk
negara. Maksud dan tujuan hidup bersama sudah tentu dirumuskan dan dibentuk
secara bersama-sama pula. Subjek-subjek sudah pasti menyadari bahwa dalam
rangka mencapai maksud dan tujuan bersama diperlukan nilai-nilai kebenaran dan
bagaimana menemukan dan menjalankan kebenaran yang telah dibentuk dan
dirumuskan. Dalam konteks ini, upaya subjek-subjek dalam kehidupan bersama
bukanlah menentukan kebenaran, melainkan menemukan kebenaran. Sebab kebenaran
itu sendiri sudah ada hanya subjek-subjek itu dengan kemampuan akal dan
bathinnya belum mampu membuka tabirnya.
Manusia tidak tahu bukan berarti sesuatu yang tidak diketahuinya itu tidak
ada, sesuatu itu sudah ada tetapi ia belum sampai pada tahunya tentang yang
tidak diketahuinya. Demikianpun terhadap kebenaran. Kebenaran itu sendiri telah
ada, namun kebenaran itu dianggap oleh manusia tidak ada karena manusia belum
dapat dicerna dan disimpulkan oleh akalnya sehingga hal tersebut dianggap
misteri oleh akal atau manusia, maka
dianggap kebenaran itu tidak ada. Pada hal kebenaran, pada hakekatnya, sudah
ada hanya saja akal belum menemukannya. Jadi, manusia bukan penentu dan pusat
kebenaran melainkan hanya mengakui kebenaran.20
Dengan demikian sesuatu yang belum dapat dicerna dan ditangkap oleh akal,
dianggap hal tersebut mesteri akal, dan bila akal telah mampu mengungkap
misteri itu, maka misteri yang terungkap itu menjadi hal yang biasa bagi subjek-subjek
tersebut, dan hal ini akan dianut dan ditindak lanjuti dalam kehidupan bersama,
bernegara.
Pada hakekatnya, kemampuan setiap subjek dalam menemukan dan meletakkan
ke-benaran dalam rangka mencapai kebahagiaan hidup bersama tidaklah sama. Di sinilah
peranan subjek-subjek yang memiliki kelebihan itu menemukan dan mengungkapkan
kebenaran untuk pegangan dalam mencapai tujuan hidup bersama sebagaimana
tertuang di dalam Sila Keempat Pancasila yaitu Kerakyatan yang dipimpin oleh
hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan.
Dalam rangka mencapai tujuan
kehidupan bersama itu, maka subjek-subjek baik secara individu maupun bersama
memerlukan benda-benda alam. Benda-benda alam yang sudah ada yang diciptakan
oleh Tuhan dan benda-benda itu selamanya terikat keberadaanya dengan Tuhan.
Benda-benda alam yang ada di sekitar subjek-subjek itu sudah pasti dibutuhkan
oleh setiap subjek-subjek baik secara individual mau pun dalam kehidupan
bersama subjek-subjek tersebut. Posisi subjek-subjek terhadap benda alam yang
telah ada mempunyai kesempatan yang sama satu dengan yang lannya. Oleh karena
itu, okupasi benda-benda alam oleh subjek secara individu harus pula tidak
mengganggu okupasi secara bersama-sama. Di sini terlihat bahwa penggunaan semua
benda-benda alam yang ada disekitar subjek-subjek tersebut harus dipergunakan
dan dimanfaatkan secara adil, baik dalam kapasitas okupasi pribadi maupun dalam
kapasitas okupasi bersama-sama. Nilai-nilai inilah yang dituangkan di dalam
Sila Kelima Pancasila yaitu Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia.
Kekuatan pengaruh hubungan Tuhan dengan manusia dan alam sangat
mempengaruhi dan membentuk nilai-nilai yang suatu masyarakat tertentu yang pada
gilirannya menentukan cara dan tujuan manusia menjalin hubungan sesama manusia,
alam, dan Tuhan yang dijadikan dasar pembentukan hukum.
Uraian di atas telah menjelaskan, bahwa hubungan manusia, alam dengan Tuhan
adalah hubungan keniscayaan. Artinya
terdapat keterkaitan, keterhubungan, dan keterlibatan. Hubungan tersebut bersifat
dinamis, artinya ada keterjalinan sadar yang dihayati dan dijadikan sebagai
akar serta inti kepribadiannya. Di samping itu, terdapat hubungan yang
reflektif penuh arti dan suka rela dan dapat dipikirkan.
Secara sederhana urian di atas dapat dilihat dalam matrik di bawah ini.
NO
|
SILA
|
ESENSI
|
POLA
HUBUNGAN
|
TUJUAN
|
01
|
Ketuhanan Yang Maha Esa
|
Tuhan (Ruh)
|
Manusia, alam dengan Tuhan
|
Kehidupan dunia dan akhirat
|
02
|
Kemanusiaan Yang Adil Dan Beradab
|
Manusia
(Ruh dan Materi)
|
Manusia dengan Manusia lainnya
|
Pemeliharaan hidup manusia.
|
03
|
Persatuan Indonesia
|
Makhluk sosial (materi)
|
Manusia dengan alam dan
masyarakat
|
Menjaga kehidupan sosial
|
04
|
Kerakyatan Yang Dipimpin Oleh Hikmah Kebijaksanaan
dalam Permusyawa-ratan/Perwakilan
|
Cara Hidup
(hubungan Ruh dan Meteri)
|
Individu dengan negara
|
Asal dan penggunaan kekuasaan
dalam hidup bersama
|
05
|
Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia
|
Materi
|
Manusia dengan
alam
|
Kesempurnaan hidup pribadi dan
bersama.
|
B. Filsafat Hukum
Pancasila
Ada dua aliran yang membicarakan masalah konsep hukum, aliran pertama hukum
dilihat sebagai suatu nilai metaphysis
yang mendekati nilai susila. Aliran ini adalah aliran yang di dalam
rumusan Hukum Romawi Kuno dinyatakan dengan ucapan yang terkenal yang berbunyi:
ius est ars boni et aequi (Hukum itu
adalah seni tentang yang baik dan yang adil). Tetapi yang berhadapan dengan
aliran filsafat tersebut ialah aliran yang mengatakan bahwa hukum adalah sama
dengan kekuasaan belaka. Dalam pandangan ini kekuasaan adalah hukum, dan hukum
sama dengan kekuasaan.21
Di atas telah disebutkan, berdasarkan pandangan Pancasila, Tuhan berada
dipuncak dan sumber segala-galanya, baik manusia itu sendiri maupun alam. Dan
Tuhan sebagai sumber mutlak kebenaran oleh sebab itu Tuhan adalah sumber
kekuasaan dan yang berkuasa. Konsekuensi
bahwa Tuhan sebagai pusat kebenaran dan kebenaran yang ditetapkan oleh Tuhan
bersifat mutlak, maka pemikiran ini menghasilkan bahwa hukum adalah kehendak
Tuhan. Jadi, konsep hukum menurut Pancasila adalah adanya hubungan hukum dengan
teologis. Semua hubungan yang terjadi antar sesama manusia dan alam tunduk pada
kekuasaan dan kehendak Tuhan. Apabila pernyataan tersebut dikaitkan dengan
pemikiran bangsa Semit yang memahami hukum sebagai sesuatu yang absolut dan
diwahyukan oleh Tuhan, berbeda dengan konsep hukum bagi orang-orang Greek
menyusun pemikiran hukum alam. Hukum absolut yang dipegangi oleh orang Semit
bersifat eksternal, sedangkan konsepsi Greek merupakan salah satu hukum
internal yang merupakan bagian dari hakekat manusia.
Pada realitasnya, tidak dapat
dipungkiri, manusia kesulitan untuk dapat memahami kehendak Tuhan. Hal ini
terjadi karena manusia hanya mengandalkan kekuatan akalnya semata-mata dan
melalaikan peranan bathin, hati atau jiwanya. Manusia dengan mengandalkan
akalnya beragumentasi, bahwa akal bersifat netral dan objektip. Hal ini dapat
dimaklumi, karena akal pada hakekatnya adalah kumulatif dari rekaman pengalaman
yang sangat terkait dengan materi. Namun tanpa disadarinya bahwa dari materi saja tidak dapat dikeluar suatu
nilai. Nilai hanya dapat dikeluarkan dari nuansa bathin atau perasaan yang
muncul dari penilaian suatu sifat dari materi, sedangkan materi dalam
tampakannya adalah ujud atau bentuk dari materi. Demikian pun terhadap hukum. Hukum sebagai
kenyataan haruslah dipandang dari dua aspek, yakni kenyataan hukum dalam bentuk
adanya, dan kenyataan hukum dalam bentuk idea atau nilai atau sifat hakiki
hukum. Idee Hukum menurut menurut filsafat hukum sangat dibutuhkan dalam
membentuk definisi formal tentang hukum sebagai kenyataan meteria. Cara
berfikir tentang konsep hukum yang demikian ini terlihat cenderung pada pikiran
bangsa Greek yang memahami hukum sebagai pemikiran hukum alam, dimana hukum
merupakan bagian dari hakekat manusia.
Pada hakekatnya tujuan akhir dari hukum adalah bermuara pada rasa atau
perasaan yang terjelma dalam bentuk adil. Tujuan akhir hukum adalah bagaimana
manusia itu bahagia dalam menjalani kehidupannya, bagaimana manusia tidak
mengalami kenestapaan dengan berpatokan kepada adil. Apabila adil telah
tercipta, maka bahagia akan menjelma dalam bathin atau hati setiap manusia.
Bahagia adalah urusan bathin atau hati, namun tidak dipungkiri sarananya adalah
materi. Pada tataran inilah adil harus dirasionalkan, karena materi dapat
diukur dan diinderai. Tegasnya tujuan
akhir manusia adalah berkenaan dengan terjaga dan terlindunginya harkat dan
martabat manusia hal sama artinya dengan diperlakukan secara adil. Sedangkan
harkat dan martabat manusia lebih kental berhubungan langsung dan dapat dikenal
dan diketahui melalui dunia perasaan, hati atau batin, bukan dari dunia meteri
semata. Keadilan adalah benda dari adil, dan ruhnya ada pada rasa adil dan ini
berkenaan dengan rasa yang dialami oleh seseorang karena diperlakukan adil.
Harkat dan martabat manusia bukanlah ditentukan atau terpaku kepada tergang-gunya
pisik atau materi manusia semata-mata tetapi lebih menekankan pada perasaan
akibat terganggunya materi. Artinya materi atau pisik manusia adalah sebagai
tolok ukur untuk me-nentukan terganggu tidaknya perasaan atau jiwa, hati
manusia. Jadi pada hekikatnya perasaan, jiwa, adalah titik utama yang harus dijaga dalam
suatu hubungan yang terjadi. Dengan kalimat lain, materi atau pisik adalah alat
ukur untuk menentukan ada tidaknya perasaan atau harkat dan mertabat manusia
itu terganggu atau dilanggar. Hal ini sesuai dengan hakikat manusia itu sendiri
yang terdiri dari materi dan ruh. Ruh tanpa materi tidak ada kehidupan dan
materi tanpa ruh juga tidak ada kehidupan. Padahal hakekat hukum adalah
menegakkan kehidupan manusia. Dan ruh adalah berkenaan dengan rasa dan rasa
adalah berkenaan dengan Tuhan atau iman. Dengan kemampuan rasa itulah memberi
ke-mampuan kreatitivitas, ialah yang membangun sesuatu yang
sebelumnya tidak ada.
Sesuatu yang berujud materi akan dapat dipahami dan dimengerti oleh manusia
melalui akalnya dan pengalamannya, sebaliknya yang berkenaan dengan perasaan
adalah berkaitan dengan ruh. Ruh tidak dapat dipahami melalui akal semata,
melainkan harus di-sertai oleh rasa yang difitrahkan kepada manusia dengan
pendekatan ketuhanan atau melalui akal budi. Dengan demikian dalam pandangan
filsafat hukum Pancasila terlihat, bahwa hu-kum
haruslah dipahami sebagai kesatuan antara ruh dengan materi merupakan dwi
tunggal. Keduanya haruslah dipahami dan dilaksanakan secara dwi tunggal pula.
Oleh karena itu, hubungan sebagai unsur esensial dari hukum tidak terlapas dari
kedua hal tersebut yang harus diperlakukan secara seimbang tetapi merupakan
satu kesatuan yang tidak terpisahkan. Di sinilah sebenarnya letak hakikat
Filsafat Hukum Pancasila itu. Bila dibandingkan dengan konsep hukum yang
dipergunakan oleh orang Semit dan orang Greek maka konsep hukum menurut
Falsafah Hukum Pancasila adalah gabungan pemikiran semit dan greek.
C. Simpulan
Dari uraian di atas dapatlah ditarik
kesimpulan dalam dunia filsafat hukum Pancasila terlihat dianut gabungan
pemikiran filsafat hukum kodrat (filsafat idea) dalam artian hukum bukan
ketentuan Tuhan melainkan kehendak Tuhan dan filsafat hukum positivisme hukum (
filsafat materialis) kedudukan keduanya saling mengisi tak terpisahkan satu
dengan lainnya. Dengan demikian konsep hukum menurut filsafat hukum Pancasila
adalah penggabungan pemikiran Semit dan Greek. Hal ini sesuai dengan hakikat
citra manusia terdiri dari roh dan materi, oleh karenanya dalam filsafat hukum
Pancasila antara hukum dan moral merupakan satu kesatuan yang utuh. Tegasnya
dalam filsafat hukum Pancasila dianut aliran pemikiran dualistik, yaitu ruh dan
materi yang dipandang sebagai monisme. Pada sisi lain filsafat hukum Pancasila
adalah melapiskan pemikiran hukum kodrat irrasional dan rasional sekaligus.
DAFTAR KEPUSTAKAAN
Abbas Mahmoud Al-Akkad, 1981, Ketuhanan Sepanjang Ajaran Agama dan Pemikiran Manusia, Bulan
Bintang, Jakarta.
Abdoerraoef, 1970, Al Qur’an dan Ilmu Hukum, Bulan
Bintang, Jakarta
D.H.M.Meuwissen, 1994,
“Filsafat Hukum” ,Pro Justisia, terjemahan, No.3, Juli 1994.
E.J.Hobsbowm,
1992, Nasionalisme Menjelang Abad XXI,
Tiara Wacana, Yogya.
Etienne
Gilson,2004, God and Philosophy, Mizan, Bandung.
Endang
Daruni Asdi, 1998, Implikasi teori-teori moral Pada Hukum, Pidato
Pengukuhan jabatan guru besar pada fakultas Filsafat Universitas Gadjah Mada di
Jogjakarta, tanggal 29 Juni 1998. .
Orloc, 1987, Kekuasaan,
terjemahan, Erlangga, Jakarta.
Oliver Leaman,2002, Pengantar
Filsafat Islam Sebuah Pendekatan Tematis, Mizan, Bandung.
Konosuke Matsushita,1977, Pikiran Tentang Manusia, Pustaka Jaya, Jakarta.
Paulus Wahana,1993, Filsafat Pancasila, Kanisius, Yogjakarta.
Sayyed Hussein Nasr, 2003, Antara Tuhan, Manusia, dan Alam, IRCsoD, Yogyakarta.
Theo Huijbers, 2000, Manusia
Merenungkan Dirinya, Kanisius Yogyakarta.
------------,1995, Filsafat Hukum, Kanisus,
Jogjakarta.
W. Poespoprodjo, 1986, Filsafat Moral Kesusilaan dalam
Teori dan Praktek, Remadja Karya, Bandung.
Muhammad Khalid Mas’ud, 1995, Filsafat Hukum Islam dan Perubahan Sosial, terjemahan Yudian
W.Asmin, Al Ikhlas, Surabaya.
Mohd.Koesnoe,1994, “Mengamati Konsep Hukum di Dalam
Masyarakat Kita”, Varia Peradilan, No. 105, Juni 1994.
------------, 1992, “Hukum Dan Peraturan Di Dalam Sistem
Tata Hukum Kita,” Varia Peradilan, No.84, September 1992
â Dosen
Fakultas Hukum Universitas Islam Sumatera Utara, Fakultas Hukum Universitas
Pembinaan Masyarakat Indonesia, Sekolah Tinggi Ilmu Hukum Swadaya, dan advokat.
[1]
TAP MPRS Nomor XX/MPRS/1966, dan Inpres Nomor 12 Tanggal 13 April 1968
menegaskan bahwa pengucapan, penulisan rumusan Pancasila Dasar Negara Republik Indonesia yang sah dan
benar adalah sebagaimana uang termaktum di dalam Pembukaan UUD 1945.
[2] Paulus Wahana, Filsafat
Pancasila, Kanisius, Yogjakarta, 1993, hlm., 88
[3]
D.H.M.Meuwissen, “Filsafat Hukum” dalam Pro
Justitia, Tahun XII Nomor 3 Juli 1994.
[4]
Hubungan adalah kenyataan dari relasi dua atau lebih sesuatu yang ada dan
saling berinteraksi.
5 lihat Endang Daruni Asdi , Implikasi teori-teori
moral Pada Hukum, Pidato Pengukuhan jabatan guru besar pada fakultas
Filsafat Universitas Gadjah Mada di Jogjakarta, tanggal 29 Juni 1998, hlm, 2.
Lihat juga Abdoerraoef Al Qur’an dan Ilmu Hukum, Bulan Bintang, Jakarta,
1970, hlm., 1-3 yang mengatakan, bahwa hukum itu mempunyai fungsi
mengurus tata tertib masyarakat, maka tentulah kita harus pula mengakui bahwa
setiap masyarakat yang di dalamnya terjadi tata tertib, adalah diatur oleh
hukum. Dan hukum itu tentu ada dalam masyarakat itu. Dan apabila kita
memberikan arti kepada kata masyarakat itu sebagai suatu keadaan berkumpul
bersama-sama dalam suatu tempat yang tertentu dengan melakukan fungsinya
masing-masing, maka keadaan bermasyarakat itu bukan saja terjadi pada umat
manusia, tetapi juga pada seluruh yang maujud ini, Ada masyarakat benda mati,
masyarakat tumbuh-tumbuhan, masyarakat binatang dan lebih besar lagi,
masyarakat tata surya…”jadi kalau kita hendak mencoba memberikan suatu definisi
tentang apa yang dikatakan hukum itu, kita tidak harus mendefinisikan tentang
hukum yang ada dalam masyarakat umat manusia saja. Kecuali kalau definisi yang
diberikan itu memang defenisi tentang apa yang dikatakan hukum dalam masyarakat
manusia saja. Jadi suatu pengertian species daripada pengertian genus tentang
apa yang dikatakan hukum; lihat juga W. Poespoprodjo Filsafat Moral
Kesusilaan dalam Teori dan Praktek, Remadja Karya, Bandung, 1986, hlm., 150
yang membagi hukum dalam dua bagian, yaitu (a) hukum fisik, membebankan
keharusan fisik dan (b) hukum moral, membebankan keharusan moral. Aristoteles
dalam Theo Huijbers, Filsafat Hukum, Kanisus, Jogjakarta, 1995, hlm.,
24, mengatakan hukum harus dibagi dalam dua kelompok. Hukum yang pertama ialah
hukum alam atau kodrat, yang mencerminkan aturan alam. Hukum alam itu merupakan
suatu hukum yang selalu berlaku dan tidak pernah berubah karena kaitannya
dengan alam. Hukum yang kedua adalah hukum positif, yang dibuat oleh manusia;
lihat juga pendapat John Austin yang yang membagi hukum dalam dua macam, yaitu
(a) hukum Allah. Hukum ini lebih-lebih merupakan suatu moral hidup daripada
hukum dalam arti yang sejati (b) Hukum manusia, yakni segala peraturan yang
dibuat oleh manusia sendiri.
5 Tuhan di sini diartikan dalam arti yang luas baik dalam
kaitannya dengan budaya maupun dalam kaitannya dengan agama, misalnya dewa-dewa
, mitos, roh nenek moyang, maupun Tuhan dalam arti yang ditetapkan oleh
berbagai agama misalnya dalam agama Kristen, Yahudi, Budha, Hindu dan Islam.
6 Dalam sejarah pemikiran yang tercatat, manusia mencari
rahasia alam yang berujung pada keadaan mutlak. Keadaan mutlak yang demikian
itulah pada hakekatnya disebut Tuhan yang dibahasakan dalam berbagai nama
sesuai dengan bahasa manusia yang bersangkutan, sebagaimana yang dilakukan oleh
filosuf Yunani kuno yang diawali oleh filsafat kosmologi. Hal ini terjadi
karena alam memberi rasa takjub kepada manusia, berdasarkan pemikiran yang
demikian Tuhan dikenali dalam wujud benda-benda (materi) yang melahirkan
pemikiran materialisme. Aliran materialisme ini menjadi lebih kokoh lagi
sebagaimana yang dikembangkan oleh Aristoteles. Di samping pemikiran yang
demikian itu, terdapat pula pemikiran bahwa alam realitas sebenarnya tidak ada
yang ada adalah alam idea. Alam realitas sebenarnya adalah cerminan alam idea.
Pemikiran yang demikian ini melahirkan aliran pemikiran idealisme, dan alam
idea tersebut adalah Tuhan.
7 Abbas Mahmoud Al-Akkad, Ketuhanan Sepanjang Ajaran Agama dan Pemikiran Manusia, Bulan
Bintang, Jakarta, 1981, hlm.,27
8 Ibid.,
hlm.,22
9 Etienne Gilson, God and Philosophy,
Mizan, Bandung, 2004, hlm., 202.
10 Orloc, Kekuasaan, terjemahan, Erlangga, Jakarta, 1987, hlm, 111.
11 Bandingkan dengan pernyataan Imanuel Kant: “Tuhan dalam
traktat rasional adalah hipotesis, tetapi dalam traktat keimanan/keyakinan
adalah kebenaran“, dalam Sayyed Hussein Nasr, Antara Tuhan, Manusia, dan Alam, IRCsoD, Yogyakarta, 2003
12 Ibid., hlm., 204
13 Oliver Leaman, Pengantar Filsafat Islam Sebuah Pendekatan
Tematis, Mizan, Ban-dung, 2002, hlm.,
53
14 Konosuke Matsushita, Pikiran Tentang Manusia, Pustaka Jaya, Jakarta, 1977, hlm., 43.
15 Manusia tidak mampu
menjawab siapa sesungguhnya ia, kalaupun ada kajian tentang manusia ditemui
dalam kajian filsafat manusia yang menjawab mulai di mana manusia itu mulai
sendiri. Jadi pembahasan ini melihat dari sisi proses yang bersandar pada
kajian empirik artinya manusia sudah ada secara emprik tetapi tidak membahas
siapa yang mengadakan sehingga manusia itu ada.
16 Aturan-aturan itu
sebagaimana terlihat di dalam kitab-kitab suci masing-masing agama.
17 Kesadaran di sini
dimaksudkan manusia sadar akan kelebihan dan kekurangan dirinya dalam dunia
ini.
18 Theo Huijbers, Manusia Merenungkan Dirinya, Kanisius
Yogyakarta, 2000, hlm., 21
19 E.J.Hobsbowm, Nasionalisme Menjelang Abad XXI, Tiara
Wacana, Yogya, 1992, hlm., 9.
20 Kebenaran itu
telah ditentukan oleh Tuhan dan manusia mencoba menggali dan menemukan kebenaran
dan mengakui kebenaran itu melalui akal budinya. Jadi dalam konteks menetapkan
tujuan hidup bersama, bernegara, tetap terikat pada kekuasaan Tuhan sebagai
pencipta dan penguasa alam semesta termasuk manusia.
21 Mohd.Koesne,
“Mengamati Konsep Hukum di Dalam Masyarakat Kita”, Varia Peradilan, No.
105, Juni 1994, hlm., 109
Tidak ada komentar:
Posting Komentar