HUKUM DAN MORALITAS
(Persefektif syari’ah)
Zulfirmanâ
A. Pendahuluan
Tak dapat disangkal, di dunia ini, manusia1
adalah makhluk yang mempunyai kedudukan dan peranan yang begitu sentral karena kemampuan
akalnya2. Secara eksistensial, dengan akalnya,
manusia adalah makhluk yang paling sempurna
di dunia ini, ia mampu melakukan pilihan-pilihan dan penilaian terhadap sesuatu
dan dirinya. Namun pada sisi fungsionalnya,
manusia adalah makhluk yang lemah dan berketerbatasan.
Artinya manusia dalam hal-hal tertentu tidak mampu memenuhi keinginan dan kebutuhannya tanpa bantuan manusia lainnya dan menggantungkan kepada sesuatu yang dianggapnya memiliki kelebihan dari dirinya.
Artinya manusia dalam hal-hal tertentu tidak mampu memenuhi keinginan dan kebutuhannya tanpa bantuan manusia lainnya dan menggantungkan kepada sesuatu yang dianggapnya memiliki kelebihan dari dirinya.
Keterbatasan manusia untuk dapat memenuhi kebutuhan hidupnya adalah sebagai ujud sifat antinomi3 yang terdapat pada dirinya. Oleh karena
itu, secara sosioligis, keterbatasannya itulah membuat manusia melakukan
hubungan atau interaksi dengan manusia lainnya maupun terhadap alam
lingkungannya. Interaksi yang dilakukan manusia itu haruslah berjalan dan
terjadi secara tertib agar eksistensi masing-masing tetap terjaga dan terpelihara. Interaksi
yang bersifat kontinu dan permanen yang dilakukan manusia menyebabkan lahirnya
norma di dalam kehidupan masyarakat manusia. Norma masyarakat dapat muncul dalam berbagai
bentuk yaitu (a) norma kesusilaan (b) norma
adat istiadat (c) norma kebiasaan (d) norma agama, dan (e) norma hukum.
Keberadaan hukum dapat berbentuk mengambang dalam
suatu norma atau kaidah dan nilai atau pada dunia abstrak ideal, tetapi hukum
juga dapat terlihat bentuknya yang nyata dalam praktek kehidupan sehari-hari
yang ujudnya terlihat dalam suatu undang-undang, peraturan-pertaturan tertulis
mempunyai daya paksa yang dilakukan oleh penguasa yang sifatnya praktikal. Hukum
pada instansi pertama adalah suatu kompleks aturan-aturan permainan yang
maknanya tidak terutama diarahkan pada ancaman dengan sanksi-sanksi, melainkan
pada ikhwal menentukan, apa yang kita dalam pergaulan sosial
dapat (boleh) saling mengharapkan.
Hukum dapat dijadikan objek kajian ilmu dan
filsafat. Konsep ilmu dalam ilmu hukum mempunyai sifat dan cakupan yang bersifat
praktikal dan teoritikal. Sifat praktikal terbawa oleh hakekat dan kondisi
hukum, karena hukum di satu sisi seperti mengarah pada praktek dan diarahkan
oleh perkembangan situasi dalam praktek. Sifat teoritikal terbawa oleh hakekat
dari ilmu yang memerlukan logika dan abstraksi dalam perumusannya.4 Melihat dari pengelompok ilmu hukum
sebagai ilmu di atas, maka ilmu hukum
adalah me-
rupakan ilmu kemanusiaan yang berkenaan dengan manusia.5
Van Peursen memasukkan ilmu hukum ke dalam
ilmu-ilmu terapan dan ilmu-ilmu praktis. Dalam ilmu yang tergolong ke dalam
ilmu-ilmu terapan dan praktis ini terkandung penilaian dapat dilaksanakan atau
tidak dapat dilaksanakan di samping penilaian sahih atau tidak dan benar atau
salah.6 Apabila pendapat ini dianut maka dalam ilmu hukum berlaku metode
berpikir yang secara kausalitas. Namun ilmu hukum tidaklah semata-mata dapat
dipandang sebagai ilmu praktis atau terapan saja, melainkan juga ilmu tentang
kaidah, ilmu tentang pengertian, dan ilmu tentang kenyataan.7 Dengan demikian objek ilmu hukum adalah
kompleks. Ia terdiri dari keterberian-keterberian kemasyarakatan di satu pihak,
kaidah-kaidah hukum di lain pihak.8
Ilmuwan hukum melakukan penelitian, ia menghimpun bahan-bahan yang
baginya relevan, berupaya mencapai ovjektivitas dan kelengkapan; namun penelitan
ini sesung-guhnya terarah pada praktikal, ikhwalnya berkenaan dengan upaya menjawab
pertanyaan-pertanyaan yuridikal, atau setidaknya menciptakan kerangka-kerangka
untuk penyelesaian kejadian-kejadian bermasalah. Dengan demikian, ilmuan hukum memberikan
suatu kontribusi pada pembentukan hukum; ia mengambil bagian pada perkembangan
hukum sebagai proses kemasyarakatan, dari sudut suatu pengertian yang digunakan
secara professional dari apa yang proses ini, sesuai dengan sifatnya,
menetapkan syarat-syarat. Jadi ilmuan beranjak dan berdiri dari dalam (menjadi
bagian dari) kenyataan yang ditanyainya. Dengan demikian semakin jelas
menunjukkan, bahwa ilmu hukum adalah ilmu manusia, konsekuensinya terdapat petimbangan
nilai baik dan buruk tentang hukum tersebut dan ini berhubungan dengan moral ketimbang
hukum. Bila demikian halnya ada kemungkinan hukum bersintuhan dengan moral.
B.
Rumusan Masalah
Hukum berkenaan dengan manusia demikian juga dengan moral. Oleh karena itu, bagaimanakah hubungan hukum dan moral menurut pandangan syari'ah Islam?
PEMBAHASAN
A. Hubungan sebagai penyebab adanya hukum.
Meuwissen
yang mengatakan filsafat hukum ingin mendalami “hakikat” dari hu-kum, dan itu
berarti,
bahwa ia ingin memahami hukum sebagai penampilan atau manifest-tasi dari suatu
asas yang melandasinya. Hukum itu adalah suatu bagian dari “kenyataan” dan
dengan demikian ia juga memiliki sifat-sifat kenyataan itu.9 Hukum sebagai bagian dari kenyataan
hanya dapat dilihat pada adanya “hubungan”.10
Jadi, hubungan adalah hal yang esensial untuk adanya hukum, karena di dalam
kandungan hubungan berkenaan dengan cara dan tujuan. Berdasarkan adanya
hubungan itu, hukum dibagi dalam dua macam yaitu hukum deskriptif dan hukum
preskriptif.11 Dalam konteks kealaman,
hukum dapat diberi arti sebagai hukum yang deskriptif yaitu hukum yang
menunjukkan sesuatu yang dapat terjadi, misalnya hukum gravitasi, hukum
Archimedes. Hukum yang demikian ini menjadi objek ilmu-ilmu kealaman. Sedangkan hukum yang berkenaan
dengan petunjuk tingkah laku manusia dalam pergaulan hidupnya yang ditentukan
oleh suatu otoritas yang mengatur apa yang boleh dan apa yang tidak boleh
dikerjakan dalam bentuk norma atau kaidah disebut hukum preskriptif. Hukum
yang terakhir inilah yang menjadi objek filsafat hukum maupun ilmu hukum.
Dalam
kehidupan di dunia ini ditemukan tiga esensi yang saling berhubungan, yaitu (a)
Tuhan (b) manusia dan (c) alam semesta. Ketiga esensi tersebut dapat dipaham-kan
Tuhan sebagai dunia idea (ruh), alam (dunia) sebagai materi, dan manusia tempat
berpadunya dunia idea (ruh) dan materi (alam). Esensi ruh dan meteri terlihat
jelas pada diri manusia;
sesuai dengan esensinya yang demikian
itu, manusia mempunyai kedudukan dan fungsi yang sentrum dan penting di dunia. Konsekuensi
dari manusia sebagai makhluk yang sebagai himpunan ruh dan materi, maka konsep
tentang manusia terdiri dari tiga konsep, yakni (a) manusia sebagai makhluk
sosial (b) manusia sebagai makhluk biologis dan (c) manusia sebagai makluk
religius.
Di atas telah diterangkan keberadaan
tiga esensi, tuhan, manusia dan alam, itu saling berhubungan satu
sama lainnya dan merupakan satu kesatuan yang saling terkait pula antara satu
dengan lainnya. Hubungan sebagai suatu
kenyataan mempunyai arti dan nilai,
karena dalam hubungan
itu berisikan
cara dan tujuan. Tiga
ensi yang disebutkan di atas mewujud
tiga pola hubungan yang paling mendasar, yaitu:
1. Hubungan Tuhan
dengan manusia, dan alam.
2. Hubungan antar
sesama manusia.
3. Hubungan antar
manusia dan alam lingkungan.
Dari
tiga pola hubungan itu Tuhanlah sebagai penentu utama pola hubungan, sebab
Tuhan adalah pencipta manusia dan alam. Sebagai Pencipta membawa konseku-ensi
bahwa Tuhan adalah pusat hubungan dan pembentuk hubungan. Sebagai Pencipta
pula, Tuhan yang mengetahui secara pasti apa yang dibutuhkan oleh manusia dan
alam. Dalam hubungan Tuhan dengan manusia dan alam, maka Tuhan menyapa manusia
dan alam untuk melakukan apa yang terbaik untuk manusia dan alam tersebut.
Melalui sapa-annya itulah Tuhan menentukan bagaimana hubungan itu dijalankan,
baik hubungan an-tara Tuhan dengan manusia, hubungan sesama manusia dan
hubungan manusia dengan alam. Hubungan-hubungan yang ada, pada dasarnya adalah
untuk keteraturan dan keter-tiban dari dua hal yang berinteraksi.
Keteraturan
berkenaan dengan landasan substansi dari hukum berada dalam dunia nilai (Idea)
atau sebagai jiwa hukum merupakan ranah roh yang berkaitan dengan rasa yang
berhubungan dengan substansi harkat dan martabat manusia, sedangkan ketertiban
adalah tujuan hukum dalam ujudnya yang materia (positipis) merupakan tubuh
hukum yang terwujud dalam norma hukum yang berada pada ranah otoritas akal yang
berhubungan dengan faktor-faktor materia yang berkenaan dengan keberadaan
harkat dan martabat manusia.
B. Pengertian Hukum
Sebagaimana disebutkan di atas, hukum pada hakekatnya lahir karena
adanya hubungan. Oleh karenanya, akal sulit memberikan definisi hukum yang
tepat dan menyeluruh, dan definitip karena kompleksnya hubungan yang terjadi antara manusia dengan Tuhan
dan alam. Di samping itu, kesulitan itu diperparah lagi karena luasnya cakupan
hukum dan sulitnya menentukan objek hukum secara positif empiris spesifik.
Keberadaan hukum pada dasarnya adalah berkenaan dengan dunia abstrak
yang menjadi objek kajian akal manusia. Sejelas apapun suatu peristiwa hukum
tidaklah sejelas benda-benda alam yang positip empiris yang dapat ditangkap
oleh panca indra. Oleh karena itu, untuk mengenali dan memahami hukum peranan definisi atau konsep adalah menjadi
sangat penting.
Konsep atau definisi tentang hukum dari hukum konvensional yang
dihasilkan oleh setiap sarjana masih bersifat hipotesis. Hal ini didasarkan
pada dua alasan: pertama, kita sadar bahwa definisi itu masih dapat diuji lagi
lebih lanjut; dan kedua, karena fakta hukum itu sendiri sedemikian dinamis dan
kompleksnya.12
Konsep hukum dapat dibentuk berdasarkan hasil
pemikiran bebas manusia, dan dapat juga didasarkan pada ajaran agama. Dasar berpijak demikian ini sudah barang
tentu secara esensi dan formal antara keduanya dimungkinkan terdapat perbedaan
yang signifikan tetapi mungkin juga ada persamaan antara keduanya. Jika ditilik dari sejarah hukum, maka hukum yang
titik tolaknya berasal dari ajaran agama, kepercayaan, keyakinan melahirkan visi
hukum yang idealis-spiritualitis, sedangkan apabila hukum titik awalnya
dipandang beranjak dari titik pandang gejala kealaman, maka akan melahirkan
materialistis-sosiologis.13
Definisi hukum secara sekuler adalah hasil cipta, rasa, dan karsa
manusia mem-buahkan ilmu pengetahuan, hukum. Untuk dapat memberikan definisi
terhadap hukum setidak-tidaknya harus dilihat dari ciri-ciri hukum. Scholten,
dalam A.Gunawan Setiardja sebagaimana dikutip Endang Darani Asdi,14 memberi ciri-ciri dari hukum sebagai
berikut:
1. Hukum adalah perbuatan manusia. Menurut
ahli hukum, tatanan hukum adalah positip yang dibuat
oleh pemerintah dan pemerintah adalah sumber- sumber hukum.15
2. Hukum bukan hanya dalam keputusan, melainkan juga dalam
realisasinya. Menurut Prof. Padmo Wahyono, SH, hukum yang berlaku dalam suatu
negara mencerminkan perpaduan sikap dan pendapat pimpinan pemerintah dan
masyarakat mengenai hukum tersebut.
3. Hukum itu mewajibkan. Apabila hukum positip telah ditetapkan maka
setiap warga negara wajib untuk mentaati hukum sesuai dengan undang-undang.
4. Institusionali hukum. Hukum positip merupakan
hukum institusionali dan melindungi masyarakat.
5. Dasar hukum. Setiap hukum mempunyai dasar,
yaitu mewajibkan dan mengharus-kan. Pelaksanaannya
sesuai dengan idiologi bangsa.
Dari ciri-ciri di atas, dapatlah terlihat, hukum dipandang sebagai
gejala alam dalam bentuk gejala masyarakat.16
Jadi manusia, secara individu maupun sebagai
masyarakat merupakan data asli bagi
pembentukan konsep hukum dan hukum itu sendiri. Data itu, hukum diberikan definsi sebagai norma17 yang mengatur kehidupan manusia dan bertujuan untuk
mengatur ketertiban dalam hubungan manusia dengan manusia dalam masyarakat
untuk mencapai keadilan. Jadi, tujuan dari hukum secara sosiologis adalah ketertiban dalam
masyarakat.18 Karena tujuan hukum
untuk mengatur ketertiban dalam masyarakat maka hukum sebagai kaidah atau norma
dalam masyarakat sekurang-kurangnya di dalamnya berisi perintah dan atau
larangan, dan sifat kaedah hukum tersebut dalam bentuk (a) perintah (b) izin
(c) janji (d) pelengkap (penilaian dan penataan).19
Persepektif konsep hukum menurut hukum konvensional, positivisme
hasil pemikiran semata-mata, tidak dapat disangkal, bahwa hukum tidak akan
pernah ada bila tidak ada manusia berhubungan dengan manusia lainnya atau
dengan kalimat lain tanpa ada masyarakat tidak ada hukum. Oleh karenanya, hukum
lahir sebagai kristalisasi dari hasil cipta, rasa, dan karsa manusia yang
bermasyarakat. Akibatnya kebenaran hukum
sangat ditentukan oleh manusia
berdasarkan pengalaman akalnya. Pandangan demikian ini
berdasarkan, bahwa manusia adalah pusat kebenaran, sebagai konsekuensi bahwa manusia sebagai
makhluk yang memiliki akal (ratio).20
Konsep hukum menurut Islam adalah hukum adalah perintah Tuhan yang diwah-yukan
kepada Nabi Muhammad SAW. Fungsi wahyu bagi manusia adalah untuk memban-tu
manusia menunjukkan cara-cara berterima kasih kepada Allah. Hukum Islam merupa-kan
sistem ketuhanan yang mendahului negara Islam dan tidak didahului olehnya,
mengontrol masyarakat Islam dan tidak dikontrol olehnya.21
Ajaran Islam menyebutkan, hukum adalah menetapkan sesuatu atas
sesuatu atau meniadakannya. Secara bahasa, al-hukm juga mempunyai
pengertian al-qada’ (ketetapan) dan al-man’ (pencegahan). Ulama
usul fiqih mendefinisikannya dengan tuntutan Allah SWT yang berkaitan dengan
perbuatan orang mukalaf, baik berupa tuntutan, pemilihan, atau menjadikan
sesuatu sebagai sebab, syarat, penghalang, sah, batal, rukhsah, atau ‘azimah.22 Kesemua itu dijabarkan dalam lima kategori hukum yaitu
wajib, haram, sunah, makruh, dan mubah. Dari lima kategori hukum ini jelas mencerminkan manusia pendukung hak dan
kewajiban. Kategori hukum sunah, makruh, dan mubah merupakan refleksi hak bagi
manusia, sedangkan kategori hukum wajib dan haram merepleksikan kewajiban bagi
manusia.
Ada perbedaan pendapat antara ulama usul fiqih
dengan ulama fiqih dalam mengartikan hukum. Ulama fiqih berpendapat, hukum dipemahamkan
sebagai akibat dari tuntutan syariat, menurut ulama usul fiqih, hukum adalah
tuntutan syariat itu sendiri.23 Menurut pendapat usul
fiqih hukum Islam itu absolut dan abadi sifatnya.
Tentang konsep hukum Islam adalah absolut dan
abadi terdapat perbedaan pendapat mengenai hal itu. Pendapat yang pertama
mengemukakan mengenai sumber hukum Islam adalah kehendak Tuhan, yang mutlak dan
tidak bisa berubah. Pendekatan yang
dilakukan berdasarkan pendekatan kekuasaan, yakni Tuhan Maha Kuasa. Pendapat ini mendekati konsep hukum dalam
kaitannya perbedaan antara akal dan wahyu.
Pandangan yang kedua dari definisi hukum Islam di sana ditunjukkan,
bahwa hukum Islam tidak bisa diidentifikasi sebagai sistem aturan-aturan yang
bersifat etis atau moral. Pemikiran ini
didasarkan pendekatan bahwa Tuhan adalah Maha Pengasih lagi Maha Penyang. Pendapat ini membicarakan perbedaaan
antara hukum dan moralitas.24
Terlepas perbedaan pendapat tersebut dalam kajian
ini akan dibahas masalah hukum dan moral, dengan alasan dalam Islam hukum
ditujukan kepada tindakan manusia yang mempunyai risiko.25
Dengan demikian hukum dalam pandangan Islam berkenaan dengan manusia, oleh
karenanya sudah tentu ada perintah dan larangan bagi manusia. Perintah dan larangan ini
menimbulkan wajib untuk dilaksanakan. Perintah dan larangan itu ada yang
diciptakan oleh penguasa, tetapi ada pula yang datang dari bathin manusia itu
sendiri.
Tujuan utama pensyariatan hukum Islam adalah untuk mencapai
kemaslahatan manusia di dunia dan akhirat.
Menurut hukum Islam, kemashlahatan ada tiga tingkatan, yaitu (a)
tingkat primer (daruri) yaitu segala sesuatu yang harus ada untuk
tegaknya kehidupan manusia (b) tingkat sekunder (hajji) yaitu segala
sesuatu yang diperlukan oleh masyarakat untuk menghindari kesukaran, dan (c)
pelengkap (tahsini) yaitu penggunaan segala sesuatu yang layak, pantas,
dan dibenarkan oleh adat kebiasaan yang baik serta dicakup oleh bagian akhlak
yang mulia.26
Menurut Joseph Schacht,27
hukum Islam itu memiliki karakter sebagai cita-cita religius dan memiliki
ciri-ciri pokok, yaitu:
a. Merupakan kewajiban agama. Penerapan atau penilaiannya terhadap semua
perbuat-an dan hubungan dengan manusia, termasuk legal atau sah, dari
sudut pandang konsep wajib, haram,
sunnah, makruh, dan mubah.28 Hukum dengan tepat telah dipa-dukan secara
cermat ke dalam sistem kewajiban agama.
b.
Heteronomous dan irasional.
Jadi ada ciri-ciri khas hukum Islam yang berbeda
bila dibandingkan dengan hukum sekuler. Hukum Islam sangat memperhatikan segi
kemanusiaan seseorang, baik me-ngenai jiwa, agama, akal, keturunan, dan harta;
baik sebagai perorangan maupun sebagai anggota masyarakat.29 Hukum Islam
memberikan penghormatan kepada manusia karena kemanusiaannya. Di samping itu,
hukum Islam juga tidak
mendasarkan perintah pada pemaksaan30
yang dapat menghilangkan kemerdekaan manusia dan membatasi gerak-geriknya. Dengan hukum syariah diharapkan manusia mampu
menjalankan perannya sebagai khalifah untuk berperan aktip demi kepentingan
hidupnya di dunia, dan sekaligus sebagai hamba agar manusia melakukan peran
untuk kehidupannya di akhirat. Jadi dengan hukum Islam diharapkan manusia
menjadi makhluk yang paripurna dibandingkan dengan makhluk ciptaan Tuhan
lainnya.
Hukum Tuhan, syari’ah,
memiliki sasaran ganda, keuntungan spiritual dan kesejahteraan sosial. Hukum
Tuhan memiliki norma etika baik dan buruk, kebajikan dan kejahatan serta
penilaian atas semua tindakan dan transaksi yang dilakukan manusia sesuai dengan norma-norma ini dalam bentuk abadi yang
menjamin keseragaman masyarakat. Syari’ah memiliki karakter kewajiban agama
untuk dipenuhi oleh orang yang beriman. Hukum Tuhan ini tetap hukum Tuhan meskipun tidak seorangpun melaksanakannya.
Meskipun tinggal di luar wilayah Islam orang yang beriman diikat oleh hukum,
karena hukum diadakan untuk mengikat
orang-orang beriman sebagai individu di manapun mereka berada. Hukum itu
terutama mempertimbangkan hak-hak masyarakat; hak pribadi dilindungi sejauh
tidak bertentangan dengan hak-hak masyarakat.31
C. Pengertian moral
Kant membagi filsafat Yunani menjadi tiga bagian, yaitu: fisika,
etika, dan logika. Logika bersifat formal dan a priori sebab tidak membutuhkan
pengalaman empiris. Logika sibuk dengan bentuk pemahaman dan rasio itu sendiri,
dengan hukum-hukum pemikiran universal terlepas dari pelbagai diferensiasi yang
ada dalam objek pemikiran itu. Fisika sibuk dengan hukum-hukum alam, sedangkan etika berurusan dengan
hukum-hukum tin-dakan moral. Fisika dan etika memiliki baik unsur-unsur a
priori mau pun unsur-unsur em-piris. Sebab hukum-hukum fisika berlaku atas alam
sebagai objek pengalaman, sedangkan hukum-hukum etika berlaku atas kehendak
manusia yang dipengaruhi juga oleh pelbagai kecenderungan dan nafsu yang bisa
diketahui dalam pengalaman. Kant menyebutkan fisika a priori empiris ini dengan
nama ilmu alam (Naturlehre), dan etika a priori emipris ini dengan nama kesusilaan (Sittenlehre).
Franz Magnis Suseno menyebutkan ajaran moral
adalah ajaran-ajaran, wejangan-wejangan, khotbah-khotbah, patokan-patokan,
kumpulan peraturan dan ketetapan, entah lisan atau tertulis, tentang bagaimana
manusia harus hidup dan bertindak agar ia menjadi manusia yang baik.32
Vos menyebutkan pengertian kesusilaan sama dengan
moral.33 Secara etimologi makna etika dengan moral
adalah sama, namun menurut Fanz Magnis Suseno dua istilah tersebut tidaklah
identik. Ajaran moral berkaitan dengan penilaian baik dan buruk sedangkan
etika adalah filsafat atau pemikiran kritis dan mendasar tentang ajaran-ajaran
dan padangan-pandangan moral atau dapat juga dikatakan etika tidak berwenang
menetapkan apa yang boleh dilakukan dan apa yang tidak boleh dilakukan oleh
manusia. Etika dapat mengerti apa, dan atas dasar apa manusia harus hidup
menurut norma-norma tertentu. Hal inilah kelebihan etika dibandingkan ajaran
moral.
Dari pengamatan atas apa yang dilakukan manusia,
kita tidak bisa mengetahui prinsip apa yang mendasari ia bertindak begini atau
begitu. Indera-indera manusia hanya mampu menangkap apa yang
kelihatan dan dirasakan
saja, sedangkan prinsip-prinsip
yang mendasari tindakan
seseorang, seperti kewajiban atau
hukum moral, tetap tersembunyi dari
pengamatan. Oleh karena itu, apabila ada prinsip-prinsip moral yang menjadi
dasar bagi tindakan manusia, maka pengetahuan mengenai prinsip-prinsip itu tentunya bersifat a priori, yakni
pengetahuan yang tidak mendasarkan dirinya atas pengalaman empiris.
Kant menyebutkan filsafat moral atau etika yang murni adalah etika
yang justru bersifat a priori itu. Etika macam ini adalah etika yang justru
bersifat a priori itu. Etika macam ini menyibukkan diri hanya dengan perbagai
macam perumusan dan pembenaran atas pelbagai prinsip moral, dengan pelbagai
macam istilah seperti wajib, kewajiban, baik atau buruk, benar dan salah. Etika
a priori macam ini disebut sebagai metafisika kesusilaan. Etika bersifat a
priori juga bersifat empiris atau aposteriori, etika yang terakhir ini disebut
antropologi praktis.34
Moral menyangkut kebaikan. Orang yang tidak baik juga disebut
sebagai orang yang tidak bermoral, atau sekurang-kurangnya sebagai orang yang
kurang bermoral. Maka secara sederhana dapatlah menyamakan moral dengan kebaikan orang atau kebaikan
manusiawi.32 Dengan demikian moral
adalah suatu tindakan manusia yang bercorak khusus, yaitu yang didasarkan
kepada pengertiannya mengenai baik dan buruk. Morallah sebenarnya yang membedakan manusia dari pada
makhluk hidup lainnya dan menempatkannya bila telah menjadi tertib pada
derajat di atas mereka. Jadi, moral sangat erat kaitannya dengan manusia,
berbicara tentang moral, tidak dapat tidak akan menyinggung tentang manusia,
yaitu tentang pribadi dan kedudukannya. Derajat kepribadian seseorang sangat
ditentukan oleh moralitas yang dimilikinya.
Moral berkaitan dengan baik dan buruk telah menjadi kesimpulan umum
dan kelihatannya hal ini telah menjadi kesepakatan semua ilmuwan maupun filsof.
Namun yang menjadi masalah adalah dari mana manusia mengenal baik dan buruk
tersebut? Kalangan sarjana Islam mengatakan,
pengertian baik dan
buruk diberikan
oleh Allah yang terlihat dalam al-Qur’an dan al-Sunnah.35
Dalam Al Qur’an secara eksplisit
ditegaskan bahwa Allah menyuruh ummat-Nya berlaku adil.36 Adil
itu sendiri adalah ranahnya kesusilaan tertinggi atau nuansa moral yang berada
pada domain hati (rasa).
Moral sebenarnya memuat dua segi yang berbeda,
yakni segi batiniah dan segi lahiriah. Orang yang baik adalah orang yang
memiliki sikap batin yang baik dan melakukan permbuatan-perbuatan yang baik
pula. Sikap batin itu sering kali juga disebut hati. Orang yang baik mempunyai
hati yang baik.37 Akan tetapi sikap batin
yang baik baru dapat dilihat oleh orang lain setelah terwujud dalam perbuatan
lahiriah yang baik pula. Dengan kata lain, moral hanya dapat diukur dengan
tepat apabila kedua seginya diperhatikan. Orang hanya dapat dinilai secara
tepat apabila hati mau pun perbuatannya ditinjau bersama. Dan disitulah
terletak kesulitannya. Kita hanya dapat menilai orang lain dari luar, dan
perbuatan lahiriahnya. Sementera itu hatinya hanya dapat dinilai dengan
menduga-duga saja.
Setiap orang dapat menduga dengan lebih tepat
apakah dirinya seorang yang baik. Hal ini dapat diperiksanya dengan menilai
sikap batinnya dan melihat kembali perbuatan-perbuatannya. Ia mampu memahami
hatinya sendiri secara lebih baik dari pada orang lain. Tetapi, dalam menilai
perbuatan-perbuatannya, ia mungkin membutuhkan bantuan orang lain, yang dapat
memberikan umpan balik yang objektif kepadanya.
D. Hubungan
Hukum dan Moral
Dalam kehidupan manusia tidak terlepas dari nilai. Nilai biasanya
digunakan untuk menunjuk kata benda
yang abstrak, yang dapat diartikan sebagai keberhargaan atau kebaikan.38 Nilai adalah
sifat atau kualitas dari sesuatu yang bermanfaat
bagi kehidupan manusia, baik
lahir mau pun batin. Bagi
manusia nilai jadikan landasan, alasan, atau motivasi dalam bersikap. Berbeda
dengan fakta yang dapat diobservasi secara empirik, tidak demikian halnya
dengan nilai, karena nilai berkaitan dengan cita-cita, keinginan, dan harapan,
dan segala sesuatu pertimbangan internal (bathiniah) manusia. Nilai dengan demikian
tidaklah konkret, dan dalam prakteknya memang bersifat subjektif.39
Nilai yang abstrak subjektif itu, agar dapat lebih
berguna dalam menuntun sikap tingkah laku manusia perlu dikonkretkan. Untuk
itu, nilai harus dirumuskan kedalam simbol-simbol tertentu yang tujuannya untuk
lebih mudah dipahami secara interpersonal. Isi dari suatu nilai dalam kehisupan
suatu masyarakat yang bersifat universal adalah rasa keadilan. Rasa keadilan
sebagai nilai harus diujudkan yang lebih
konkret yaitu dalam bentuk norma. Dari norma-norma yang ada, norma hukum
adalah norma yang paling kuat karena dapat dipaksakan pelaksanaannya oleh
kekuasaan eksternal (penguasa). Nilai dan norma ini selanjutnya kembali berkaitan
erat dengan moral dan etika yaitu rasa keadilan.40
Adakalanya moral, rasa keadilan, inilah yang dijadikan sumber dari substansi,
esensi, hukum. Sebagaimana
pepatah Romawi kuno menyebutkan qoid leges sine moribus (hukum punya
kekuatan jika dijiwai oleh moralitas). Itulah sebabnya dikatakan sumber hukum
materil itu adalah rasa keadilan dalam masyarakat, dan rasa keadilan dalam masyarakat itu adalah
moral masyarakat. Di sinilah letaknya hakekat
hukum yang benar. Hukum tanpa berisi keadilan bukanlah hukum dalam arti hukum
yang hakiki. Jadi hakekat hukum adalah sesuatu yang mengandung kewibawaan
ataupun otorita yang dapat digunakan unntuk memimpin dan meluruskan suatu
kondisi tertentu dengan maksud untuk mencapai keadilan. Atau dapat juga ditulis
dalam kalimat lain hakekat hukum adalah
membawa aturan yang adil dalam masyarakat (rapport du droit. Inbreng van
recht)
Keadilan dapat dicermati dari
dua segi, pertama sebagai nilai dan kedua sebagai objek ideal. Sebagai
nilai, keadilan yang terletak di dalam
hukum digeluti dan diteropong melalui emosi, rasa atau perasaan; sebaliknya
sebagai objek ideal, keadilan sebagai tujuan hukum diteropong dan dipahami melalui intelektual (akal).41
Pandangan terhadap hukum dan keadilan di mana
fakta dan nilai-nilai dianggap berkaitan erat dalam semua pengalaman politik
manusia.42 Hal ini menyebabkan dalam prakteknya keadilan
dalam bentuk nyatanya terdapat perbedaan antara kelompok masyarakat yang satu
dengan yang lain. Sebagaimana terlihat dari pengaruh
doktrin keadilan oleh Plato dan Artistoteles. Menurut yang pertama, keadilan
adalah konsep moralitas sedangkan yang kedua menekankan pada kepentingan
individu. Berdasarkan konsep Plato, keadilan adalah moralitas hanya berfungsi
untuk menghancurkan kebebasan individu, karenanya ia harus menjaga dirinya
sendiri di kelas mana ia berada. Berbeda menurut Aristoteles, ia lebih menekankan pada
keadilan legalitas atau positivitas yang meng-utamakan berbagai prinsip
kebaikan yang didasarkan pada positivis empris. Jadi, berdasarkan pandangan
Aristoteles, moralitas dan hukum berbeda satu sama lain. Menurut kelompok
Islam, hal yang paling utama dalam hukum adalah keadilan; keadilan ini
merupakan esensi hukum. Hanya saja, manusia tidak dapat menentukan keadilan, hanya Allah yang dapat menentukan keadilan.
Dalam Islam keadilan inilah yang harus ditegakkan baik pada diri pribadi,
keluarga, maupun masyarakat. Itulah sebabnya keadilan dalam Islam merupakan perpaduan
yang menyenangkan antara hukum dan moralitas. Sebaliknya aliran yang
berdasarkan akal murni menyebutkan, bahwa keadilan itu ada di alam itu sendiri.
Sehingga yang menentukan isi keadilan adalah manusia itu sendiri berdasarkan
pencermatannya terhadap alam ini maupun terhadap dirinya sendiri.43
Di atas telah disebutkan, bahwa substansi hukum adalah moral yaitu yang
tertuang dalam bentuk nilai keadilan. Namun, Pembahasan hukum dan moral menjadi
terpisahkan mana kala dilihat dari praktisnya, di mana hukum diartikan sebagai
pengatur kehidupan dan masalah-masalah sosial, sedangkan moral ditempatkan
sebagai sekedar pendidikan kejiwaan dan penyucian hati.44 Antara keduanya terdapat perbedaan
dari sumber isi maupun formalnya. Dari sisi isinya, hukum itu berisi perintah
dan larangan yang dibentuk dan diciptakan oleh kehendak penguasa (negara)
dengan cara meresepsikan apa yang menjadi kehendak dan kebutuhan manusia ke dalam
hukum atau undang-undang yang mengatur hubungan antar sesama manusia baik
hubungan privat maupun publik.45
Berbeda dengan moral, perintah dan larangan diramu oleh kecerdasan bathin
tantang apa yang dianggapnya baik dan buruk, oleh karenanya pemaksaan untuk
melaksanakannya juga didasarkan pada kehendak dan kesadaran bathinnya sendiri
tidak ada terkait dengan paksaan dari kehendak penguasa (negara). Tuntutan
bathin itu lahir dan muncul dari hati manusia karena manusia adalah wadah
kebenaran yang dititahkan Tuhan kepada hati manusia.
Sebagaimana hukum, moral juga sangat erat
kaitannya dengan masyarakat. Durkheim mengatakan, moralitas dalam segala
bentuknya tidak dapat hidup kecuali dalam masyarakat. Ia takkan berubah kecuali
dalam hubungannya dengan kondisi-kondisi sosial. Moral masyarakat berkuasa
terhadap individu, dalam arti kewajiban, misalnya yang berbicara adalah suara
masyarakat maka masyarakatlah yang menentukan dan menekankan segala
peraturan-peraturan kehidupan itu berlaku.46
Aturan moral selalu memiliki wibawa khusus yang
membuatnya dituruti karena ia merumuskan perintah. Di sini ditemukan suatu rasa wajib. Kewajiban ini
adalah sifat pertama dari aturan moral, Namun, pengertian moral bukan hanya
melulu kewajiban.47
Karena tidak dapat dibayangkan jika seseorang mela-kukan sesuatu tanpa
menyadari isi tindakannya, jadi hanya karena ia harus mengerjakan sesuatu, ia
tentu mempunyai kehendak dan orang tersebut tentu menganggap bahwa sesuatu itu
ingin diperbuatnya. Sifat diinginkan ini tidak kurang nyata dan tidak kurang
benar dari pada sifat keharusan. Aspek diinginkan ini mengandung juga sesuatu dari apa yang disebutkan
keharusan dalam moral.
Antusiasme yang kita dapat berbuat secara moral,
membawa kita keluar dari diri kita sendiri, mengangkat kita ke atas sifat
alamiah pribadi kita, dan ini tak dapat kita capai tanpa usaha. Bentuk khusus
sesuatu yang diinginkan semacam ini disebut kebajikan. Kebajikan dan kewajiban
merupakan ciri yang khas dari perbuatan moral.48
Menurut
Durkheim, ada tiga unsur yang menentukan dalam moral atau kesusilaan, yaitu: Pertama adalah disiplin. Semua sikap atau tindakan susila adalah
penyesuaian dengan aturan-aturan yang ada. Bersikap dan bertindak susila adalah sama dengan
mengikuti dan tunduk patuh pada aturan-aturan. Bidang kesusilaan ini adalah
bidang kewajiban yang sudah tertentu secara tradisional. Sumber unsur yang
bersifat prescriptive adalah masyarakat. Melalui tatakrama keluarga,
agama dan ekonomi, ikatan tradisi dan kelompok, masyarakat adalah satu-satunya
badan yang memiliki wewenang mutlak yang berhak memberi arti kepada sesuatu
yang patut, yang seharusnya diperbuat oleh manusia. Manusia tidak berdispilin
adalah tidak lengkap kesusilaannya. Jadi moral itu bersifat tetap, namun sifat
tetap moral ini tidaklah baku ,
ataupun tidak dapat berubah.
Kedua, isi moral itu sendiri, yaitu sifat keterikatan pada kelompok.49 Disiplin saja tidak cukup. Agar supaya
disiplin dapat mempunyai arti ia harus mempunyai tujuan akhir. Ada beberapa tujuan
tertentu yang memberi peresifatan moral pada tindakan-tindakan manusia.
Tindakan-tindakan yang selalu tertuju pada keuntungan pribadi, tidaklah
memiliki nilai moral. Hanya tindakan yang tidak memiliki tujuan pribadi serta
berada di atas tujuan individual, itulah yang bersifat moral. Tindakan moral
hanya tindakan yang ditujukan kepada kepentingan kehidupan bersama. Moral mulai
kalau ia sudah dalam suatu kelompok manusia, bagaimanapun bentuk kelompok itu.
Ketiga, otonomi kehendak manusia, mencakup pengertian moral dan
sangat penting artinya sebagai hasil proses sekularisasi dan kemajuann
rasionalime. Ia menuntut penghargaan bagi pribadi manusia, yang meskipun
merupakan produk kehidupan sekelilingnya namun tidak menjadi budaknya. Kesadaran moral selalu menolak
ketergantungan ini, dan menuntut akan kebebasan yang lebih mantap bagi otonomi
individu. Semakin besar pengertian manusia tentang
moral, tentang sebab-sebab dan fungsinya, semakin bebaslah ia, dan secara suka
rela ia akan tunduk pada peraturan-peraturan moral itu.
Durkheim menegaskan lebih jauh, bahwa ketiga unsur tersebut di atas saling berkaitan, dan ini menunjukkan,
bahwa titik berat terletak pada masyarakat dan daya pikir manusia. Seorang
dianggap tidak susila kalau tindakannya itu merugikan kehidupan ber-sama.
Moral secara umum mengarahkan diri pada sasaran
perbuatan sadar, bebas sebagai objek etika. Perbuatan sadar, bebas, artinya
bahwa perbuatan itu disengaja dan dikehendaki, Hal ini dilakukan berhubung si
pelaku mempunyai maksud yang ingin dicapai. Begitulah dalam melaksanakan
perbuatan tadi tersirat suatu tujuan. Tujuan akhir manusia yang hidup adalah
kebahagiaan yang sempurna. Pada kenyataannya manusia tidak dapat mampu mencapai
tujuan akhir yang sempurna di dunia ini, karena manusia mempunyai kehendak yang
tidak dapat terpuaskan.
Menurut A.Gunawan Setiardja,50 manusia mempunyai tujuan akhir
objektif dan tujuan akhir subjektif. Tujuan akhir objektif adalah sama untuk
semua orang, yaitu Tuhan sebagai Pencipta, sedangkan tujuan akhir subjektif
adalah penyempurnaan diri manusia sebagai manusia.
Usaha manusia untuk mencapai kesempurnaan
diperlukan adanya kesadaran moral yang secara nyata dapat terjelma menjadi
suara batin, yang di dalamnya terkandung pengertian. Suara batin itu tidak
diucapkan, melainkan hanya ada dalam batin yang se-olah-olah menyeru,
memperingatkan mana yang baik dan mana yang buruk. Kesadaran
moral itu tidak hanya rasa, melainkan juga pengertian. Suara batin pada
dasarnya adalah panggilan Tuhan.
Tujuan utama tingkah laku moral adalah kehidupan politik atau tanah
air, tetapi dalam artian murni kemanusiaan. Jadi bukan dalam artian kekuasaan,
penjajahan atau perluasan koloni-koloni, melainkan suatu masyarakat yang
perdamaian dan keadilannya berkuasa dan
penderitaan individu dapat diperkecil dan ditanggulangi.
1.
Kebahagiaan itu bersifat
subjektif. Apa yang disebut kebahagiaan itu sendiri, belum mempunyai ukuran
yang pasti dan tetap. Kebahagiaan itu ternyata tidak ditentukan oleh
kebahagiaan itu sendiri melainkan oleh manusianya.
2. Sulit untuk menentukan garis kebahagian
yang berlaku umum. Setiap manusia mem-punyai perasaan dan pikiran
sendiri-sendiri. Maka kebahagiaan yang dipikirkan dan dirasakan oleh seseorang
akan berbeda dengan kebahagiaan yang dipikirkan dan dirasakan oleh orang lain.
3. Aliran ini berpangkal pada demi kebagiaan
yang dicita-citakan. Segala cara akan ditempuh dan dapat dipastikan akan
mendapat perlawanan dari pihak yang merasa di-rugikan. Akhirnya apa yang
dimaksud semula dengan kebahagiaan tanpa derita, tidak terwujud.
Di samping aliran hedonisme juga dikenal aliran idealisme
dalam tujuan perbuatan etis. Menurut aliran idealisme menyatakan bahwa yang
berbuat baik bukanlah didasarkan pada kehendak mencapai tujuan di luar kebaikan
itu, melainkan seseorang bertindak sedemikian adalah karena hal itu dirasa
baik. Jadi melakukan sesuatu keutamaan, karena keutamaannya bukan didorong oleh
keinginan memperoleh manfaat atau mudaratnya. Dengan kata lain ada suatu rasa
kewajiban untuk berbuat yang timbul dari diri sendiri.51
Menurut aliran idealisme mewajibkan orang berbuat
baik, lepas dari ikatan perhitungan laba-rugi yang akan didapatnya, dan lepas
pula dari pertimbangan ruang dan waktu. Bagi aliran ini apa yang dinilai baik,
di mana saja dan kapan saja, adalah tetap baik. Aliran ini melupakan dasar
kenyataan bahwa apa yang direka begini belum tentu begitu keadaannya, dan apa
yang direka begitu belum tentu pula direka oleh orang lain. Selanjutnya apa yang
disebut bahagia dan derita sebagai suatu
perbuatan baiknya, bagi aliran ini akan diterima dengan sikap yang sama.52
Aliran idealisme sampai pada kesimpulan demikian
disebabkan atas dasar keyakinannya, bahwa manusia secara kodrat telah memiliki
pengertian baik-buruk, baik yang diperjelas melalui tangkapan pancaindera atau
pengalaman maupun yang dipertegas melalui Nur Yang Mutlak.53
Menurut Mudlor Achamad, ruh tempat mana Nur Ilahi
disalurkan kepada hati, menjadi dasar atau sumber moral yang sebenarnya, dan
pasti aman dari segala kesalahan. Dapatlah dikatakan, bahwa ia adalah tempat
yang dapat dipercaya guna mene-ruskan perintah-perintah Ilahi, Ia tetap ada
betapa pun badan wadahnya telah musnah, ia tiada berhenti setelah mati, hidup
di dalam kefanaan, abadi di dalam kegaiban.54
Pernyataan ini semakin memperkuat bahwa
esensi hukum adalah moral atau rasa keadilan.
Menurut N.Drijakara,55 yang
juga melekat pada manusia untuk melakukan perbuatan baik adalah wajib. Manusia
akan merasa bersalah apabila melanggar kewajibannya. Manusia barulah manusia
apabila ia melaksanakan wajibnya. Wajib itu bukanlah paksaan, karena datang dari
dalam diri manusia, bukan dari luar diri manusia. Hanya menjalankan wajib
manusia menjadi luhur. Perkembangan manusia yang sesungguhnya ada-lah moral.
Untuk itu diperlukan niat untuk berbuat baik dan siap sedia untuk kebaikan.
Dengan niat ini manusia siap menghadapi peraturan moral yang meliputi dan
melingkupi manusia. Oleh karena itu, hukum moral adalah hukum kodrat manusia,
yang menentukan perbuatan manusia sebagai manusia yang bersifat jasmani maupun
rohani. Manusia adalah pribadi rohani. Dengan demikian, hukum moral disebut
sebagai hukum kodrat atau hukum alam yang dalam ajaran Islam adalah syari’at.
Dan moral inilah yang menjadi substansi hukum.
Hukum bertujuan untuk membentuk ketertiban dalam masyarakat,
sedangkan moral bertujuan untuk membentuk pribadi setiap individu menjadi
manusia yang baik sebagai anggota masyarakat. Esensinya tujuan hukum dan moral dari sisi kemasyarakatan adalah untuk kemashlahatan hidup manusia. Di samping itu, hukum dituangkan dalam bentuk tertulis,
sehingga dapat diketahui dengan jelas dan bersifat objektif. Di pihak lain,
norma-norma moral bersifat subjektif dan individual. Perbedaan lain juga dapat
dilihat dalam sanksi-sanksinya. Hukum dan moral keduanya memberi sanksi. Akan
tetapi, hukum dapat dipaksakan dan memberi sanksi pada orang yang melanggarnya,
sedangkan norma-norma moral tidak dapat dipaksakan, karena perbuatan susila
menyangkut perbuatan yang bersifat rohaniah. Paksaan mungkin dapat menyebabkan
tersiksanya batin seseorang.
Tindakan moral atau tindakan untuk bertingkah laku baik seolah-olah
tidak mempunyai kekuasaan atau kewenangan apa pun terhadap manusia, karena
tindakan moral itu tergantung pada kesadaran pribadi, tergantung pada suara
batin setiap individu. Kesadaran yang demikian ini dapat muncul karena manusia
adalah makhluk teomorfis yaitu makhluk yang memiliki inteligensia untuk
memahami Yang Mutlak dan memiliki kehendak sehingga dapat memilih jalan menuju
Tuhan, serta pemilikan Kehendak Bebas (free will) pada manusia. Di
samping itu, manusia tidak lain adalah wadah kebenaran.56
Secara praktek, antara hukum dan moral, di samping ada perbedaannya,
juga ada kesamaannya. Ini berarti, bahwa antara hukum dan moral mempunyai titik
sama. Apabila hukum merupakan garis lurus “a” dan moral adalah garis lurus “b”, maka antara kedua garis itu ada titik yang sama bersinggungan,
atau antara kedua garis itu ada titik potongnya.
Hukum dan moral mempunyai persamaan dalam pengaturan perbuatan hidup
manusia. Hukum mengatur perbuatan manusia sesuai dengan pengaturan yang berlaku
ditetapkan oleh penguasa atau negara dengan tujuan kesejahteraan dalam
masyarakat, memberi perlindungan dan keamanan, sedangkan moral juga merupakan
peraturan-peraturan yang mengatur perbuatan manusia ditinjau dari perilaku baik dan buruk. Tujuan moral
adalah peningkatan manusia sebagai manusia. Kedua peraturan tadi, hukum dan
moral, bertemu dalam wajib. Adalah kewajiban manusia untuk mentaati
hukum dan mentaati moral. Wajib hukum adalah wajib datang dari luar diri
manusia, dan wajib moral adalah wajib yang datang dari dalam diri manusia itu
sendiri.
Secara sederhana uraian di atas dapat dapat divisualisasikan
sebagaimana terlihat pada gambar di bawah ini:
Pembahasan hukum dan moral akan tidak relevan apabila memaknai hukum
berdasarkan konsep hukum Islam.57 Sebab,
menurut ajaran hukum Islam, yang memberi
pundamen atas hukum adalah perintah Tuhan, ajaran agama. Berdasarkan aliran
pemikiran ini, memberi jawaban dasar fundamen dari hukum yaitu memberi jawaban
apa yang menjadikan hukum sebagai hukum.
Manusia, dengan daya akalnya, mampu mengetahui adanya Allah. Bahkan
menurut teologi Mu’tazilah, manusia dengan akalnya mampu mengetahui
kewajiban-kewajibannya terhadap Tuhan (Allah). Namun, akal tidak sanggup mengetahui cara-cara
berterima kasih kepada Allah. Oleh karena itu, Allah menurunkan wahyu yang
berfungsi menunjukkan cara-cara berterima kasih kepada Allah.58 Sapaan inilah
yang merupakan hukum dalam Islam.
Manusia harus mentaatinya perintah Tuhan. Dalam hal melaksanakan hukum
tersebut, manusia diberi kebebasan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuai
dengan perintah Tuhan. Daya paksa untuk wajib mentaati aturan Tuhan tersebut
sangat digantungkan pada kesadaran bathin manusia itu sendiri sebagai hamba
Allah merupakan ujud bentuk tauhid seseorang.59
Dalam ajaran Islam terdapat pandangan yang terpadu utuh, seimbang,
dan realitas mengenai alam manusia dan peranan sosialnya, dapat diikhtisarkan
dengan tepat oleh keempat aksioma etika yaitu Tauhid (kesatuan atau unity),
Kesetimbangan, Kehendak Bebas, dan pertanggungjawaban.60
Ketundukpatuhan manusia terhadap syariat Allah bukan didasarkan pada
paksaan kekuasaan yang terlihat secara kasat mata, sebagaimana kekuasaan dari
penguasa negara, melainkan didasarkan pada penilikan mata hati atau keyakinan
bathin manusia itu sendiri bahwa Allah itu maha Kuasa dan Maha Adil yang berhak
mengatur dirinya dan manusia harus mentaatinya karena ia sadar, bahwa dirinya
adalah hak Allah dan ini semua adalah sebagai ujud cara-cara berterima kasih
kepada Allah.
Rasa terima kasih yang dimiliki oleh manusia adalah berkenaan dengan
moral, jadi manusia yang mampu berterima kasih adalah manusia yang bermoral,
sedangkan aturan atau ketentuan bagaimana cara berterima kasih merupakan
substansi hukum Islam. Oleh karena itu, materi atau substansi kaedah-kaedah
untuk berterima kasih terujud dalam bentuk syariat Allah yang tercermin dalam
karakteristik wajib, haram, sunat, makruh, dan mubah.
Bentuk terima kasih manusia terhadap Allah adalah dengan cara
mentaati seluruh syariat Allah dan secara langsung hal tersebut dengan
sendirinya merupakan perlindungan terhadap martabat manusia. Syariat tersebut
manusia mampu mengatur dirinya sendiri agar bermanfaat bagi dirinya, jiwa,
keluarga, masyarakat, alam lingkungan dan agama seiring sekaligus kepatuhan
untuk melaksanakan isi syariat sebagai ujud terima kasih kepada Allah. Di
sinilah terlihat, bahwa dalam hukum Islam antara hukum dan moral tidak dapat
dipisahkan antara satu dengan lainnya.
Pembalasan atas keingkaran atas syariat (hukum) Tuhan tidak seketika
dapat dirasakan dan tidak terlihat langsung atas reaksi perbuatan konkritnya,
tetapi akan ditentukan ditentukan pada waktu lain. Kalaupun ada paksaan dari negara hal tersebut
karena keinginan umat agar negara melaksanakan hukum Allah. Oleh karena itu,
bagi umat Islam, hukum negara haruslah hukum yang berasal dari Allah sebagai
ujud melaksanakan perintah-perintah-Nya, apabila ada pertentangan antara hukum
ciptaan manusia dengan hukum Allah maka hukum Allah yang didahulukan.61 Jelasnya, karena hukum Islam adalah
wahyu yang diturunkan oleh Allah untuk umat manusia agar manusia tahu caranya
berterima kasih kepada Allah, maka hukum Islam hampir tidak membutuhkan
kekuasan negara untuk melaksanakannya, tetapi lebih ditujukan kepada kesadaran
masing-masing individu. Terkecuali apabila kesadaran
manusia itu sendiri menghendaki agar negara melaksanakan hukum Islam.
Pada dasarnya, inti ujud moral terletak pada penaklukan diri manusia
oleh dirinya sendiri atas suatu perintah dan larangan. Manusia yang mampu
menaklukan dirinya sendiri dengan
kesadaran sendiri tanpa dipengaruhi oleh faktor di luar dan mampu memberi
penilian atas perbuatannya yang baik atau buruk maka manusia yang demikian itu
adalah manusia yang paripurna.
SIMPULAN
Substansi atau esensi hukum adalah keadilan. Keadilan itu sendiri adalah moral yang tertinggi. Keadilan ditegakkan berdasarkan perintah
dan larangan. Jadi antara moral dan hukum tidak dapat dipisahkan.
Secara praktis, antara hukum selalu diperbedakan
antara satu dengan lainnya. Namun di samping perbedaan, antara hukum dan moral
terdapat kesamaan yaitu tindakan wajib. Sifat wajib dalam hukum didasarkan pada
paksaan dari pengusa, negara, sedang-kan sifat wajib dalam moral berdasarkan
kesadaran batin individu itu sendiri.
Pemisahan antara hukum dan moral menjadi relevan
dibahas apabila konsep hukum dipahami dalam arti hukum positivisme yang
bersumber dari hasil produk akal manusia, sedangkan konsep hukum menurut
agama Islam (hukum kodrat) antara hukum dan moral tidak dapat dipisahkan sebab moral, keadilan, merupakan esensi syari’ah sebagai produk wahyu dan
kewajiban mansia untuk menegakkannya sebagai wujud keimanan manusia.
LITERATUR
Abdoerraoef, 1970, Al Qur’an dan Ilmu
Hukum, Bulan Bintang, Jakarta.
Abdulkadir Udah, 1965, Islam dan
Perundang-undangan, Mulja, Jakarta.
Amril M, 2002, Etika Islam Telaah
Pemikiran Fisafat Moral Raghib Al-Isfahani, Pustaka Pelajar, Jogjakarta.
Budiono Kusumohamidjojo, 2004, Filsafat
Hukum, Problematik Ketertiban yang adil, Grasindo, Jakarta.
C.A van Peursen,1985, Susunan ilmu Pengetahuan, Sebuah Pengantar
Filsafat Ilmu, terjemahan, PT.Gramedia, Jakarta .
Carl Joachim Friedrich, 2004, Filsafat Hukum Persepektif Historis,
Nuansa dan Nusamedia, Bandung .
Chaerul Uman, dkk, 2000, Ushul Fiqh 1, Pustaka Setia, Bandung .
Darji Darmodiharjo, Shidarta, 2002, Pokok-Pokok filsafat Hukum
Apa dan Bagaimana Filsafat Hukum Indonesia ,
Gramedia Pustaka Utama, Jakarta .
Djuretna A.Imam Muhni,1994, Moral dan
Religi, Menurut Emile Durkheim dan Henri Bergson, Kanisius, Yogyakarta.
Endang Daruni Asdi,1998, Implikasi teori-teori moral Pada Hukum,
Pidato Pengukuhan jabatan guru besar pada fakultas Filsafat Universitas Gadjah
Mada di Jogjakarta, tanggal 29 Juni 1998,
E.Sumarsono, 2002, Etika & Hukum Relevansi Teori Hukum Kodrat
Thomas Aquinas, Kanisius Yogyakarta.
Ichtiar Baru Van Hoeve, 2000, Ensiklopedi
Hukum Islam, Ichtiar Baru Van Hoeve, Jakarta.
Iman Munawwir, 1986, Posisi Islam di
Tengah Pertarungan Ideologi Dan Keyakinan, Bina Ilmu, Surabaya.
J.N.D. Anderson, 1991, Hukum Islam Di
dunia Moderen, Amarpress, Surabaya.
Joseph Schacht, 2003, Pengantar Hukum
Islam, Islamika, Yogyakarta.
Juhaya S. Praja, 1995, Filsafat Hukum Islam, Pusat Penerbitan
Universitas LPPM Universitas Islam Bandung , Bandung .
Khaled M..Abou El Fadl, 2004, Atas Nama Tuhan Dari Fikih Otoriter
ke Fikih Otoritatif, Serambi, Jakarta .
Lili Tjahjadi, 1991, Hukum Moral Ajaran
Immanuel Kant tentang Etika dan Imperatif kategoris, Gunung Mulia dan
Kanisius, Yogyakarta.
Mudlor Achmad, t.t, Etika dalam Islam, Al Ikhlas, Surabaya
Muhammad
Muslehuddin, 1997, Filsafat Hukum Islam dan Pemikiran Orientalis Studi
Perbandingan Sistem Hukum Islam, Tiara Wacana Yogya, Yogyakarta ,
1997.
Muhammad
Khalid Mas’ud, 1999, Filsafat Hukum Islam dan Perubahan Sosial,
terjemahan, Al Ikhlas, Surabaya
Neng
Djubaedah, 2003, Pornografi & Pornoaksi, Ditinjau Dari Hukum Islam,
Kencana, Jakarta .
Paul
Scholten, 1992, Mr.C.Asser, Penuntun dalam Mempelajari Hukum Perdata
Belanda, Bagian Umum, terjemahan, Gadjah Mada University Press.
Purwa
Hadiwardoyo, 1990, Moral dan Masalahnya, Kanisius, Yogyakarta .
Risieri Frondizi, 2001, Pengantar Filsafat Nilai, Pustaka
Pelajar, Yogyakarta
Sugijanto Darmadi,1998, Kedudukan Ilmu Hukum dalam Ilmu dan
filsafat, Sebuah Eksplorasi awal menuju Ilmu Hukum yang integralisitik dan
otonom, Mandar Madju, Bandung.
Sorjono Soekanto, 1980, Pokok-pokok Sosiologi Hukum,
Radjawali Press, Jakarta .
Teungku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, 2001, Falsafah Hukum Islam,
Pustaka Rizki Putra, Semarang .
Theo Huijbers, 1995, Filsafat Hukum,
Kanisus, Jogjakarta.
Oliver Leaman, 2002, Pengantar filsafat Islam Sebuah
Pendekatan Tematis, Mizan, Bandung .
Visser ‘t Hooft, 2002, Filsafat Ilmu
Hukum, terjemahan, Laboratorium Hukum Fakultas Hukum Universitas Katolik Parahyangan, Bandung.
W.Poespoprodjo, 1986, Filsafat Moral
Kesusilaan dalam Teori dan Praktek, Remadja Karya CV, Bandung.
â Dosen Fakultas Hukum
Universitas Islam Sumatera Utara, Fakultas Hukum Universitas Pembinaan
Masyarakat Indonesia, Sekolah Tinggi Ilmu Hukum Swadaya dan advokat.
1 Dapat diartikan dalam pengertian tunggal dan dapat pula dalam
pengertian jamak.
2 Pernyataan demikian ini dibenarkan oleh ilmu pengetahuan, filsafat,
dan agama. Artinya serara ilmiah, filsafat maupun keagamaan, sepakat menyatakan
bahwa kedudukan dan peranan manusia dengan kemampuan berfikirnya mempunyai
kedudukan dan peranan yang utama di bumi ini, Lihat juga pendapat Abbas Mahmud Al-Aqqad dalam bukunya yang
berjudul al-Insaan fil Qur’an, yang menulis, manusia Al-Qur’an adalah
manusia abad kedua puluh. Barang kali kedudukan manusia dalam abad kedua puluh
lebih serasi dan lebih kokoh daripada kedudukannya dalam abad-abad sebelumnya.
Karena abad-abad yang lalu tidak mendorong manusia sekuat dorongan yang
diberikan oleh abad kedua puluh untuk membahas kedudukannya di tengah alam
wujud, di tengah semua makhluk yang hidup di muka bumi, di tengah makhluk
sejenisnya dan masyarakat tempat ia hidup, dan tidak pula memberi dorongan
kepadanya untuk hubungannya dengan segala sesuatu yang tampak nyata ataupun
yang tersembunyi. Abbas Mahmud Al-Aqqad, Manusia Diungkap Qur’an, terjemahan,
Pustaka Firdaus, Jakarta ,
1986, hlm.,1. sebenarnya terdapat
perbedaan di antara mereka tentang bagaimana manusia mewujudkan kedudukan dan
melak-sanakan peranannya di dunia ini. Aliran rasionalitas ilmu didukung
filsafat, menyatakan bahwa manusia
adalah pusat kebenaran, sebaliknya aliran agama (Islam) menyebutkan pusat
kebenaran adalah Allah.
3 Antinomi artinya terdapat dua hal yang bertentangan pada diri
setiap manusia, tetapi kedua hal yang bertentangan itu sangat dibutuhkan oleh
setiap diri manusia. Pada satu sisi manusia adalah makhluk individu tetapi,
pada waktu yang bersamaan, ia juga merupakan makhluk sosial; ia memiliki
kelebihan tetapi pada saat yang sama ia juga memiliki kelemahan; ia makhluk
bebas tetapi ia juga makhluk terikat.
4 Sugijanto Darmadi, Kedudukan Ilmu Hukum dalam
Ilmu dan filsafat, Sebuah Eksplorasi awal menuju Ilmu Hukum yang integralisitik
dan otonom, Mandar Madju, Bandung, 1998, hlm., 20-21.
5 Visser ‘t Hooft, Filsafat Ilmu Hukum,
terjemahan, Laboratorium Hukum Fakultas Hukum universitas katolik Parahyangan, Bandung, 2002, hlm.,
27.
6 CA van Peursen, Susunan ilmu Pengetahuan, Sebuah
Pengantar Filsafat Ilmu, terjemahan, PT.Gramedia, Jakarta, 1985, hlm.,40.
7 Sorjono Soekanto, Pokok-pokok Sosiologi Hukum,
Radjawali Press, Jakarta, 1980, hlm., 25
8
Visser ‘t Hooft, Op.cit., hlm., 21.
9 D.H.M.Meuwissen, “Filsafat Hukum” dalam Pro Justitia, Tahun XII Nomor 3 Juli
1994.
10 Hubungan adalah kenyataan dari relasi dua atau
lebih sesuatu yang ada dan saling ber-interaksi.
11 lihat Endang Daruni Asdi , Implikasi
teori-teori moral Pada Hukum, Pidato Pe-ngukuhan jabatan guru
besar pada fakultas Filsafat Universitas Gadjah Mada di Jogjakarta, tanggal 29
Juni 1998, hlm, 2. Lihat juga Abdoerraoef Al Qur’an dan Ilmu Hukum,
Bulan Bintang, Jakarta, 1970, hlm., 1-3 yang mengatakan, bahwa hukum itu
mempunyai fungsi mengurus tata tertib masyarakat, maka tentulah kita harus pula
mengakui bahwa setiap masyarakat yang di dalamnya terjadi tata tertib, adalah
diatur oleh hukum. Dan hukum itu tentu ada dalam masyarakat itu. Dan apabila
kita memberikan arti kepada kata masyarakat itu sebagai suatu keadaan berkumpul
bersama-sama dalam suatu tempat yang tertentu dengan melakukan fungsinya
masing-masing, maka keadaan bermasyarakat itu bukan saja terjadi pada umat
manusia, tetapi juga pada seluruh yang maujud ini, Ada masyarakat benda mati,
masyarakat tumbuh-tumbuhan, masyarakat binatang dan lebih besar lagi,
masyarakat tata surya…”jadi kalau kita hendak mencoba memberikan suatu definisi
tentang apa yang dikatakan hukum itu, kita tidak harus mendefinisikan tentang
hukum yang ada dalam masyarakat umat manusia saja. Kecuali kalau definisi yang
diberikan itu memang defenisi tentang apa yang dikatakan hukum dalam masyarakat
manusia saja. Jadi suatu pengertian species daripada pengertian genus tentang
apa yang dikatakan hukum; lihat juga W. Poespoprodjo Filsafat Moral
Kesusilaan dalam Teori dan Praktek, Remadja Karya, Bandung, 1986, hlm., 150
yang membagi hukum dalam dua bagian, yaitu (a) hukum fisik, membebankan
keharusan fisik dan (b) hukum moral, membebankan keharusan moral. Aristoteles
dalam Theo Hubejs, Filsafat Hukum, Kanisus, Jogjakarta, 1995, hlm.,
24, mengatakan hukum harus dibagi dalam dua kelompok. Hukum yang pertama ialah
hukum alam atau kodrat, yang mencerminkan aturan alam. Hukum alam itu
me-rupakan suatu hukum yang selalu berlaku dan tidak pernah berubah karena
kaitannya dengan alam. Hukum yang kedua adalah hukum positif, yang dibuat oleh
manusia; lihat juga pendapat John Austin yang yang membagi hukum dalam dua
macam, yaitu (a) hukum Allah. Hukum ini lebih-lebih merupakan suatu moral hidup
daripada hukum dalam arti yang sejati (b) Hukum manusia, yakni segala peraturan
yang dibuat oleh manusia sendiri.
12 Budiono Kusumohamidjojo, Filsafat Hukum,
Problematik Ketertiban yang adil, Grasindo, Jakarta, 2004, hlm., 299
13 John Gilissen, Frits
Gorle, Sejarah Hukum Suatu Pengantar, terjamahan Freddy
Tengker, Refika Aditama, Bandung, 2005, hlm 13-14.
14 Endang Daruni Asdi, Op.cit. hlm.,10
15 Sejak awal zaman modern (abad ke-15) banyak orang
secara spontan menyamakan hukum dengan hukum negara. Hukum adalah
undang-undang. Theo Huijbers, Filsafat Hukum, Kanisius, Jogjakarta,
1995, hlm.,21
16 Pemikiran dipengaruhi oleh pemikiran kaum
empirisme yang lahir pada zaman Aufklarung (abad pencerahan) yang menekankan
perlunya basis empiris bagi semua pengertian. Metode empiris menentukan
kebenaran berdasarkan pandangan apa yang tidak dapat dialami, ti-dak dapat
diakui kebenarannya. Pemikiran demikian
diterapkan pada saat melihat hukum oleh ka-rena itu hukum dipandang sebagai
gejala alam yang terlihat dalam gejala kemasyarakatan, dan memaknai hukum sama
dengan memaknai benda-benda alam lainnya.
17 Arti hukum sebagai norma muncul, bila manusia insaf tentang makna
hukum dalam hidup manusia. Manusia menjadi insaf, bahwa hukum merupakan bagian
kehidupan manusia, dan bahwa hukum berfungsi dalam kehidupan manusia diatur
sedemikian rupa sehingga hak-hak dan kewajiban-kewajiban orang dibagi
sebagaimana mestinya.
18 Untuk terciptanya ketertiban dalam masyarakat setiap hukum harus
memiliki rechtsidee (cita hukum) yaitu keadilan hukum berkaitan dengan
filosofi dari hukum, kepastian hukum ber-kaitan dengan kaedah hukumnya, dan
kemanfaatan hukum berkaitan dengan masyarakat hukum.
19 Paul Scholten, Mr.C.Asser, Penuntun dalam Mempelajari Hukum Perdata
Belanda, Bagian Umum, terjemahan, Gadjah Mada University Press, 1992, hlm.,
16-31. Bandingkan dengan
sifat karakter hukum Islam yang telihat dalam unsur wajib, haram, sunat,
makruh, dan mubah.
20 Manifestasi dari akal dan kebebasan kehendak
manusia hanya dapat dipahami sebagai ko-eksistensi dari suatu komunitas yang
mempunyai tujuan hidup bersama. Kehidupan sebagai komunitas yang
diselenggarakan dengan tujuan yang sesuai dengan akal itu tidak dapt
dibayangkan tanpa hukum, Budiono Kusumohamidjojo, Op.cit., hlm., xiii.
21 Muhammad Muslehuddin, Filsafat Hukum Islam dan
Pemikiran Orientalis Studi Perbandingan Sistem Hukum Islam, Tiara Wacana
Yogya, Yogyakarta, 1997, hlm., 45. Jadi, dalam kesendiriannya, manusia
juga masih terikat pada hukum, yakni hukum yang berhubungan manusia dengan sang
pencita-Nya dan alam lingkungan hidupnya. Manusia diperintahkan berbuat baik
tidak saja kepada sesama manusia tetapi juga kepada Allah dan segala ciptaanya.
Lihat juga Anderson, perbedaan
fundamental antara hukum Barat dengan Hukum Islam adalah Hukum Barat, pada
dasarnya bersifat sekular, sedangkan hukum Islam pada dasarnya bersifat
keagamaan. Anderson, Hukum Islam Di Dunia Moderen, Amarpres, Surabaya,
1991, hlm.,2, lihat juga Joseph Schacht mengatakan hukum Islam mengklaim
dirinya sebagai berdasarkan otoritas ketuhanan, dan karena ilmu hukum Islam
menjamin stabilitas dan keberlanjutannya. Tradisonalisme hukum Islam, tipikal
hukum suci, mungkin merupakan ciri paling esensial. Joseph Schacht, Pengantar
Hukum Islam, Islamika, Jogjakarta, 2003, hlm., 6
22 Ichtiar Baru Van Hoeve, Ensiklopedi Hukum
Islam, Ichtiar Baru Van Hoeve, Jakarta, 2000., hlm., 572. sebagai
contoh lihat definisi hukum yang dikemukakan oleh Abdul Wahab Khallaf, Ilmu
Ushul Fiqh, Dina Utama, Semarang, 1994, hlm., 142 lihat juga Chaerul
Uman, Ushul Fiqh 1, Pustakan Setia, Bandung, 2000, hlm., 214. Konsep atau
definisi hukum menurut hukum Islam ini adalah tetap dan tidak berubah, berbeda
dengan konsep hukum sekuler yang masih merupakan hipotesis, lihat catatan kaki
no. 10.
24 Muhammad Khalid Mas’ud, Filsafat Hukum Islam
dan Perubahan Sosial, terjemahan, Al Ikhlas, Surabaya, 1999, hlm., 28 Bandingkan pendapat Khaled
M.Abou El Fadl, Atas Nama Tuhan Dari Fikih Otoriter ke Fikih Otoritatif,
Serambi, Jakarta, 2004, hlm., 443, yang menulis Syari’ah sebagai sebuah
abstraksi moral bersifat abadi dan tidak menerima perubahan.
25 Bagi anak kecil atau orang gila hukum hanya
diperuntukkan sebagai bentuk pendidikan bukan merupakan tindakan hukum.
27 Joseph Schacht, Op.cit., hlm., 299
– 301.
28 Wajib dan haram yang dibebankan kepada manusia oleh Allah sebagai perujudan manusia sebagai hamba
Allah, sedangkan konsep sunnah, makruh dan mubah dibebankan kepada manusia
sebagai perujudan manusia sebagai khalifah di muka bumi.
29 lihat juga Abu Asy-Syatibi yang merumuskan tujuan
hukum Islam yaitu untuk memelihara agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta.
Mohammad Muslehuddin menambahkannya dengan tujuan hukum Islam yang keenam,
yaitu untuk memelihara kehormatan dirinya, dalam Neng Djubaedah, Pornografi
& Pornoaksi, Ditinjau Dari Hukum Islam, Kencana, Jakarta, 2003, hlm.,
5, lihat juga Hasbi Ash Shiddieqy, ciri khas hukum Islam lainnya adalah manusia
menjadi jauhar dan asas hukum. Daripadanyalah bercabang segala khususiyah dan
sifat, segala maziyah dan fadlillah, Teungku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, Falsafah
Hukum Islam, Pustaka Rizki Putra, Semarang, 2001, hlm.,145
30 Manusia taat karena akhlak dan hati nuraninya
sendiri. Akhlak dan hati nurani yang mendorong manusia mematuhi aturan-aturan
agama. Ash Shiddieqy, ibid., hlm., 146
31 Muhammad Muslehuddin, Op.cit., hlm. 84
33 Darji Darmodiharjo, Shidarta, Pokok-Pokok
filsafat Hukum Apa dan Bagaimana Filsafat Hukum Indonesia, Gramedia Pustaka
Utama, Jakarta, 2002, hlm., 259.
34 Lili Tjahjadi, Hukum Moral Ajaran Immanuel
Kant tentang Etika dan Imperatif kategoris, Gunung Mulia dan Kanisius,
Yogyakarta, 1991, hlm., 46-47.
32
Purwa Hadiwardoyo, Moral dan Masalahnya, Kanisius, Yogyakarta,
1990, hlm., 13
35 Majid Fakhry dalam Amril M, Etika Islam Telaah
Pemikiran Filsafat Moral Raghib Al-Isfahani, Pustaka Pelajar, Yogyakarta
bekerjasama dengan LSFK2P, Pekan Baru, 2002, hlm.,5
36 Al Qur’an surat An-Nahl
ayat (90), Surah Al Hujurat ayat (9), Surah Al-An’am ayat (152), Surah An-Nisa’
ayat (58).
37 Dalam ajaran Islam, baik buruknya manusia sangat
tergantung dengan hatinya. Apabila baik hatinya maka
baiklah seluruh tubuhnya demikian pula sebaliknya. Dan Allah menilai manusia
dengan hatinya. Muara akal adalah hati, oleh karena itu, syariah lebih
ditujukan kepada hati bagaimana cara manusia
berterima kasih, dan inilah yang menyebabkan hukum dan moral menjadi satu dalam
ajaran Hukum Islam.
38 lihat Raghib Al-Isfahani dalam Amril M, Op.cit., hlm.,
212 yang mengatakan ada dua aliran dalam kajian nilai, yakni naturalisme dan
nonnaturalisme. Bagi naturalisme, nilai adalah sejumlah fakta, oleh karena itu,
setiap keputusan nilai dapat diuji secara empirik. Sementara bagi
non-naturalisme, nilai itu tidak sama dengan fakta, artinya fakta dan nilai
merupakan jenis yang terpisah dan secara absolute tidak terreduksi satu dengan
yang lain. Oleh karena itu, nilai tidak dapat diuji secara empirik. Teori moral
Raghib al-Isfahani menunjukan dua bentuk, yaitu deotologis dan teleologis. Deontologis berkaitan dengan baik hakiki
dan teleologis berkaitan dengan baik kondisional. Dengan demikian Raghib
al-Isfahani telah menjembatani dikhotomi yang tajam di kalarangan filsafat
moral saat ini.
39 Nilai itu objektif bila ia tidak tergantung pada subjek atau kesadaran yang menilai;
se-baliknya, nilai itu subjektif jika eksistensinya, maknanya, dan
validitasnya tergantung pada reaksi
subjek yang melakukan penilaian, tanpa mempertimbangkan apakah ini bersipat
psikis atau fisis, lihat Risieri Frondizi, Pengantar Filsafat Nilai,
Pustaka Pelajar, Jogyakarta, 2001, hlm., 20. lihat juga pendapat Al
Ghazali yang menyatakan moral itu subjektivisme, dalam Oliver Leaman,
Pengantar filsafat Islam Sebuah Pendekatan Tematis, Mizan, Bandung, 2002, hlm.,
130.
40 Darji Darmodiharji, Op.cit., hlm., 257-256.
41 Menurut Lotze perbedaan antara nilai dengan objek
ideal pada umumnya juga dibuat dengan pernyataan bahwa obyek ideal itu “ada”(are),
sedangkan nilai itu “tidak ada” (aren’t); mereka hanya memiliki nilai,
dalam Risieri Frondizi, Pengantar Filsafat Nilai, Op.cit., hlm.,
11
42 Carl Joachim Friedrich, Filsafat Hukum
Persepektif Historis, Nuansa dan Nusamedia, Bandung, 2004, hlm., 8
43 Muslehuddin, Filsafat…Op.cit., hlm., 83.
44 Imam Munawir, Posisi Islam di Tengah
Pertarungan Ideologi Dan Keyakinan, Bina Ilmu, 1986, hlm., 41
45 Perbedaan moral dan hukum semakin terlihat dari tuntutan individu kepada
negara agar tidak mengatur urusan-urusan pribadi. Dengan argumentasi negara
tidak berwenang mengatur urusan pribadi seseorang, pendapat ini didasarkan pada
negara lahir berasal dari individu.
46 Djuretna A.Imam Muhni, Moral dan Religi,
Menurut Emile Durkheim dan Henri Bergson, Kanisius, Yogyakarta, 1994, hlm.,
36-37. Berbeda dengan Imanuel Kant moral adalah urusan individu, pengalaman
moral adalah sebagai suatu fakta khusus, tetapi bersifat transeden. Kaum
Kantianisme menganggap manusia bukan sebagai anggota alam. Dan kaum Utilitarian melihat penjelasan moral secara naturalis
sebagai suatu kemungkinan.
47 Bandingkan dengan pendapat Kant, yang menyebutkan moral adalah
kewajiban se-mata-mata.
48 Djuretna A. Imam Muhni, Op.cit. hlm.,39
49 Dalam ajaran Islam sifat keterikatan pada tauhid.
Keyakinan kepada Allah sebagai sang Pencipta membuat manusia terikat akan semua
perintah dan larangan yang disyariatkan oleh Allah. Oleh karenanya, dalam Islam
ada adab kepada Allah, diri sendiri, pemimpin, keluarga, masyarakat dan alam
sekitarnya.
50 Endang Daruni Asdi, Op.cit., hlm.,
16
51 Kant menyebutkan hal yang demikian ini sebagai
kategorische imperative, yaitu sesuatu yang memaksa pada diri sendiri sebagai
perintah yang tak dapat diabaikan.
Olehnya dibedakan dengan dorongan yang dinamakan Hypothetische
Imperative, yaitu bila tindakan itu ternyata mengabdi pada suatu tujuan.
52 Mudlor Achmad, Etika
dalam Islam, Al Ikhlas, Surabaya ,
t.t, hlm., 35.
53 Ibid. lihat juga Kant dalam Juhaya S.Praja, Filsafat
Hukum Islam, Pusat Penerbitan Universitas, LPPM Universitas Islam Bandung,
Bandung, 1999., hlm., 24 yang menyebutkan baik dan buruk bukan didapat
dari pengalaman manusia, tetapi telah ada pada diri manusia, maka perintah
melakukan baik dan buruk mesti dari suatu zat yang tahu akan baik dan buruk,
zat inilah yang disebut Tuhan.
55 Endang Daruni Asdi, Op.cit., hlm.,18
56 Syed Nawab Haider Naqvi, Etika dan Ilmu
Ekonomi, Suatu Sintesis Islami, Mizan, Bandung,1993, hlm., 78
57 lihat Noel J.Coulson, Conflict and Tension in
Islamic Jurisprudence, terjemahan,
Yogyakarta, Navila, 2001, hlm.,99 menulis dalam sumber material
syari’ah, al-Qur’an, tidak ada perbedaan yang jelas dan konsisten antara moral
dan peraturan hukum. Seperti rumusan etika, hukum Islam, al-Qur’an menetapkan
masalah-masalah pokok untuk membedakan yang benar dari yang salah, baik buruk,
pantas tidak pantas. Biasanya hal itu tidak diteruskan kepada tingkat sekunder
menyangkut norma-norma tingkah laku dengan konsekuensi hukum.
58 Juhaya S.Praja, Op.cit., hlm., 48
59 Semua konsep keduniawian ini digantungkan pada
konsep Tauhid. Fungsi tauhid menurut
merupakan dimensi vertikal Islam. Ia memadukan politik, ekonomi, sosial,
hukum dan religius dari kehidupan manusia menjadi suatu kebulatan yang homogen,
yang konsisten dari dalam dan luar, sekaligus terpadu dalam alam luas. Sebagai
suatu pandangan suci yang disingkap secara ilahiah, Tauhid menunjukkan
interaksi semua yang maujud. Dalam pandangan Islam, yang penting dan dengan
sempurna diselaraskan, alam, kehidupan di bumi dan manusia, semua mempunyai
hubungan dengan suatu ketauhidan yang meliputi segalanya, yang di dalamnya
semua kemampuan material dan potensialitas ruhani yang bisa diserap dan tidak,
bergabung menyoroti watak teomorfis manusia, Syed Nawab Haider Naqvi, Op.cit.,
hlm., 78
60 Ibid., hlm., 77
61 lihat Abdulkadir Udah, Islam dan
Perundang-undangan, Mulja, Jakarta, 1965, hlm., 56 menyebutkan Wajiblah
kita memenangkan nas-nas syariat manakala ia berlawanan dengan nas
undang-undang, kita wajib menghampakan nas undang-undang tiap-tiap ia menyalahi
syariat Islam, dan kta wajib pula menganggapnya seolah-olah tidak ada saja.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar