Sejarah pemikiran
manusia terhadap fenomena diawali melalui pemahaman intuitif, yakni percaya
pada mitos, kemudian meninggalkan mitos dengan berpikir rasionalitas. Dalam
perkembangannya, akallah sebagai kunci untuk menetapkan kebenaran. Pendewaan
akal yang demikian besar inilah melahirkan ilmu pengetahuan dan tehnologi
dewasa ini, sehingga segala sesuatu yang tidak dapat diketahui, dikenali, dan
dijelaskan oleh akal dianggap bukan sebagai ilmu.
Ilmu sering begitu
saja ditautkan dengan rasionalisme karena justru dalam ilmu akallah yang
tampil, lebih dari kemauan, perasaan, atau intuisi.1 Hal inilah yang
melandasi lahirnya ilmu berbasis sekuler. Penggunaan akal untuk menerangkan dan
memahami fenomena disebut sebagai kegiatan yang rasionalitas. Dan mereka itu dikatakan
sebagai penganut rasionalisme.2
Secara praktis,
dapat dilihat, bahwa ciri khas yang menonjol abad modern sekarang ini adalah
peranan ilmu pengetahuan dan teknologi. Menurut Marcuse, rasinonalitas dalam
jaman sekarang ini adalah rasinalitas teknologis. Segala sesuatu dipandang dan
dihargai sejauh dapat dikuasai, digunakan, diperalat, dimanipulasi, ditangani.
Dalam pandangan teknologis, instrumentalisasi merupakan kunci. Mula-mula cara
berpikir dan bertindak ini hanya diprak-tikkan dalam hubungan dengan alam saja,
tetapi lama kelamaan diterapkan juga pada ma-nusia dan seluruh lapangan sosial.
3
Dalam kehidupan
masyarakat Barat perkembangan ilmu pengetahuan tidak dapat dipisahkan dari
pemenuhan kebutuhan hidup. Mereka pada intinya menggabungkan ekonomi, politik,
dan ilmu pengetahuan dan hal ini yang membawa manusia dan alam pada titik nadir
yang memprihatinkan. Kerusakan alam semesta dan dehumanisasi adalah suatu
peristiwa yang akrab dalam kehidupan manusia sekarang ini. Trio yang terdiri
dari ekonomi, politik, dan ilmu pengetahuan melahirkan satu dimensi (one dimensionality) yaitu sistem
tehnologis yang totaliter.4 Fakta konkrit yang demikian itu,
menimbulkan rasa kehampaan dan kesepian terhadap ummat manusia sebagai masalah
utama kehidupan modern dewasa ini. Oleh karena itu, perlu dilakukan gugatan
terhadap ilmu-ilmu yang berbasis akal murni. Sudah saatnya, semua ilmuwan untuk
jeda sejenak dari kegiatan berfikirnya dan merenung untuk menemukan substansi
ilmu yang sesungguhnya.
Dari uraian di atas,
dapatlah dirumuskan permasalahan apakah alat yang menjadi basis ilmu untuk
menemukan kebenaran yang menenteramkan sehingga ilmu benar-benar memberi
keselamatan dan kebahagiaan bagi ummat manusia dan mampu berhubungan mesra dan
intim dengan alam semesta?
Sejarah
Pemikiran Manusia
Sekitar di antara
abad keenam dan keempat sebelum Masehi, perkembangan luar biasa terjadi di
sejumlah tempat secara terpisah di seantero bumi. Di berbagai wilayah di
selatan, utara dan timur Mediternia, di Cina dan beberapa wilayah di antaranya,
para pemikir kreatif mulai menantang dan melampui kepercayaan-kepercayaan
religius, mitologi, dan folklor masyarakatnya yang sudah mapan. Pemikiran
mereka makin abstrak. Pertanyaan-pertanyaan mereka makin menyelidik.
Jawaban-jawaban mereka makin ambisus, makin spekulatif, dan makin memicu
kemarahan.5 Itu semua sebagai upaya akal menjelaskan fenomena, dan
yang demikian inilah sebagai hal ikhwal lahirnya ilmu.
Dalam sejarah
pemikiran Barat, penggunaan akal untuk menerangkan dan memahami fenomena,
sepanjang yang dapat dilacak, dimulai pertama sekali oleh Thales, seorang
filsuf Yunani kuno. Dialah yang menggunakan akal untuk menerangkan dan memahami
fenomena alam ini dengan pertanyaan apa asal alam ini? Apa yang menjadi sebab
penghabisan dari pada segala yang ada? Menurutnya, hakekat yang ada adalah air.
Air adalah permulaan dan penghabisan. Pemikiran yang demikian itu diikuti pula
oleh Anaximandros yang mengatakan asal segala yang ada adalah Api, sedangkan
menurut Anaximenes asal segala yang ada adalah Udara.6
Sesuai dengan sikap
kritis dan rasa ingin tahu manusia yang tiada henti-hentinya, terjadi perubahan
pemikiran manusia tentang kebenaran, yaitu terjadinya pergeseran tentang pusat
kebenaran yaitu manusialah sebagai pusat kebenaran. Pengagungan akal yang
demikian itu dimulai oleh kaum sofis dan tokoh utamanya adalah Sokrates yang
kemudian dilanjutkan oleh Plato dan Aristoteles dan selanjutnya ikuti oleh para
ilmuwan hingga saat ini.
Menurut kaum
sofisme, kebenaran pertama-tama berkedudukan dalam diri si pengenal. Kebenaran
diberi batasan sebagai penyamaan akal dengan kenyataan, yang terjadi pada taraf
inderawi maupun akal budi tanpa pernah sampai pada kesamaan sempurna yang
dituju kebe-naran dalam pengalaman manusia. Ilmu-ilmu empiris memegang perannya
dalam usaha mengejar kesamaan itu. Dalam bidang ilmu-ilmu itu sendiri pun
kebenaran selalu bersifat sementara. Ilmu-ilmu pasti tidak langsung
berkecimpung dalam usaha manusia menuju kebe-naran, tepatnya perjalanan
ilmu-ilmu itu merupakan suatu sumbangan agar pengetahuan di luar ilmu-ilmu itu
makin lancar mendekati kebenaran.7 Dari sini kemudian berkembang
penjelasan dan pemahaman terhadap fenomena sebagai kegiatan ilmu.
Melalui konteks
sejarah di atas, dapatlah difahamkan bahwa pada hakikatnya Ilmu tidak hanya
menerangkan, melainkan juga berusaha memahami semua fenomena yang ada.8
Ilmu pengetahuan tidak mungkin ada. Satu-satunya sumber untuk mengetahui adalah
panca indera,9 dan alat utama yang dipergunakan adalah akal murni.
Akal sebagai alat untuk berpikir, dijadikan ukuran dari segalanya. Kedudukan
akal demikian tingginya bahkah didewakan
sebagaimana dikatakan oleh Aristoteles akal adalah Tuhan. Tuhan adalah
Fikiran yang ber-Fikir.10 Konsekuensinya adalah menimbulkan ide
Barat atas perlakuan manusia terhadap alam semesta. Menurut ide Barat, alam
semesta sebagai “kerajaan besar, yang diatur oleh logos yang suci“ lebih banyak
berkaitan dengan otoritas kerajaan yang tersentralisasi di Eropa daripada
dengan gagasan universal lainnya. Jadi, ilmu adalah yang
empiris, yang rasional, yang umum, dan bertimbun-bersusun; dan keempat-empatnya
serentak.11 Senada dengan itu, V. Afanasyef, mengatakan ilmu
pengetahuan adalah pengetahuan manusia tentang alam, masyarakat, dan pikiran.
Ia mencerminkan alam dalam konsep-konsep, kategori-kategori dan hukum-hukum,
yang ketepatannya dan kebenarannya diuji dengan pengalaman praktis.12
Kultur Barat
memandang kehidupan manusia di bumi merupakan tujuan akhirnya karena itu mereka
tidak percaya akan perlunya mempertahankan kehidupan ini demi alasan apapun,
sungguhpun ongkosnya adalah kehilangan martabat manusia dan menjadi binatang.13
Masyarakat Barat telah dirasuki faham yang aneh, kontradiksi pemikiran,
kejiwaan dan juga kehidupan materi.14 Herman Soewardi15
menyebutkan hal inilah yang menyebabkan ilmu berbasis sekuler memunculkan
perilaku resah, renggut dan rusak baik terhadap sesama manusia mau pun atas
alam semesta.
Ilmu
berbasis Iman
Uraian di atas,
telah memberikan gambaran bahwa objek ilmu adalah “yang ada”, dan alat yang
dipergunakan untuk menjelaskan dan memahaminya adalah akal berdasarkan
pengalaman. “Yang ada” sebagai objek ilmu adalah yang tercerap oleh indera
manusia. Di luar itu tidak menjadi kajian ilmu. Persesuaian antara pikiran dan
kenyataan diklaim oleh ilmu pengetahuan sebagai objektif dan netral. Untuk ini timbul pertanyaan yang mendasar,
apa yang diketahui oleh akal atas pengalaman atau fenomena itu sesungguhnya
fenomena itu sedemikan adanya? Bila ilmu benar-benar objektif dan netral
mengapa terdapat perbedaan pandapat dan teori atas suatu objek atau fenomena
yang sama? Bukankah hal itu menunjukkan
atau bahkan membuktikan bahwa alat yang dipergunakan, yaitu akal, adalah
terbatas?
Keterbatasan akal
juga dapat dilihat dari krisis energi kekuatan dan kecermatan yang dialami oleh
akal. Akal sangat tergantung pada waktu dan tempat di mana akal itu bersemayam,
hal ini membuktikan keterbatasannya akal itu. Bila akal terbatas apakah ada
alat lain dari diri manusia untuk mampu mengetahui, menjelaskan dan memahami fenomena
(objek) kajiannya secara tepat dan sungguh-sungguh objektif?
Pertanyaan-pertanyaan kritis perlu diajukan untuk dapat menemukan kebenaran
yang sesungguhnya objektif. Dengan cara ini dapatlah dilakukan koreksi terhadap
ilmu berbasis akal murni.
Pemikir-pemikir
Yunani kuno dan dilanjutkan oleh ilmuan Barat mencari kebenaran di-mulai dari
alam nyata, materi, sampai ke puncaknya yang lebih abstrak yaitu metafisika,
tegasnya dari bawah ke atas.16 Konsekuensi logis dari pendekatan ini
fenomena yang ada itulah pada hakekatnya yang absolut. Akibatnya ilmu
pengetahuan, akal, dipergunakan juga untuk membuktikan kebenaran agama
sekaligus menjelaskan fenomena (objek) yang ada. Pendekatan ini pada puncaknya
menimbulkan konplik antara ilmu dan agama dan berakhir dengan terpisahkan ilmu
dengan agama.
Hakekat ilmu pada dasarnya upaya untuk menjelaskan dan memahami tentang yang ada dalam bentuk fenomena atau materia. Alat untuk menjelaskan adalah akal. Ilmu pengetahuan sekuler membatasi “yang ada“ terbatas hanya dua, yaitu alam semesta, dan manusia. Alam dan manusia saling berhubungan dari hubungan itulah muncul pengetahuan untuk menjelaskan. Fungsi Ilmu sebagai menjelaskan merupakan bidang epistimologi dari suatu ilmu. Dalam ilmu pengetahuan sekuler epistimologi setiap pengetahuan manusia itu adalah hasil dari kontaknya dua macam yang ada, yaitu (a) benda atau yang diperiksa, diselidiki, dan akhirnya diketahui (objek); (b) manusia yang melakukan pelbagai pemeriksaan dan penyelidikan dan akhirnya mengetahui (mengenal) benda atau objek tadi.
Epistimologi ilmu
pengetahuan yang disebutkan di atas menjadi dasar epistimologi sains modern
begitu kuat dengan mengagungkan pendekatan rasionalisme, emprisme,
obyektifisme, dan eksperimantalisme. Dengan demikian, ilmu pengetahuan sangat
terikat pada tempat dan waktu atau benda (materi). Inilah yang oleh para
saintis modern dianggap sebagai satu-satunya kutub pendekatan atau metodologi
ilmiah yang amat menakjubkan. Pengagungan yang demikian inilah yang melandasi
keyakinan dan pikiran ilmiah para saintis modern, yang disebut sebagai
paradigma sains modern.
Namun, dalam
perkembangannya, nyata kemudian bahwa paradigma itu tidak mampu memberikan
jawaban yang komplit atas berbagai realitas dan fenomena yang berkembang.
Misalnya soal siapa sesungguhnya manusia, soal asal-usul alam, struktur atom,
hakekat elektron, materi terkecil alam, dan lain-lainnya tidak mampu dijawab oleh paradigma itu.17
Ketidak mampuan ilmu pengetahuan untuk memberikan jawaban yang komplit
atas berbagai realitas dan fenomena yang berkembang terbukti terdapatnya
berbagai perbedaan pendapat dan teori para ilmuan untuk objek yang sama.
Misalnya, Thales menyebutkan asal yang mutlak itu adalah air, Anaximendes
mengatakan api, Anaximandros mengatakan udara, Plato dengan konsepsi “cita
(idea)”, Aristoteles dengan “entelechi”, Spinoza dengan “substansi”, Hegel
dengan “roh”, Marx dengan “perjuangan kelas”, Schopenhauer dengan “kemauan”,
Bergson dengan “élan vital”.
Ajaran Islam
memberikan keterangan bahwa “yang ada“ di dunia ini ada tiga macam, yaitu: (a)
Tuhan (b) Manusia dan (c) Alam. Ketiga “yang ada” itu saling berinteraksi satu
sama lainnya. Dari hubungan tiga “yang ada” itu dapat dipahamkan Tuhan sebagai
dunia serba ruh (idea), alam sebagai materi dan manusia tempat berpadunya dunia
ruh (idea) dan materi (alam). Keberadaan tiga “yang ada” itu saling berhubungan
satu sama lainnya dan merupakan satu ke-satuan yang saling terkait pula antara
satu dengan lainnya. Hubungan antara
ketiga “yang ada” sebagai suatu kenyataan yang mempunyai makna dan bernilai
karena pada hubungan itu terkandung cara dan tujuan. Dan hubungan dari tiga
“yang ada“ itulah terlihat sari kehidupan.
Saripati dari tiga “yang ada” itu adalah ruh dan materi. Esensi ruh dan
meteri terlihat jelas pada diri manusia. Sesuai dengan esensinya yang
demikian itu, manusia mempunyai
kedudukan yang sentrum serta fungsi yang
penting di dunia realitas.
Bertitik tolak dari
hubungan sebagai sari kehidupan, maka hubungan tiga “yang ada“ ditemui pula tiga pola hubungan yang
mendasar, yaitu (a) Hubungan Tuhan dengan manusia, dan alam (b) Hubungan antar
sesama manusia (c) Hubungan antar manusia dan alam lingkungan semesta. Dari
tiga pola hubungan itu, timbul pertanyaan, siapakah causa finalis hubungan itu?
Jawaban atas pertanyaan ini amat penting guna menentukan pola hubungan dan
perilaku ketiga “yang ada“ tersebut terhadap pemikiran manusia khususnya dalam
bidang ilmu dan agama. Penjelasan dan pemahaman atas tiga pola hubungan itulah
akan ditemukan kebenaran pemikiran yang objektif.
Menjawab pertanyaan tersebut di atas, ajaran
Islam telah memberikan patokan yang kokoh dan kuat, melalui pengikraran tauhid,
yaitu dua kalimah syahadat. Dalam ajaran Islam. Ikrar tauhid inilah inti pokok
untuk menentukan jalannya sari kehidupan. Iman atau keyakinan inilah sebagai
titik pangkal dari pengetahuan. Hal ini tegas disebutkan di dalam Al Qur’an
surat Al Alaq ayat (1-5), yang intinya membaca atas nama Tuhan dan menulis atas
ajaran Tuhan. Membaca mempunyai kaitan yang erat dengan perkembangan ilmu
demikian pun menulis. Keduanya berkaitan dengan riset, observasi analisis,
ekperimen, dan perumusan teori.
Konsekuensi dari pernyataan tauhid tersebut,
maka dalam tiga pola hubungan “yang ada” itu Tuhan adalah sebagai causa finalis
pola hubungan, sebab Tuhan adalah pencipta ma-nusia dan alam. Sebagai Pencipta
membawa konsekuensi bahwa Tuhan adalah pusat hubungan dan pembentuk hubungan.
Sebagai Pencipta pula, Tuhan yang mengetahui secara pasti apa yang dibutuhkan
oleh manusia dan alam. Dalam hubungan Tuhan dengan manusia, dan alam; maka
Tuhan menyapa manusia dan alam untuk melakukan apa yang terbaik untuk manusia
dan alam tersebut. Melalui sapaannyalah Tuhan menentukan bagaimana hubungan itu
dijalankan, baik hubungan antara Tuhan dengan manusia, hubungan sesama manusia
dan hubungan manusia dengan alam. Hubungan-hubungan yang ada, pada dasarnya
adalah untuk keteraturan dan ketertiban dari dua atau lebih hal yang
berinteraksi. Dari interaksi itulah ditemukan ontologi, epistimologi dan
aksiologi sebagai kajian filsafat ilmu. Keteraturan berkenaan dengan landasan
substansi dari ilmu, dan ini ada dalam dunia ruh (Idea) atau sebagai jiwa ilmu,
sedangkan ketertiban ada dalam dunia akal, yang berkenaan dengan materi dan ini
merupakan tubuhnya ilmu. Oleh karena itulah pandangan Islam dalam ketauhidan
menganut kemapanan dan absolut, bukan
relativisme dan anti kemapanan. Pendobrakan terhadap kekuasaan absolut
itulah munculnya konflik antara ilmu dengan agama.
Tuhan adalah esensi
yang universal sifatnya dan dianut oleh setiap manusia. Karena manusia pada
hakekatnya adalah makhluk yang religius dan keberadaan Tuhan adalah menjadi
kebutuhan laten bagi dirinya. Kalau pun ada perbedaan tentangnya tidaklah
berkenaan dengan hakekat adanya Tuhan melainkan mengenai hakikat makna Tuhan
dalam pembahasaan.
Upaya pencarian
Tuhan telah dilakukan oleh umat manusia sejak zaman primitip hingga masa kini.
Awal anjak pencarian Tuhan oleh manusia dimulai dan bersandar pada benda-benda
materi (ujud nyata) sampai kepada dunia yang tidak dapat disentuh oleh panca
indera yaitu ruh. Percaya pada roh-roh merupakan kepercayaan yang paling padat
dan paling melekat dengan intuisi manusia pada permulaan menemukan jalan
beragama dan berkepercayaan.18 Hal ini membuktikan, bahwa kebutuhan akan Tuhan adalah kebutuhan laten
dan hakiki manusia. Tuhan tidak dapat dipahami sebagai Tuhan yang
antropomorfis. Kita hanya dapat mengetahui esensi Tuhan dalam makna kata “meng-ada”.
Kata kerja meng-ada (to be), digunakan
dengan dua cara yang berbeda: Pertama, kata tersebut berarti tindakan
bereksistensi (actu essendi); Kedua,
kata tersebut berarti komposisi dalil-dalil yang diciptakan jiwa dengan
menggabungkan sebuah predikat dengan sebuah subjek. Pengertian meng-ada yang
kedua inilah yang dapat dipergunakan untuk memahami esensi Tuhan.19
Berdasarkan
penggunaan akal seadanya, sebagian orang meragukan, apakah Tuhan itu ada?
Artinya dengan akalnya ada sebagian orang meragukan adanya Tuhan, karena
akalnya tidak mampu mengecap tentang ada-Nya itu.20 Ketidaktahuan
akal tersebut tidaklah berarti Tuhan tidak ada, karena akal tidak tahu bukan
berarti sesuatu yang tidak diketahuinya itu tidak ada, tapi karena ia belum
sampai pada tahu tentang yang ada yang belum diketahuinya itu. Adanya sesuatu
yang belum diketahui oleh akal, hal itu dianggap misteri menurut akal, bila
akal telah menerimanya barulah, hal itu diakui adanya. Oleh karena itu, manusia
bukan pusat kebenaran melainkan ia hanya mengakui adanya kebenaran.21
Jelaslah, pusat kebenaran adalah Tuhan dan kebenaran itu sendiri ditetapkan
oleh Tuhan.
Dalam upaya
pencarian Tuhan melalui akal dapat didekati melalui pendekatan metafisika yang
paling tertinggi, yakni Ada. Di luar pertanyaan: ”Mengapa terdapat adaan-adaan
yang tertata rapi? Pertanyaan lain yang jauh lebih mendalam: “Mengapa ada
sesuatu dari pada tidak ada sesuatu apa pun?.” Di sini ilmuwan yang tidak mau
menanyakan hal tersebut, karena pertanyaan tersebut tidak masuk akal. Secara
ilmiah, pertanyaan itu memang tidak masuk akal.
Tetapi, secara metafisik,
kefilsafatan, pertanyaan itu masuk akal dan dapat dipikirkan.22
Sains dapat
menjelaskan banyak hal di dunia ini; mungkin pada suatu hari kelak sains dapat
menjelaskan, bahwa dunia fenomena sesungguhnya
ada. Tetapi, alasan mengapa segala sesuatu itu ada, atau ber-ada
(eksis), sama sekali tidak diketahui olehnya; mungkin sebabnya karena sains
bahkan sama sekali tidak dapat mengajukan pertanyaan tersebut. Satu-satunya
jawaban untuk pertanyaan tertinggi ini adalah bahwa semua masing-masing dan
semua energi eksistensial partikular, masing-masing dan semua benda tertentu
yang ber-ada (eksis), menggantungkan eksistensi pada sebuah
Tindakan-eksistensi-murni. Agar dapat menjadi jawaban tertinggi bagi semua
masalah eksistensial, sang penyebab tertinggi ini harus merupakan eksistensi
absolut. Karena absolut, penyebab semacam itu memadai dalam dirinya sendiri;
jika dia mencipta, tindakan kreatifnya haruslah bebas. Karena dia tidak hanya
mencipta keadaan, tetapi juga tatanan, dia pastilah sesuatu yang
setidak-tidaknya sungguh-sungguh memiliki satu-satunya prinsip tatanan yang
kita kenal dalam pengalaman kita, yakni pemikiran. Nah, sang penyebab absolut
itu, bukanlah sesuatu (it), melainkan
Dia (She/He). Singkatnya, penyebab
pertama adalah Sang Esa yang menjadi tempat bertemunya penyebab (kausa) alam
dan sejarah.23 Jawaban dari filsafat, rasional, ini telah memberikan argumentasi yang kuat
tentang adanya Tuhan.
Tuhan adalah esensi
utama dan mengeksistensikan segala sesuatu yang ada. Tuhan sebagai pusat dari
segala sesuatu itu. (esensial) bagi Islam. Tuhan adalah pembuat grand design. Manusia dan alam adalah sesuatu yang
dieksistensikan oleh Tuhan, karenanya antara Tuhan dan yang dieksistensikan-Nya
tetap terjalin keterikatan yang kuat yaitu dalam bentuk hubungan, yaitu
hubungan manusia dengan Tuhan dan sebaliknya. Dalam tataran ini, haruslah
dipahamkan bahwa Tuhan adalah inti kenormatifan, yang berarti Tuhan adalah
satu-satunya yang Mengatur, Mengelola, Memelihara, dan Memerintah.24
Dengan demikian Tuhan adalah pusat dari asal dan tujuan akhir segala sesuatu.
Konsekuensi bahwa
Tuhan adalah esensi utama, maka Tuhan juga sebagai Pelaku sem-purna (a perfect agent) dalam arti tak satu pun
yang dapat mencegah-Nya dan tidak ada kekurangan pengetahuan atau motivasi
pada-Nya. Tindakan-Nya adalah sempurna dalam arti, ia sepenuhnya dilaksanakan
secara rasional, tanpa kepentingan pribadi, dan dengan pemahaman utuh atas
akibat tindakan-Nya. Selanjutnya, dalam kenyataannya, gagasan kepelakuan yang
sudah sempurna itu pun perlu lebih diangkat ke tingkat asal kejadian, sebab ia
berbeda sekali dengan yang kita sebut sebagai kepelakuan. Misalnya, kita biasa
melakukan sesuatu sekedar untuk
membuktikan bahwa kita bisa melakukannya. Dan karena bertindak dalam
konteks informasi yang tidak sempurna, tindakan kita acap ngawur dan tidak
tepat guna dalam rangka menggapai tujuannya. Tentunya, ini sangat berbeda
dengan tindakan-tindakan Tuhan yang sangat
sesuai dengan pandangan utuh atas keadaan dan tidak terbatasi oleh keberhinggaan (finitude) dan
keberwadahan (materiallity).25
Ajaran Islam tidak
lagi berupaya mencari Tuhan. Tetapi Islam telah menentukan adanya Tuhan. Di
sinilah bedanya dengan pencarian Tuhan menurut akal sebagaimana dilakukan oleh
pemikir-pemikir Barat dan Yunani, mereka masih mencari Tuhan dengan menemukan
jawaban yang mutlak dari fenomena yang ada melalui akalnya. Ajaran Islam secara kukuh telah me-nentukan
tentang adanya Tuhan. Manusia melalui akal budinya, hanya berupaya menggapai dan
memahami Kehendak Tuhan. Pengukuhan ada-Nya Tuhan dalam ajaran Islam diawali
dengan ikrar tauhid dalam ucapan duakalimasyahadat, Laillahailallah, Muhammadurrasulullah. Kalimat tauhid inilah
sumber dan akar dan jalan untuk mengenal, memahami, dan menjelaskan tentang
fenomena yang ada.
Dengan ikrar tauhid,
dua kalimah syahadat, tersebut pada dasarnya adalah berkenaan dengan “masalah
tahu” dan “masalah menjadi.” “Masalah tahu” diderivasi dari kalimat Laillahailallah, sedang “masalah
menjadi” diderivasi dari kalimat Muhammaddurarasullah.
Keduanya merupakan hubungan yang tidak terpisahkan. Dan pengetahuan yang
dihasilkan dari keduanya adalah pengetahuan dan pemahaman manusia yang
sempurna. “Masalah tahu“
adalah kerjanya hati26 yang bertujuan untuk menentukan betul dan salah, dan hal
ini berkaitan dengan ruh sebagai cikal bakalnya lahirnya kesadaran, dan hatilah
yang berpikir.27 Munculnya masalah tahu ini karena adanya hubungan
Tuhan, manusia, dan alam yang teratur. Pada tataran inilah, tahu yang sejati
itu ditemui, dan itulah sumber dari tahu yang tidak terlalu terikat pada materi
atau pengalaman. Ia merupakan hati nurani. Suara hati lebih cenderung merupakan
kemampuan seseorang untuk menggali wawasan yang lebih dalam, kepekaan etis, dan
pengenalan diri, dan dalam suara hati tradisi dan pengalaman langsung tidak
saling bertentangan namun saling berkaitan.28
Dalam tataran
filsafat ilmu “masalah tahu“ ini berkenaan dengan ontologi ilmu atau masalah
konsep. Ontologi dalam Islam dapat diketahui dalam Al Qur’an dalam surat Al
Baqarah, ayat (31)29. Berbeda dengan ilmu Barat sekuler masalah tahu
adalah hasil kerja akal yang berasal dari pemahaman realitas dalam alam materi,
oleh karenanya tidak tetap dan selalu berubah-ubah tergantung pada objeknya
atau fenomenanya. Dan alam materi digerakkan oleh dirinya sendiri secara
mekanik.
“Masalah menjadi“
berhubungan erat dengan kerjanya akal yang bertujuan untuk men-jelaskan benar
dan palsu,30 dari fenomena atau
benda, materi, yang sangat terkait dengan tempat dan waktu. Masalah
menjadi ini adalah adanya hubungan antara Tuhan, Manusia, dan alam yang
berjalan secara tertib. Tertib terlibat pada tempat dan waktu itulah
menyebabkan bekerjanya akal dan membawa konsekuensi tentang menilai benar atau
palsu dari suatu kenyataan atau fenomena. Untuk menjatuhkan penilian maka
dilakukan penjelasan dengan tata kerja yang tertentu. Cara kerja yang demikian
ini merupakan proses yang dalam tataran filsafat ilmu disebut dengan
epistimologi. Proses atau epistimologi
ilmu untuk mengetahui benar atau palsu fenomena dengan tetap berhubungan erat
dengan Tuhan sebagai Pencipta sebagaimana tertuang di dalam Surat Al-Baqarah
ayat (67-73) menjelaskan dalam Islam bertujuan ganda, yaitu membuktikan
kebenaran Tuhan, dan pemanfaatan terhadap kehidupan manusia itu sendiri.
Keduanya tidak dapat dipisahkan. Ilmu dan agama dalam pandangan ajaran Islam
adalah satu kesatuan. Dalam ajaran Islam ilmu adalah bahasa agama sekaligus
bahasa budaya, se-bagaimana terlihat dalam Al Qur’an ditemukan sebanyak 750
kata ilmu. Adalah kekeliruan bila pengertian ilmu yang dipergunakan secara
konvensional yaitu yang berkenaan dengan pengalaman empirik dan uji kausalitas
saja.31
Berbeda dengan
epistimologi ilmu Barat sekuler yang diurai oleh kekuatan akal semata-mata atas
pengalaman, eksperimen, atas fenomena yang ada. Ilmu-ilmu sekuler dalam cara
kerjanya hanya bertumpu pada akal dan memisahkan diri dengan hati nurani. Ilmu pengetahuan yang berkembang dengan
metodologi yang dikenal sekarang ini lebih banyak menjangkau kebenaran
epistimologik, belum menjangkau substantif hakiki.32 Hal itu terjadi
karena mening-galkan rasa, hati sebagai pusat tahu, dan mengutamakan pengujian
atau pengukuran atas fenomena yang ada melalui akal semata-mata. Jiwanya telah putus dari kerinduan kepada
Yang Maha Kuasa sebagai penciptanya dan pencipta seluruh alam,33 dan
sumber tahu. Mereka jadikan ilmu sebagai Tuhan dan mendewakannya. Mereka
mengabdikan kepada syahwat, kesenangan dan kepada zatnya sendiri, membawanya
kepada foya-foya yang mengakibatkan kebinasaan di-rinya sendiri, seperti api
yang memakan dirinya kalau tidak mendapat lalapan.34 Akibatnya aksiologi ilmu sekuler yang yang
bersandar pada akal semata-mata hanya menghasilkan kehampaan dan kesepian
sebagai puncak permasalahan utama yang dialami manusia modern saat ini.35
Sebagai akibat bekerjanya akal tanpa diselimuti oleh rasa atau iman atau
bersumber pada inti “masalah tahu” yang sesungguhnya.
Jelasnya dalam
ajaran Islam jiwanya ilmu adalah iman yang berkenaan dengan hati dan tubuhnya
adalah ilmu sebagai domain akal. Dalam penerapannya, aksiologi, keduanya tidak
dapat dipisahkan satu dengan lainnya. Inilah hakikat dari ikrar tauhid dan dari
sinilah akan muncul ilmu tauhidullah. Jadi, ilmu berbasis tauhid adalah tata
nilai inti yang dapat menjamin kehidupan manusia sebagaimana seharusnya
ma-nusia dan alam itu sesuai dengan fitrahnya.
Simpulan
Ilmu berbasis iman
adalah ilmu yang bersumber pada kalimat dua kalimah syahadat, yaitu berkenaan
dengan (a) masalah tahu sebagai kerjanya ruh atau hati, dan (b) masalah menjadi sebagai kerjanya akal.
Masalah tahu berkenaan dengan ontologi yang ditetapkan berdasarkan sumber
awalnya yaitu Allah. Ontologi berdasarkan akal bersifat berubah-ubah karena
berkaitan dengan fenomena atau materi.
Masalah menjadi
adalah masalah epistimologi yang ditetapkan berdasarkan kerjanya akal untuk
menjelaskan fenomena dan ia sangat berhubungan dengan pengalaman dan cerapan
inderawi. Jadi, akal tidak mengetahui melainkan berfungsi sebagai alat
menjelaskan benar atau palsu suatu fenomena. Kebenaran akal adalah kebenaran
epistimologik bukan substansif hakiki. Untuk memperoleh ilmu sejati, kerja hati
dan akal haruslah seiring sejalan tidak dapat dipisahkan satu dengan lainnya.
Inilah ilmu pengetahuan yang dimintakan oleh Islam.
Aksiologi ilmu dalam
Islam adalah menjunjung tinggi fitrah manusia dan alam secara penuh santun,
karena manusia dan alam adalah makhluk ciptaan-Nya dan dibawah satu kendali
Tuhan sang Pencipta asal dan tujuan akhir kehidupan.
DAFTAR KEPUSTAKAAN
Abbas
Mahmoud Al-Akkad, 1981, Ketuhanan Sepanjang Ajaran Agama dan Pemikiran Manusia,
Bulan Bintang, Jakarta.
Abdulkarim
Al Chotib & Dr.Abdul Aziz, 1989, Islam dan Keanehan Ummatnya, Pustaka
Mantiq, Solo.
Agus
Purwadi, 2002, Teologi, filsafat dan Sains, Pergumulan dalam Peradaban mencari
Parafigma Islam untuk Ilmu dan Pendidikan, UMM, Malang.
A. Epping O.F.M,
dkk, 1983, Filsafat Ensie, Jemmars, Bandung.
C.Verhaak, 1995,
Filsafat Ilmu Pengetahuan, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
Etienne Gilson,
2004, God and Philosophy, terjemahan, Mizan, Bandung.
Endang Saifuddin
Anshari, 1987, Ilmu, filsakat, dan Agama, Bina Ilmu Surabaya.
Frans Rosenthal,
1970, Knowlegde Triumphant, E.J.Brill, Leiden.
Herman
Suwardi, Catatan kuliah Filsafat Ilmu, pada program S-3 Ilmu Hukum UII,
Yogjakarta, tanggal 18 Februari 2006.
K.Bertens, 1981,
Filsafat Barat dalam abad XX, Gramedia Jakarta.
Lias
Hasibuan, 2004, Berfikir Reflektif Qur’ani, Menebus Tabir Akidah, Menemukan
Pemahaman Yang Mencerahkan, SAPA Projek, Jambi.
Neong
Muhadjir, 2001, Filsafat Ilmu, Positivisme, Post Positivisme dan Post
Modernisme, Edisi II, Rake Sarasin.
Oliver
Leaman, 2002, Pengantar Filsafat Islam Sebuah Pendekatan Tematis, Mizan,
Bandung.
Orloc,
1987, Kekuasaan, Erlangga, Jakarta.
Ralp
Ross and Ernest Van Den Haag, 1957, The Fabric of Society, New York.
Robert
C.Solomon & Kethleen M.Higgins, 2002, Sejarah Filsafat, Bentang Budaya,
Yogyakarta.
Rollo
May, 1993, Manusia Mencari Dirinya, Memahami Manusia Modern di Tengah Berbagai
Kompleksitas Dan Konplik yang dihadapinya, Mitra Utama, Jakarta.
Sayyed
Hussein Nasr, 2003, Antara Tuhan, Manusia, dan Alam, IRCsoD, Yogyakarta.
Van
Peursen,1989, Susunan Ilmu Pengetahuan, Sebuah Pengantar Filsafat Ilmu
Gramedia, Jakarta.
-----------------------------
@ Dosen Fakultas Hukum Universitas Islam
Sumatera Utara, Fakultas Hukum Universitas Pembinaan Masyarakat Indonesia,
Sekolah Tinggi Ilmu Hukum Swadaya Medan, dan Advokat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar