RELEVANSI MEMPERINGATI MAULID NABI MUHAMMAD TERHADAP PERADABAN MANUSIA
Zulfirmanâ
Zulfirmanâ
1. Pendahuluan.
Bagi
ummat Islam kelahiran nabi Muhammad diperingati setiap tahunnya yang dikenal
dengan peringatan maulid nabi. Pada intinya peringatan maulid adalah upaya kita
mengenal sosok dan sepak terjang nabi
Muhammad sejak kelahirannya hingga menjalankan kerasulannya sampai
akhir hayatnya.Tidak jarang dijumpai dalam memperingati maulid nabi lebih
difokuskan pada aspek sejarah semata-mata, yaitu
menggambarkan secara kronologis kehidupan nabi Muhammad sejak kelahiran hingga wafatnya. Padahal bila kita mau berfikir kritis dan lebih dalam lagi, terdapat sisi-sisi yang terpendam yang perlu diangkat kepermukaan tentang posisi nabi Muhammad sebagai pemimpin agama sekaligus sebagai pemimpin politik atau kehidupan sosial.
menggambarkan secara kronologis kehidupan nabi Muhammad sejak kelahiran hingga wafatnya. Padahal bila kita mau berfikir kritis dan lebih dalam lagi, terdapat sisi-sisi yang terpendam yang perlu diangkat kepermukaan tentang posisi nabi Muhammad sebagai pemimpin agama sekaligus sebagai pemimpin politik atau kehidupan sosial.
Tak
dapat dipungkiri, bahwa kehadiran sosok nabi Muhammad adalah sebagai pembaharu,
penyempurnaan tatanan kehidupan manusia melalui risalah Allah SWT yakni Al Qur’an sebagai bentuk reaksi dari keadaan dan kondisi masyarakat Arab pada waktu itu
yang lebih mengutamakan hawa nafsu yaitu ketamakan dan kerakusan kekuasan berdasarkan
ketumpulan akalnya yang tercabut dari sumber utamanya yakni Allah.
Kondisi
masyarakat arab pada waktu itu berada pada jurang yang amat dalam dan amat jauh
dengan realitas tertinggi (Allah). Semua nilai-nilai moral, kecenderungan
spiritual, kebajikan-kebajikan, adalah hasil dinamika sosial atau tradisi dan
evolusi, yang karenanya tidak nyata atau absolut tetapi hanya relatif dan
hanyalah produk imajinasi manusia saat itu. Manusia pada waktu itu, berada pada
kehidupan yang tidak memiliki tujuan dan arah yang jelas tentang kehidupan itu
sendiri; Hal ini ditandai kehidupan masyarakat Arab pada waktu itu sebagai penganut
politeisme dan tuhan dalam bentuk berhala-berhala.
Pengingkaran
terhadap ke-esa-an Allah oleh masyarakat arab waktu itu adalah bentuk
kekafiran. Kekafiran adalah bentuk kelemahan akal pikiran manusia, karena
manusia tidak mampu mencermati diri, alam dan lingkungannya disebabkan
kebuntuan memahami dan menjawab tentang siapa dirinya, mengapa alam tercipta,
dan bagaimana lingkungan berjalan sesuai dengan aturan yang tetap.
Pada
situasi yang demikian itulah nabi Muhammad lahir, dan pada sekitar tahun 610 M,
ketika nabi Muhammad berusia empat puluh tahun, beliau menerima wahyu dengan
misi menganjurkan ummat manusia untuk menyembah mengesakan dan menyembah
Allah semata-mata tanpa ada yang lain selain diri-Nya. Risalah yang
dibawakannya itulah yang dinamakan Al Qur'an yang mengandung ajaran Islam.
2. Islam
sebagai pembentuk peradaban manusia
Wahyu,
Al Qur’an, adalah pedoman bagi nabi Muhammad dalam menjalankan tugas dan
fungsinya sebagai pimpinan agama mau pun kelompok sosial. Dengan wahyu itu, nabi
Muhammad membongkar dan merombak tatanan kehidupan manusia melalui pendekatan
pendayagunaan akal secara lebih terarah dan bertanggung jawab. Al Qur’an berulang
kali menyuruh manusia untuk berfikir.
Kata kerja ‘aqala lebih kurang
50 kali disebutkan dalam Al Qur’an, yang mempunyai arti merangkai gagasan-gagasan,
berpikir, memahami argumentasi intelektual. Itulah sebabnya agama Islam adalah
agama yang rasional dan masuk akal.
Akal
yang dipergunakan secara konsisten, teratah dan terukur adalah peneguh
keyakinan. Allah dengan amat santunya memperingatkan manusia dengan perkataan a fa-la ta’qilun, “tidakkah kamu
berfikir?”. Dari ayat Al Qur’an tersebut, nabi Muhammad mengajak umatnya untuk
memeluk Islam dengan menimbulkan lebih dahulu kesadaran manusia secara tulus
ikhlas sebagai buah hasil berfikirnya. Upaya dan usaha nabi Muhammad membuka
tabir kegelapan manusia dengan cara membuka cakrawala berfikir di mana akal
sebagai alatnya, agar manusia sadar tentang keberadaannya sebagai manusia di
muka bumi ini dan sadar pula bahwa dunia ini adalah pintu menuju hidup yang
kekal. Dari argumentasi ini, maka dapatlah dikatakan apa yang dikemukan oleh
Rene Decartes, tokoh rasional modern, yaitu “cogito
ergo sum”, ”aku berfikir, maka aku ada” yang diagungkan oleh orang-orang
Barat bukanlah pendapat orisinil dari Rene Decartes tapi suatu penjiplakan yang
amat nyata dari apa yang diterangkan dalam Al Qur’an tentang ayat-ayat agar
manusia berfikir.
Al
Qur’an merupakan mukziazat nabi Muhammad. Mukzizat dari nabi Muhammad ini
tidaklah sama dengan mukzizat yang diberikan Allah kepada nabi lainnya seperti
nabi Musa yang dapat membelah laut dengan tongkatnya, atau tongkat kayu menjadi
ular; Juga mukzizat nabi Isa yang mampu menghidupkan orang yang mati, membuat
mainan burung dari tanah liat kemudian ditiupnya hingga menjadi burung yang
hidup, menyembuhkan orang buta sejak kelahirannya hingga
dapat melihat (mukzizat ini untuk membuktikan adanya ruh, karena masyarakat Jahudi tidak percaya adanya
ruh pada masa itu). Umat manusia yang diajak menyembah Allah pada waktu itu selalu
meminta pembuktian keberadaan Allah dengan pembuktian dari peristiwa yang
dinilai luar biasa yang tidak dapat dilakukan oleh manusia. Berdasarkan
mukzizat itulah akhirnya umat manusia mengikuti iman yang dianjurkan oleh nabi-nabi
tersebut.
Berbeda
dengan Nabi Muhammad, mukzizatnya melalui
Al Qur’an yang memfokuskan kepada akal manusia. Pengikut Nabi Muhammad memeluk
agama Islam adalah melalui penggunaan akal manusia sebagai harta yang tak ternilai
dari manusia itu sendiri yang menimbulkan kesadaran dari hasil berfikir manusia
itu sendiri. Itulah, sebabnya tidak ada paksaan memeluk agama Islam; memeluk
agama Islam didasarkan pada kesadaran yang tulus ikhlas akibat hasil kerja akal yang
dinyatakan dalam dua kalimah syahadat. Upaya nabi Muhammad dalam meng-esa-kan
Allah adalah upaya yang paling penting dan utama dalam menyiarkan agama Islam.
Upaya peng-esa-an Allah, tentang tauhid, bukan didasarkan pada tradisi yang
telah dianut masyarakat arab pada waktu itu, tetapi upaya penggunaan akal
pikiran yang kritis dan mendalam sehingga ungkapan tauhid yang dilakukan oleh
bangsa arab yang telah memeluk Islam didasarkan dengan penuh kesadaran diri
sendiri yang tulus; hal ini membawa konsekuensi imannya tidak tergoyahkan walaupun
banyak siksaan, cercaan, hujatan, serta cobaan yang cukup berat bagi nabi
Muhammad maupun bangsa arab yang telah memeluk agama Islam pada waktu itu.
Jadi,
nabi Muhammad hadir di tengah-tengah masyarakat yang tidak mempunyai kepastian dasri
tujuan hidup yang jelas dan terarah. Ia menyampaikan Al Qur’an sebagai firman
Allah berupa seruan berisi kandungan yang tidak mengkotak-kotakkan realitas ke
dalam pengertian sakral dan profan (sekuler). Al Qur’an ditujukan kepada
manusia dan mengklasifikasi manusia sebagai makhluk sosial, makhluk religius,
dan makhluk biologis. Al Qur’an di dalamnya mengandung beragam sisi pengalaman
manusia di dalam seluruh wacananya, yaitu bangkit dan runtuhnya bangsa dan
individu, keteraturan alam, terciptanya masyarakat dan hukum, psikologi
manusia; Baik untuk membimbing pembacanya dalam menghadapi kehidupan di dunia
ini maupun untuk menyadarkan dirinya akan eksistensi dan ke-esa-an Allah
sebagai realitas yang tertinggi, bahwa Allah adalah Pemelihara, Pengatur dan
Raja dari kesemuanya yang ada. Hal inilah yang merupakan pembeda utama Al
Qur’an, risalah yang dibawa nabi Muhammad, bila dibandingkan dengan kitab-kitab
suci agama-agama besar lainnya.
Dari
diskursus di atas, jelas terlihat bahwa bagi manusia, akal adalah alat untuk
mengetahui dan memahami. Hasil kerja akal yang dilakukan dengan metode,
tersistimatis, dan melakukan verivikasi atas kebenaran adalah sebagai ilmu
pengetahuan. Jadi jelaslah, bahwa ajaran agama Islam adalah ajaran amat
rasional yang melalui kemampuan akal dibimbing wahyu telah membawa dan membentuk peradaban
baru umat manusia; dan itulah sebabnya Al Qur’an merupakan kitab yang berlaku sepanjang
dan untuk segala zaman serta mampu menghadapi tantangan zaman. Dan pada sisi
lain Al Qur’an sebagai penuntun berfikir manusia untuk mengenal, memahami dan
meng-esa-kan Allah selaras itu juga dan kita manusia mampu memahami dan
melaksanakan kewajiban untuk beribadah kepada-Nya dengan benar dan lurus. Pada sisi lain, fungsi Al Qur'an yang memerintahkan kepada manusia untuk berfikir dengan bersumber pada Al Qur'an, sebagaimana dikatakan pada surat Al Alaq ayat (1) : "Bacalah atas nama Tuhanmu", agar tidak terdapat bias dalam mengenal dan memahami ke-esa-an Allah, sebab bila akal tanpa bimbingan yang jelas, terarah dan terukur, maka akan muncul pemahaman atas Tuhan yang beraneka ragam. Artinya Allah itu Esa, yang membuatnya menjadi beragam adalah disebabkan karena berbeda cara manusia memahaminya. Itulah sebabnya kalimat dua kalimah syahadat menjadi penting dan menjadi jati diri umat Islam.
3. Penutup.
Terkait
dengan uraian di atas, dapatlah dipahami, nabi Muhammad adalah pelopor
perbaikan dan penyempurna keyakinan umat manusia dan pembawa ilmu pengatahuan
sebagai konsekuensi menggunakan akal untuk berfikir. Oleh karena, akal demikian
melekat pada keberadaan manusia sebagai manusia dan akal tidak pernah lepas
dari manusia hidup, maka tidak dapat dipungkiri akal dengan bimbingan wahyu
Allah merupakan ilmu pengetahuan manusia yang berguna dan sebagai sarana
pembentukan peradaban umat manusia dari masa ke masa demi keselamatan manusia
di dunia dan akhirat.
Mudah-mudahan dengan memperingati maulid nabi
Muhammad kita dapat meng-ambil hikmah dari misi nabi Muhammad menyuruh
meng-esa-kan Allah melalui akal manusia dan memahami diri sendiri dan dunia
alam semesta ini.
Medan, 22 Februari 2013
â
Dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Sumatera Utara, Fakultas Hukum
Universitas Pembinaan Masyarakat Indonesia, Sekolah Tinggi Ilmu Hukum Swadaya,
dan Advokat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar