ONTOLOGI DEMOKRASI
Zulfirman*
A. Latar Belakang
Kata demokrasi adalah kata yang menggoda dan telah menjadi subjek diskusi
yang intensif di belahan dunia ini. Rasa puas dan kecewa terhadap demokrasi
telah menimbulkan perdebatan dan gugatan sengit dari waktu ke waktu. Klaim
bahwa demokrasi sebagai sistem pemerintahan yang baik dan benar yang dianut
oleh negara maju dan berkuasa membuat demokrasi itu menjadi kata yang di puja
sekaligus dicerca.
Realitas menunjukkan, suatu negara atau seseorang melaksanakan kekuasaanya
sesuai dengan pemahamannya atas demokrasi sebagai sistem pemerintahan yang
baik, tidak sungkan-sungkan melakukan tindakan kekerasan dan pelanggaran
kedaulatan negara lainnya dengan alasan negara tersebut telah melanggar
nilai-nilai demokrasi. Atau, Penguasa
suatu negara acap kali melakukan tindakan penindasan terhadap masyarakat,
rakyat yang dikuasainya, dengan alasan demi menegakkan demokrasi.
Di Indonesia, pengaktualisasikan nilai-nilai dasar demokrasi dalam
praktek sejarah politik, ketatanegaraan, dan hukum menimbulkan berbagai alternatif penafsiran
melahirkan berbagai konsep demokrasi, yaitu (a) demokrasi
liberal atau demokrasi parlementer dari tahun 1950 - 1958 (b) demokrasi
terpimpin dari tahun 1959 – 1965, dan (c) demokrasi Pancasila dari tahun 1966 –
1998, dan (d) demokrasi sebagai reaksi terjadinya reformasi di Indonesia sejak
1998 hingga sekarang.
Dari
sejarah praktek politik tersebut terlihat, bahwa makna demokrasi dan meka-nisme
demokrasi di Indonesia
tidaklah bermakna baku.
Beragamnya makna yang diberikan atas demokrasi memunculkan dinamika dalam
ketatanegaraan Indonesia yang mempengaruhi ketentuan yuridis formal sebagaimana
terlihat di dalam UUD yang pernah berlaku di Indonesia, yaitu (a) UUD 1945 (b)
UUD RIS (c) UUDS 1950, dan (c) UUD 1945 yang di amandeman. Di samping itu, penerapan demokrasi juga menimbulkan dinamika
politik yang ditandai dengan berbagai peristiwa berskala nasional, antara lain
dapat dilihat dari peristiwa Madiun, Pemberontakan DII/TII, Pemberontakan G30S
PKI, dan terakhir ge-rakan reformasi yang terjadi pada bulan Mai 1998.
Beragamnya
penafsiran atas demokrasi yang melahirkan multitafsir tentang makna demokrasi,
hal ini akan menimbulkan dampak dalam penerapannya sehingga masing-masing pihak
politisi, penguasa, maupun pembentuk dan penegak hukum mempunyai pengertian
sendiri-sendiri tentang makna demokrasi, akibatnya dalam penerapannya tidak
terdapat kepastian untuk mancapai tujuan sejati dari demokrasi itu sendiri.
Pemujaan
dan pengkultusan terhadap kata demokrasi tanpa pemahaman yang sama telah memicu
pergolakan secara internal dari suatu negara tertentu yang berkepanjangan,
seperti di Miyanmar, Thailand,
peristiwa di Prancis baru-baru ini yang
menim-bulkan kerusuhan secara nasional bahkan menjalar kenegara-negara tetangga
di Eropa, demikian pun yang terjadi di Indonesia yang ditandai dengan
lahirnya reformasi.
Hakekat
terlahirnya reformasi di Indonesia
disebabkan rasa ketidakpuasan terhadap prilaku penguasa dalam mengaplikasikan
makna demokrasi. Makna demokrasi yang ditentukan dan ditafsirkan secara sepihak
oleh Penguasa berbeda dengan pengertian dan kehendak rakyat, serta mengabaikan
kebenaran dan sikap terhadap manusia oleh penguasa pada masa orde baru. Secara
mendasar reformasi ditafsirkan sebagai suatu upaya yang terorganisir dan
sistimatis dari bangsa Indonesia
untuk mengaktualisasikan nilai-nilai dasar demokrasi.[1]
Pemahaman
tentang demokrasi secara benar adalah penting dilakukan, karena berdasarkan
pemahaman tersebut orang akan melakukan tindakan atau perbuatan sesuai dengan pemahaman yang dimilikinya
teradap demokrasi. Oleh karena itu, pencarian dan pembentukan format demokrasi
secara objektip ilmiah haruslah dilakukan. Pencarian mak-na demokrasi tersebut
tidaklah semata-mata menjadi bidang kerja politik tetapi juga sangat berkaitan
dengan hukum.[2]
Di
Indonesia, pencarian makna demokrasi dan pembentukan formatnya dalam era
reformasi di Indonesia dapat dilihat dari Amandeman terhadap UUD 1945[3]
yang ditindak lanjuti dengan pembentukan undang-undang sebagai ketentuan
organiknya. Jadi, untuk memahami demokrasi bukan dilihat dari apa
yang dirumuskan melainkan nilai yang mendasari perumusan itu.
Ada dua hal yang
substansial dari makna demokrasi bila dilihat dari kaca mata hukum, yaitu
berkaitan dengan norma (a) cara memperoleh kekuasaan dan (b) bagaimana
melaksanakan kekuasaan. Untuk memahami
dan melihat demokrasi secara objektif
ilmiah perlu dipahami tentang dua hal penting, yaitu (a) teori tentang
demokrasi sebagai dasar pandangan dan (b) penguasaan praktis terhadap realitas
dengan seluruh dimensinya. Oleh karena itu, pemahaman terhadap ontologi
demokrasi perlu dilakukan untuk memudahkan memformulasikannya dalam
undang-undang mau pun implementasinya dalam praktek politik pada suatu negara
tertentu termasuk Indonesia
dengan tujuan agar tercipta tujuan dan cita-cita suatu negara. Dari sudut
pandang inilah, tulisan ini dinilai penting untuk melakukan analis kajian
secara akademik.
B.
Rumusan masalah
Untuk
menelaah demokrasi ada dua hal mendasar yang perlu dikaji, yaitu pada sisi (a)
substansi dan (b) operasionalnya. Dua hal ini perlu dianalisis untuk
memudahkannya dalam pembentukan yuridis formal dan penerapannya dalam
kehidupan praktek politik suatu negara, khususnya di Indonesia sesuai dengan visi bangsa Indonesia.
Berdasarkan hal itu, dapat dirumuskan permasalahan dalam tulisan ini yaitu
apakah esensi yang ada dalam menentukan
ontologi demokrasi, dan bagaimana pengaruh ontologi terhadap mekanisme atau
tataran operasional demokrasi di Indonesia.
C. Makna Demokrasi
Pengertian kata demokrasi sangat berkaitan dengan bahasa. Pada masa kini,
masalah bahasa adalah masalah yang paling menonjol dalam kefilsafatan di
samping masalah etika sosial. [4]
Di bidang etika sosial, apakah yang hendak diperbuat dengan masyarakat dewasa
ini? Apakah harus diterima sepenuhnya? Ataukah harus digulingkan dan digantikan
oleh masyarakat yang lain sama sekali? Ataukah dimungkinkan suatu jalan tengah?
Sementara itu, memahami demokrasi secara bahasa ada dua pokok, yaitu (a) arti
kata-kata dan (b) arti pernyataan-pernyataan.
Istilah demokrasi sering dipakai tanpa dipikirkan secara mendalam,
sampai-sampai masing-masing peserta dalam suatu pembicaraan mempunyai
pengertiannya sendiri-sendiri. Yang demikian ini juga berlaku terhadap analisis
mengenai pernyataan-pernyataan. Dalam hal ini, yang bersifat menentukan ialah
bahwa orang dapat memilah-milahkan antara pernyataan deklaratif (pemberitaan),
pernyataan optatip (harapan) dan pernyataan normatif.[5]
Oleh karena itu, untuk melihat ontologi demokrasi perlulah dikaji dari sisi
bahasa.
Dari sudut arti kata-kata demokrasi berasal dari kata demos yang artinya rakyat dan krotos
yang artinya kekuasaan. Jadi demokrasi adalah kekuasaan rakyat.
Salah satu gagasan demokrasi yang paling awal adalah kesepakatan, ataupun
persetujuan, yang dibuat oleh masyarakat Yahudi kuno dengan Tuhan mereka.
Perjanjian yang pertama kali diketahui antara yang mengatur dan yang diatur.
Adalah sangat sederhana. Sebagai imbalan atas janji Tuhan memberikan
kedamaian, tanah yang subur, umat berjanji untuk mematuhi perintah etik-Nya.
Ikatan di antara keduanya adalah keadilan.[6]
Dalam konteks ini, terlihat kedudukan manusia dengan Tuhan adalah sebagai
penguasa dan yang dikuasai. Tuhan dan manusia dalam konsep demokrasi kuno
berada posisi yang bebas dan seimbang. Pemikiran yang demikian lama kelamaan
menghasilkan pemikiran dan diujudkan dalam kenyataan kemasyarakatan bahwa
kehidupan keduniaan dipisahkan dari kehidupan keagamaan. Lebih jauh lagi,
perkembangan dalam hal menentukan kebenaran, pada awalnya adalah Tuhan berubah
dan berkembang menjadi manusialah sebagai penentu dan penetap kebenaran
berdasarkan rationya. Pengaruh pemikiran yang demikian ini menyebabkan dalam
perkembangannya pemaknaan demokrasi sangat sarat dan terkait dengan kebudayaan
suatu masyarakat tertentu.[7]
Pemaknaan demokrasi terkait aspek sosilogis, budaya dan nilai suatu
masyarakat tertentu, oleh karenanya masyarakat mempunyai kedudukan dependen
terhadap pemaknaan demokrasi sesuai dengan watak, kepribadian, budaya,
keyakinan, dan nilai yang dianut masyarakat itu sendiri. Demokrasi tampak pada
masyarakat yang menciptakannya dan diwarnai oleh prinsip-prinsip hidup yang mereka pegang.[8]
Karena demokrasi merupakan produk langsung dari seluruh warganya, tidak ada
satu pun masyarakat demokrasi yang mencapai sempurna tanpa mengubah
cita-citanya menjadi kenyataan.[9]
Uraian di atas memberikan gambaran, bahwa demokrasi merupakan hasil
rekayasa yang diciptakan oleh masyarakat itu sendiri. Berabad-abad lamanya
mereka memberikan model pemaknaan kepadanya, menciptakan kesalahan fatal pada
suatu saat, dika-renakan kehendak masyarakat itu sendiri. Dan mencapai
perkembangan yang luar biasa pada saat yang lain juga atas kehendak masyarakat
itu sendiri. Demokrasi adalah suatu produk, dan nama itu sebelumnya diartikan sebagai
suatu sumber kekuasaan daripada suatu cara memerintah.[10]
Untuk melihat ontologi demokrasi yang sesungguhnya haruslah dianalisis
melalui analisis bahasa yaitu berkaitan dengan bahasa pernyataan. Karena dari
segi bahasa pernyataan inilah akan didapati apa sesungguhnya demokrasi itu, dan
dari segi ini pula dapat dilihat konsep demokrasi secara utuh dan menyeluruh
sehingga dalam penerapannya dapat dipahami secara baik dan benar. Untuk mencapai
sasaran yang demikian itu, maka analisis tentang demokrasi dari segi bahasa
pernyataan menyangkut tiga hal, yaitu (a) bahasa pernyataan deklaratif (b)
bahasa pernyataan optatip dan (c) bahasa pernyataan normatif. Di bawah ini akan
dibahas satu persatu tentang ketiga bahasa pernyataan tersebut.
1.
Demokrasi
dari sisi bahasa pernyataan deklaratif.
Dalam demokrasi terdapat dua prinsip yang paling utama yaitu (a) otoritas politik merupakan ekspresi dari
keadilan[11]
(b) hanya ada satu sumber otoritas
politik, yaitu ma-syarakat itu sendiri.[12]
Teori-teori tradisional memandang
pemerintahan yang demokratis sebagai kondisi yang diperlukan untuk kebebasan
manusia. Di sini kebebasan dipahami dalam arti be-basnya setiap individu
melakukan pilihannya tanpa gangguan dari pihak luar. Prinsip utamanya adalah
kebebasan yang sama di dalam hukum, yang mencakup kebebasan sipil dan hak
politik. Secara demikian, demokrasi ditafsirkan sebagai tatanan politik yang
memaksimalkan kebebasan dan diciptakannya sendiri aturan yang diperlukan bagi
tatanan sosial, yang semua itu ditentukan melalui proses kesepakatan timbal
balik.[13]
Kebebasan yang dianut dalam teori demokrasi tradisional menyangkut kebebasan
dari halangan dan gangguan dari luar, kebebasan yang demikian ini disebut
sebagai kebebasan negatip sebagai dasar teori demokrasi individualis liberal.
Goul menulis kebebasan yang demikian itu tidaklah cukup dalam suatu demokrasi
yang sesuai dengan zaman abad ke-20. Menurutnya kebebasan harus ditambah
dengan kebebasan positip yaitu kebebasan untuk mengembangkan diri.[14]
Demokrasi hanya dimungkinkan jika masyarakat dapat mengakui
kepentingan-kepentingan sebagian orang maupun masyarakat yang lain, dan
mengorganisir diri untuk tindakan politis tertentu. Jadi, demokrasi adalah government of, by and for the people.
Pernyataan ini adalah berkenaan dengan pernyataan yang bersifat deklaratip.
Dari sisi ini, inti demokrasi ini terdapat dua hal pokok, yaitu (a) asal
kekuasaan dan (b) melaksanakan kekuasaan dalam pemerintahan. Kedua hal
tersebut, kekuasaan haruslah diramu dari dan untuk dipersembahkan kepada rakyat.
Dalam pengertian rakyat terdapat pula beberapa hal yang paling mendasar, yaitu
nilai yang dianut rakyat yaitu kebenaran menurut rakyat, budaya rakyat,
kepentingan dan kebutuhan rakyat, kepemilikan
rakyat, dan hak hidup rakyat. Sebagai contoh kebudayaan manusia pantai
biasanya di mana-mana, di Barat, Timur, Utara, Selatan, cenderung demokratis,
karena mereka menghayati dunia sehari-hari dengan horizon yang luas, berkontak
dengan orang-orang seberang yang bercakrawala bermacam-macam. Sehingga mental mereka
sudah berabad-abad serba terbuka dalam suatu penghayatan realitas yang
pluriform. Demikian pun terhadap bangsa-bangsa maritim biasa bersifat terbuka.
Berbeda dengan manusia pegunungan atau pedalaman, biasa cenderung lebih
tertutup, sempit terkurung dalam batas-batas hutan dan ladang yang relatif
homogen dan uniform dunia dan subjek-subjek pergaulannya. Mereka cenderung
lebih feodal, apalagi kalau mata pencaharian mereka pertanian.[15]
Contoh
lain adalah demokrasi yang dianut di Amerika Serikat. Banyak orang Amerika
bisa memberikan alasan rasional mengenai mengapa demokrasi lebih baik dibanding
tirani, atau mengapa sektor swasta bisa melakukan segala hal secara lebih baik
ketimbang pemerintahan besar. Mereka mengatakan hal ini jelas berdasarkan
pengalaman mereka sendiri maupun keyakinan dari idiologi-idiologi politik dan
ekonomi yang lebih luas sebagai bagian dari pendidikan umum mereka. Di sisi
lain, tentunya jelas bahwa orang-orang Amerika mengadopsi sikap-sikap ini tanpa
banyak memikirkan untuk mewariskannya pada anak-anak mereka. Amerika dianggap
memiliki pendirian kesadaran diri dan rasional yang sangat tinggi, namun
penerimaan generasi-generasi Amerika selanjutnya terhadap prinsip-prinsip
pendirian itu bukan karena prinsip-prinsip itu memberi pertimbangan yang sama
sadarnya pada mereka seperti halnya Founding
Father, tetapi karena prinsip-prinsip itu sudah menjadi tradisi. Oleh
karenanya, ketika menggambarkan Amerika sebagai pemilik budaya demokratis atau
budaya pasar bebas, yang mereka maksudkan adalah orang-orang Amerika yang
menghargai individualisme, memiliki ketenangan dalam menjaga persamaan dan
kecenderungan tidak percaya pada pemerintah dan otoritas yang besar.[16]
Dalam
karya klasik Yunani yang berjudul polis,
demokrasi adalah nama suatu konsitusi (sistem pemerintahan) di mana masyarakat
yang lebih miskin bisa menggunakan kekuasaan untuk membela kepentingan mereka
yang acapkali berbeda dari kepentingan
kaum kaya dan para bangsawan.[17]
Demokrasi
dapat dikenali dengan adanya unsur-unsur kedaulatan rakyat, pemerintahan
mayoritas, perlindungan minoritas, menyenangkan, kemerdekaan yang dijamin
undang-undang, partisipasi dalam perumusan kebijakan di setiap tingkatan,
persamaan hak dan sebagainya. Prinsip demokrasi yang demikian ini selalu
berubah untuk masyarakat yang juga selalu berubah dalam upaya menyempurnaan
konstitusi. Demokrasi merupakan sebuah slogan yang sangat menggoda karena
tampak menjanjikan suatu bentuk pemerintahan di mana pemerintah yang diperintah
berdampingan dengan rakyat yang berkuasa secara harmonis sehingga hanya sedikit
pemerintahan yang diperlukan. Karenanya demokrasi dikaitkan dengan cita-cita
kebebasan. [18]
Demokrasi
sebagai rekayasa masyarakat yang terkait dengan budaya juga telah diungkapkan
oleh Mohd. Hatta. Menurutnya, cita-cita demokrasi di Indonesia adalah
kolektivisme. Karena kolektivisme
menurutnya yang mendasari demokrasi asli Indonesia. Kedaulatan rakyat atau
demokrasi itu bukan hal asing bagi Indonesia. Ia ada di lapisan bawah,
yaitu di lapisan masyarakat bawah. Demokrasi Indonesia ditandai dengan tiga
elemen yaitu (a) rapat, (b) masa protes, dan (c) tolong menolong atau
kolektivisme. Rapat adalah tempat rakyat
atau urusan rakyat bermusyawarah dan mufakat tentang segala urusan yang
bersangkutan dengan persekutuan hidup dan keperluan bersama. Hal
ini dalam demokrasi Barat sama artinya dengan menentukan kebenaran dan sikap
terhadap manusia. Dari segi bahasa hal ini berkenaan dengan pernyataan
normatif.
Masa protes adalah hak untuk membantah dengan cara umum segala peraturan
negeri yang dipandang tidak adil. Ini mencakup hak rakyat untuk bergerak dan
berkumpul dengan bebas. Bagi Hatta tidak ada demokrasi jika tidak ada hak
rakyat mengadakan protes bersama. Hal yang demikian ini sama maknanya dengan
kebebasan dalam demokrasi Barat. Dan hal ini berkenaan dengan bahasa
pernyataan normatif.
Tolong menolong artinya rakyat saling tolong menolong dalam kerja, dalam
kesulitan, dalam pergaulan hidup sehari-hari. Hal ini dalam demokrasi Barat
sama dengan mencapai kesenangan hidup atau persamaan. Pernyataan yang demikian
itu, dari segi bahasa disebut dengan bahasa pernyataan optatip.
Pada tataran konsep, secara formal inti demokrasi dalam artian pernyataan
deklaratif adalah berkenaan dengan asal kekuasaan dan melaksanakan kekuasaan
dari, oleh dan untuk kepentingan umum, rakyat. Dalam tataran operasional, titik
tekannya dapat diberikan kepada satu orang, sebagian orang, atau kepada banyak
orang sepanjang keku-asaan itu diperuntukan untuk kepentingan umum. Penentu
titik tekannya dalam operasional adalah didasarkan pada nilai dan budaya yang
dianut oleh masyarakat tertentu.
Pada suatu masyarakat tertentu yang menganut nilai bahwa manusia tercipta
dengan kemampuan dan yang berbeda, baik dari segi kemampuan intelektual, atau
kelebihan lainnya yang berbeda dari orang kebanyakan diberi hak untuk mewakili
orang banyak untuk menentukan dan menjalankan kepentingan orang banyak atau
kepentingan umum. Dari segi operasionalnya kekuasaan diperoleh dan kekuasan
dijalankan diberikan kepada satu orang atau beberapa orang tertentu. Dari sini
akan melahirkan demokrasi perwakilan.
Pada suatu masyarakat tertentu adakalanya dianut bahwa perbedaan kelompok
dalam suatu masyarakat, maka dominasi kelompok menentukan bagaimana kekuasaan
diperoleh dan bagaimana kekuasaan dijalankan. Pada masyarakat yang menganut
nilai demikian ini akan melahirkan demokrasi pluralisme. Dari segi
opersionalnya titik tekannya diberikan kepada sekelompok orang atau beberapa
orang tertentu.
Sebaliknya pada suatu masyarakat lainnya, yang menganut nilai bahwa semua
orang dipandang sama satu sama lain, maka secara operasional akan melahirkan
demokrasi langsung yang titik tekannya diberikan kepada semua orang tanpa
kecuali. Dengan konsekuensi kekuasaan diperoleh dan dijalankan untuk semua
orang, atau orang banyak. Demokrasi yang demikian ini adalah demokrasi suatu
bentuk pemerintahan yang mengikutsertakan seluruh anggota masyarakat dalam
pengambilan keputusan yang menyangkut soal-soal kenegaraan dan kepentingan
bersama.[19]
Bentuk demokrasi modern berkembang sejak abad ke-17 dimulai pecahnya
Revolusi Industri yang mengakibatkan Revolusi Prancis dan Revolusi Amerika.
Setelah di-cetuskannya konsep hak asasi manusia dan hak politik, teori dan
bentuk demokrasi semakin berkembang kearah demokrasi perwakilan yang
sebelumnya yang berkembang adalah demokrasi langsung.[20]
Arif Budiman, membedakan demokrasi menjadi tiga.[21]
Pertama, demokrasi terjadi bila suasana kebebasan. Semua warga bebas
berpendapat, berorganisasi, mengkritik dan sebagainya. Hal ini terwujud,
apabila pemerintah telah kuat dan masyarakat sipil lemah. Dalam keadaan seperti
itu pemerintah akan berkata, “Baiklah, demokrasi. Toh tidak akan membahayakan
apa-apa”. Dengan demikian demokrasi terjadi, namun sifatnya berupa pinjaman
penguasa. Suatu saat kalau kritiknya terlalu keras dan mengancam pemerintah,
demokrasi itu bisa ditarik kembali. Ini namanya demokrasi pinjaman. Kedua,
demokrasi akan terjadi kalau ada pluralisme di tingkat elite, misalnya terjadi
konflik di antara mereka. Kalau masyarakat mengkitik pihak yang satu, pasti
akan dibela oleh pihak yang lain dan sebaliknya. Demokrasi jenis inipun
sifatnya sementara. Kalau kelompok yang satu sudah menang, atau kemudian
berkoalisi, ya kembali lagi tidak demokratis. Ini namanya demokraSi terbatas.
Oleh karenanya kedua-duanya bentuk demokrasi yang semu, karena yang terjadi
adalah penguasa yang kuat berhadapan dengan masyarakat yang lemah. Ketiga
adalah demokrasi yang asli, di mana demokrasi terjadi masyarakat bersatu dan
menjadi kuat untuk kemudian dapat mengimbangi kekuasaan. Jadi untuk
memperjuangkan demokrasi, kita tidak perlu meminta-minta kepada penguasa. Jadi demokrasi yang
asli adalah ada kekuatan yang seimbang antara pemerintah dengan civil society.
Untuk
memperoleh makna sejati demokrasi dari segi bahasa pernyataan tidaklah
mempertentangkan antara pemerintah dengan yang diperintah, melainkan
menetralisir kedudukan keduanya dalam bentuk bagaimana kekuasaan diperoleh dan
bagaimana mempergunakan kekuasaan. Makna demokrasi dari segi bahasa pernyataan
deklaratif adalah bersifat universal namun dalam tataran operasionalnya adalah
parsial. Makna demokrasi dari segi
bahasa pernyataan deklaratif ini dalam tataran konsep berlaku universal, namun
dalam tataran operasionalnya adalah bersifat parsial.
2. Demokrasi dari
sisi bahasa pernyataan optatip.
Hakekat
demokrasi adalah the ruled rules the
ruler by the rule. Jadi hakekat demokrasi ialah yang diperintah mempunyai
supremasi kekuasan untuk menentukan atau sekalipun mengganti yang memerintah
(Pemerintah) yang tidak dapat mewujudkan kehendaknya atau tujuannya dan
cita-citanya. Sedangkan tujuan akhir demokrasi adalah kebahagiaan hidup.[22]
Kebahagiaan hidup inilah yang dari segi bahasa sebagai bahasa per-nyataan
optatip atas pengertian demokrasi .
Kebahagiaan
hidup sebagai bahasa pernyataan masih dalam tatatan umum dan abstrak yang
merupakan pengertian bersifat universal. Terjadinya perbedaan tentang arti
kebahagiaan hidup pada tataran operasionalnya. Dari segi operasional ada tiga
realitas yang dapat dijadikan dasar tercapainya kebahagiaan hidup, yaitu (a)
terpenuhinya kebutuhan materil (b) terpenuhinya kebutuhan bathin (c)
terpenuhinya kebutuhan materil dan spirituil. Penentuan prioritas pemenuhan
kebutuhan ini berdampak pada pengertian operasional dari istilah demokrasi. Dan
untuk menentukan priotasnya digantungkan kepada nilai yang dianut oleh suatu
masyarakat tertentu. Sehubungan dengan hal ini, maka demokrasi dari segi
pencapaian kebahagiaan hidup dalam penerapannya sangat beragam tergantung dari
bentuk kesenangan hidup yang ingin dicapai serta bagaimana mewujudkan kesenangan hidup itu
sendiri. Jelasnya pasang surut operasional dari pengertian demokrasi sangat
ditentukan oleh rakyat atau suatu masyarakat berkaitan dengan kesenangan hidup
yang ingin digapainya.
Dalam
perakteknya bentuk demokrasi diwarnai oleh kebutuhan dan keadaan masyakarat
khususnya yang berkaitan dengan tujuan kesenangan hidup yang ingin dicapainya.
Masing-masing masyarakat dunia mempunyai persepsi tersendiri tentang
kesenangan hidup. Pada suatu masyarakat tertentu menekankan pada kebutuhan
materil saja dan menyingkirkan kebutuhan spiritual, tetapi ada pula masyarakat
yang menda-hulukan kebutuhan spiritual ketimbang kebutuhan materil, dan ada
pula masyarakat yang memenuhi kebutuhan keduanya secara seimbang. Secara
teoritis sebagaimana terbukti ada tiga buah model teoritis demokrasi, yakni (1)
individualisme liberal, yang terujud
dalam demokrasi ekonomi pasar bebas. (2) pluralisme, teori demokrasi politik
yang meman-dang konplik kepentingan antar kelompok terwadahi melalui mekanisme
kepartaian dan pemilihan umum yang teratur hal lebih menekankan pada hak-hak
politik, dan (3) teori sosialis holistik, yang mengkonsepkan demokrasi sebagai
sistem politik dan ekonomi yang tersentralisasi, yang dengan sistem ini
masyarakat sebagai keseluruhan menerapkan kontrol sosial tidak hanya terhadap
wilayah politik melainkan juga terhadap produksi dan distribusi barang.[23]
Pada
suatu masyarakat, tertentu kesenangan hidup ditentukan oleh terpenuhi dan
tercukupinya kebutuhan materil. Bila ini yang di anut, maka demokrasi
disalurkan dalam upaya memenuhi kebutuhan materil dan yang menjadi titik
tekannya adalah ekonomi. Konsekuensi dari paham yang demikian itu, demokrasi
bertujuan untuk menciptakan kebebasan setiap orang untuk memenuhi kebutuhan
ekonominya. Dari sini perwujudan de-mokrasi melahirkan demokrasi
liberal dan ekonomi pasar bebas.
Pada demokrasi liberal ditemui beberapa kelemahan. Hal ini terlihat dari
maksud dari persamaan adalah setiap manusia di pandang sama dalam hukum dan
politik yang mengharuskan negara menjamin kebebasan sipil dan hak-hak politik
yang sama bagi setiap individu. Berdasarkan pandangan yang demikian itu,
konsepsi tentang manusia sebagai individu yang asosial dan egois, yang motivasi
utamanya dalam bertindak adalah pemenuhan kepentingan sendiri. Pandangan yang
demikian ini tidak memperhatikan ko-opersi sosial atau kepentingan umum dari
semua individu, kecuali mungkin hanya memandangnya sebagai agresi kepentingan
pribadi tiap-tiap individu dan oleh karenanya sebagai alat untuk memuaskan
kepentingan pribadi-pribadi tersebut. Pengingkaran terhadap keberadaan sosial
sebagai perilaku antisosial dan keakuan adalah sesuatu yang tidak dapat
diterima secara moral.[24] Di
samping itu, demokrasi individualis ini mendukung dan membenarkan terjadinya
ketimpangan kehidupan sosial dan ekonomi, dengan melindungi hak untuk memupuk
kekayaan pribadi secara tak terbatas tanpa memperhatikan akibat sosialnya.[25]
Terhadap demokrasi pluralisme juga ditemukan kelemahannya. Kelemahan
pertama adalah berdasarkan pendekatan ini tidak saja tetap tidak menyentuh
persoalan ketimpangan di luar wilayah politik, tetapi memandang ketimpangan
itu (yang diyakini realistis) sebagai ciri sistimatik dari persaingan
kekuasaan politik di antara kelompok-kelompok yang berkonflik. Kedua, dalam
memahami demokrasi sebagai sarana kompetisi bagi elit demi kekuasaan politik,
pandangan ini menyingkirkan perwakilan dan partisipasi politik, yang dalam
bentuknya yang baik merupakan alat bagi pemilihan elit dan dalam bentuk
buruknya merupakan ancaman bagi stabilitas sosial. Ketiga, ia gagal memberi
jawaban yang memuaskan terhadap sosialitas atau kooperasi, karena karakterisasi
kelompok yang dibuatnya menjadikan pendekatan ini memandang kelompok tidak
lebih sebagai agregasi individu yang hanya diikat oleh kepentingan pribadi para
individu itu, yang untuk mewujudkannya membutuhkan kelompok.[26]
Terhadap demokrasi sosialis juga ditemukan beberapa kelemahan yaitu:
Pertama, ia gagal bertindak sesuai dengan norma teoritisnya sendiri tentang
persamaan sosial dan ekonomi, dan sebaliknya mengarah kebentuk-bentuk hierarki
dan stratifikasi sosial dan ekonomi. Kedua, karakteristik ekonomi komando dan
perencanaan terpusat dalam masyarakat sosialis terbukti tidak efisien, dalam
setiap kegiatan peningkatan produksinya untuk menyediakan kondisi bagi
kemakmuran dan dalam mencapai tujuan distribusi yang me-rata.[27]
Pada suatu masyarakat tertentu mungkin kebutuhan materil bukan menjadi
tujuan utama kebahagiaan, melainkan lebih bersifat rasa aman, tenteram,
terlindunginya hak hak pribadinya, rasa aman dalam kehidupan bersama, terhindar
dari penindasan dan tindakan kekerasan dari pihak lain, atau kebebasan dalam
melaksanakan keyakinan dan kepercayaannya. Artinya titik tekan dalam mencapai
kebahagian hidup itu lebih dipokuskan pada hak-hak sipil dan politik dan
pengembangan pribadi secara utuh.
Pada masyarakat lainnya ada
menganut, bahwa kebahagiaan itu apabila tercapai kebutuhan materil dan spritualnya.
Hal ini sebagai realisasi dari hakikat manusia itu sendiri yang terdiri dari
dua dimensi yaitu materi dan ruh. Kebahagiaan hidup yang sempurna apabila
kebutuhan materi dan ruh dipenuhi secara seimbang dan sempurna. Untuk
masya-rakat yang demikian akan lahir demokrasi yang sejati yang mensimultankan
kebutuhan ruh dan materi.
Dari konsep operasional tentang kesenangan hidup itu, watak dan karakter
serta kualitas rakyat sangat menentukan pemaknaan demokrasi untuk pencapaian
tujuan demokrasi itu sendiri. Dengan demikian bukan institusilah yang primer
harus menentukan si-kap dan politik umum, melainkan manusia-manusianya,
institusi adalah alat. Jadi demokrasi tidaklah bersumber pada sumber mata air
institusi, tetapi selalu merupakan luapan kesadaran kultural suatu bangsa.[28]
Demokrasi tidak hanya berhubungan dengan institusi formal, tetapi juga dengan
eksistensi nilai-nilainya dalam kehidupan sosial dan politik.[29]
Bagaimanapun juga kesenangan hidup haruslah dicapai sesuai dengan makna
kebenaran yang dianut oleh suatu masyarakat tertentu.Penyalurannya dapat
dilakukan melalui penyaluran di bidang politik, hak sipil, dan ekonomi. Penyaluran terhadap
bidang-bidang tersebut dapat dilakukan secara serentak, atau lebih menekankan
pada salah satu bidang. Pilihan terhadap penyaluran demokrasi ditentukan oleh
kebutuhan, keinginan, dan pandangan masyarakat terhadap kesenangan hidup yang
dianut dan akan dicapainya.
Dalam
perkembangan terakhir abad ke XXI, kelihatannya penyaluran demokrasi diarahkan
pada ketiga aspek, yaitu politik, ekonomi, dan hak-hak hidup yang sebagai ujud
mencapai kesenangan hidup.[30]
Dari sisi bahasa pernyartaan optatip terlihat, bahwa demokrasi mempunyai makna
yang universal secara konsep tetapi pada tataran operasional dari kesenangan
hidup terdapat perbedaan antara suatu masyarakat dengan masyarakat lainnya.
c. Demokrasi dari
sisi bahasa pernyataan normatif
Substansi
esensial dari makna demokrasi adalah berkenaan dua hal pokok, yaitu (a) sikap
terhadap manusia dan (b) pemahaman terhadap kebenaran. Pemahaman terhadap dua
hal ini dari segi bahasa pernyataan hal ini
berkenaan dengan bahasa pernyataan normatip.
Dalam konsepsi kuno, demokrasi terkait dengan konsep kebenaran dan etika di
samping kekuasaan. Konsepsi inilah senjata pertahanan yang ampuh. Kebenaranlah
yang masih akan, dan akan senantiasa, membuat manusia bebas.[31]
Oleh karena itu, pemahaman tentang makna manusia dan pemahaman tentang penentu
dan asal kebenaran adalah hal mutlak dalam memberi warna makna demokrasi. Karena demokrasi berkaitan
dengan sikap, maka demokrasi sangat berkaitan dengan budaya masyarakat
tertentu, sebagai-mana disebutkan pada uraian terdahulu. Karena demokrasi
sebagai hasil budaya, maka pertanyaan yang perlu dilakukan analisis adalah
siapa pembentuk kebenaran itu? Bagaimana kedudukan manusia di alam semesta
ini? Pertanyaan itu semua berkenaan dengan cara pandang manusia mengenai dunia.
‘lija
‘Ali Izetbegovic menyebutkan ada tiga cara pandang integral mengenai dunia: (a)
agama (b) material, dan (c) Islam. Ketiganya mencerminkan tiga kemungkinan
dasariah, kesadaran[32],
alam, dan manusia. Masing-masing ketiganya menemukan manifestasinya dalam
agama Kristen, Materialisme, dan Islam. Segala jenis idiologi, filsafat, dan
ajaran-ajaran, sejak zaman dahulu hingga sekarang, bisa direduksi ke dalam
ketiga pandangan dasar mengenai dunia tersebut. Yang pertama mengambil
eksistensi ruh sebagai titik tolaknya, yang kedua mengambil eksistensi materi,
dan yang ketiga eksistensi simultan antara ruh dan materi. Jika hanya materi
yang ada, maka materialisme adalah satu-satunya filsafat yang muncul.
Sebaliknya, jika hanya ruh yang ada, maka manusia akan ada, dan hidup manusia
tak akan bermakna tanpa agama dan moralitas. Islam adalah sebutan bagi kesatuan
antara ruh dan materi, bentuk tertinggi dari manusia itu sendiri. Hidup manusia
menjadi lengkap hanya jika ia meliputi keinginan-keinginan fisik dan spiritual
mereka. Semua kesalahan manusia, jika tidak disebabkan oleh penolakan religius
terhadap pelbagai kebutuhan biologis manusia, maka pasti disebabkan oleh
pengingkaran materialistik terhadap keinginan-keinginan spiritual manusia.[33]
Cara
memandang dunia dan manusia sebagaimana disebutkan di atas sangat mempengaruhi
pemberian makna demokrasi dan pelaksanaan demokrasi itu sendiri. Dari dasar
titik tolak pemikiran yang berbeda, tidak diragukan akan menghasilkan pemikiran
tentang demokrasi yang berbeda pula, baik dari segi isi maupun mekanismenya.
Negara liberalisme menyingkirkan hak istimewa terhadap kebenaran. Keragaman
pandangan bukan hanya perlu ditoleransi, melainkan juga harus didorong. Hanya
dengan keragaman tersebut, pandangan yang benar, kalaupun ada, akan ditemukan.
Upaya membatasi aneka dagangan intelektual yang dijajakan bakal berakibat pada
pembatasan pilihan konsumen. Dan apabila pilihan terbatas, kita takkan dapat
berbelanja sesuka hati. Padahal, pasar gagasan harusnya dibuat seperti pasar
bebas. Pembatasan hanya akan menghilangkan produk terbaik yang kita perlukan.
Masyarakat harus bisa secara langsung merasakan keragaman.[34]
Pandangan yang demikian ini dijabarkan dalam pemilihan langsung dalam memegang
kekuasaan dalam pemerintahan. Jadi sisi materialisme yang lebih ditonjolkan,
dan memandang politik adalah suatu gejala sosial (materialisme).
Paham libral yang menjadi ideologi kehidupam masyarakat industri Barat saat
ini sangat mempertahankan hak-hak individu dan cenderung melenyapkan argumen
bahwa tindakan privat dapat mempunyai konsekuensi publik. Agama cederung
didorong eksis ke bidang privat dan seolah-oleh tidak mempunyai konsekuensi
publik. Dalam kasus ini ada pemisahan yang tegas antara agama dan negara.
Dengan demikian kalau liberalisme membutakan diri terhadap argumen bahwa
aktivitas privat mempunyai konsekuensi publik, maka secara otomatis
liberalisme bermusuhan dengan klaim bahwa kelembagaan agama barang kali
memiliki hak-hak dan fungsi-fungsi publik.[35]
Grayson Kirk mengatakan tentang arti pentingnya suatu kebenaran, beliau mengatakan
kekuatan semata-mata, walaupun mutlak diperlukan, tidaklah cukup. Mereka yang
tampaknya membaktikan diri untuk penaklukan, apakah untuk tujuan politik
ataupun militer, tidak terhalang seruannya oleh konsepsi kuno tentang kebenaran
dan etika. Konsepsi ini dianggap sebagai gagasan borjuis yang usang. Namun,
dalam perjalan panjang, kecuali jika seluruh pelajaran sejarah itu salah,
justru konsepsi inilah senjata pertahanan kita yang paling ampuh. Kebenaranlah
yang masih akan, dan senantiasa, membuat manusia bebas.[36]
Bagaimana melihat makna dari sikap terhadap manusia adalah semua orang
diciptakan sama, bahwa mereka semua dikaruniai oleh Sang Pencipta suatu hak
yang tidak bisa dilanggar oleh orang lain, yang dengannya mereka hidup, bebas,
dan mencari keba-hagiaan. Untuk menjaga hak-hak ini, pemerintah dibentuk di
antara sesama manusia, di mana kekuasaan mereka yang sebenarnya berasal dari
persetujuan rakyat atau mereka yang diperintah.[37]
Sikap terhadap manusia bersumber dan sangat dipengaruhi oleh pemahaman
terhadap makna manusia itu sendiri. Pemahaman terhadap manusia itu sebagai
penentu kebenaran dan pusat kebenaran akan melahirkan sikap dan perlakuan
terhadap manusia itu pula. Dari situ akan terlahir makna demokrasi yang dari
segi substansinya ada dua hal, yaitu (a) persamaan[38],
dan (b) gagasan bahwa pemerintah memerlukan persetujuan rak-yat.[39] Dua hal inilah yang mencirikan makna demokrasi yang amat
berkaitan erat dengan hak asasi manusia yang menjadi teori yang dianut pada
abad ke 18 dan ke-19. Tetapi apa-bila manusia dipahami sebagai makhluk Tuhan
yang tunduk pada aturan-aturan Tuhan, maka akan lahir sikap demokrasi yang
agamais, di mana pemilik kekuasaan adalah Tuhan. Semua manusia, baik pemimpin
maupun yang dipimpin adalah bertujuan untuk menjalankan kebenaran yang
ditentukan oleh Tuhan. Dalam hal ini, hak istimewa kebenaran berada di tangan
Tuhan. Jadi, pemimpin sebagai pemegang kekuasaan hubungan antar manusia dipilih
dari seluruh rakyat. Jadi justifikasi penguasa atau pemimpin adalah sepanjang
ia menjalankan tugasnya sesuai dengan kebenaran yang ditetapkan oleh Tuhan,
apabila menyimpang rakyat berhak untuk menjatuhkannya. Dalam hal yang demikian,
maka penguasa atau pemimpin adalah haruslah memiliki kualitas manusia yang
berdi-mensi dua, yaitu kualitas intelektualnya yang tangguh dan penghayatan
agamanya yang bersih, jujur dan andal.
Menurut teori medieval, sebagaimana diungkapkan oleh Funkenstein yang
dikutip oleh Leman, dalam bentuk terbaiknya negara akan dipimpin oleh imam yang
sekaligus filosof. Statusnya sebagai imam merefleksikan kemampuannya memahami
sifat agamais realitas. Tanpa kemampuan itu, ia tidak akan mampu mendirikan
pemerintahan yang dapat memelihara segi ruhani masyarakat. Dia juga haruslah
merupakan filosof yang mampu memahami bentuk pemerintahan yang sempurna secara
rasional. Imam berkemampuan seperti seorang nabi dalam melukiskan berbagai
kebenaran agamais dan rasional secara imajinatif dan menarik kepada khalayak
luas.[40] Negara yang demikian adalah ini adalah
bersifat organis. Ia adalah satuan yang diarahkan untuk memenuhi aspek-aspek
materiil ataupun sprititual kehidupan manusia. Ruang lingkup individualistas,
karenanya, sangat dikekang. Dan, karena hanya ada satu rute sejati menuju
kebenaran yang sudah dipatok, upaya untuk mengabaikan atau menolaknya (dalam
bentuk oposisi) menjadi sia-sia belaka. Mengabaikan dan menolak bahkan
dianggap sebagai perilaku menyimpang. Dan individu seperti ini tidak boleh
merusak harmoni negara ataupun menghalangi khalayak dari kebenaran.
Hal yang demikian itulah yang menjadi cita-cita politik Islam, Dalam Islam
boleh saja ada toleransi dan keragaman pendapat, tetapi harus dibatasi.
Membiarkan oposisi kebenaran berkembang sedemikian rupa sehingga sehingga
mengungguli negara (peran) negara tidaklah tepat. Negara sudah semestinya
bertindak kebapakan (paternal)
terhadap warga dan mengarahkan mereka pada apa yang sebaiknya diperbuat. Toh,
agama tidak lagi diperlukan apabila semua orang sudah tahu apa yang sebaiknya
diperbuat. Dan bim-bingan menjadi mubazir adanya. Justru karena bimbingan itu
sedemikian pentingnya, mau tak mau negara harus berada di bawah naungan
agama.
Teori medieval di atas, kelihatannya dapat dijadikan dasar dalam membentuk
demokrasi di Indonesia, karena dinilai bersesuaian dengan pandangan falsafah
bangsa Indonesia yang menempatkan Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai causa prima dari sila-sila Pancasila
lainnya. Ratio legis dari Ketuhanan Yang Maha Esa adalah identik dengan agama.
Jadi dalam kajian akademis, dalam pandangan falsafah Pancasila negara dan agama
adalah satu kesatuan yang tidak terpisahkan.[41]
Dari tiga bahasa pernyataan terlihat bahwa hal yang paling esensial dari
makna demokrasi sebenarnya terletak pada bahasa pernyataan normatip yakni
tentang kebenaran. Keberanan inilah yang akan mempengaruhi makna demokrasi
dari segi bahasa pernyataan deklaratif mau pun pernyataan optatif. Artinya
kebenaran yang dianut oleh suatu masyarakat akan menentukan makna demokrasi
dari segi bahasa pernyataan deklaratip dan bahasa pernyataan optatif. Oleh
karena itu mekanisme demokrasi tidak dapat ditunggalkan dalam satu pengertian
yang uniform, tetapi amat berbeda pada satu masyarakat tertentu dengan
masyarakat lainnya.
D.
Simpulan
Isi
ontologi demokrasi mengandung tiga hal prinsip yaitu (a) kebenaran dan sikap
terhadap manusia (b) mencapai kesenangan hidup dan (c) kebebasan manusia. Jadi,
ontologi demokrasi adalah memperoleh dan menggunakan kekuasaan berkenaan sikap
terhadap manusia dalam suatu kehidupan bersama demi mencapai kesenangan hidup
yang didasarkan pada nilai kebenaran.
Ontologi
demokrasi dalam tataran konsep berlaku universal, namun dalam tataran
operasional ontologi demokrasi amat parsial yang sangat dipengaruhi oleh makna
kebenaran dan makna manusia serta sikap terhadap manusia yang dianut oleh
masyarakat tertentu. Oleh karena itu, dari tataran operasional demokrasi dari
segi pernyataan dek-laratif dan optatif dapat berubah-ubah mengikuti bahasa
pernyataan normatip yaitu yang kekaitan dengan makna kebenaran dan makna sikap
terhadap manusia yang dianut oleh masyarakat tertentu.
Berdasarkan
kajian akademis, adalah tidak bijaksana bila dalam tataran opera-sional,
demokrasi diberlakukan secara universal. Misalnya menunggalkan konsep
pemaknaan demokrasi secara operasinal berdasarkan demokrasi liberal saja [42]
atau sosialis saja atau bahkan pluralis saja. Situasi, kondisi, dan nilai kebenaran
yang dianut suatu masyarakat adalah tolok ukur yang paling menentukan
operasional demokrasi. Menghargai pemaknaan dan pelaksanaan demokrasi dari operasionalnya yang beraneka ragam itu
adalah salah satu bentuk dari tindakan demokrasi yang sejati. Sebab demokrasi
dalam tataran realitasnya sesungguhnya adalah menghargai keanekaragaman yang
ada. Bukankah keanekaragaman itulah sebenarnya ujud kehidupan dunia yang
objektip dan hal yang demikian itu adalah kebenaran yang esensial yang tak
dapat dipungkiri.
Dengan
demikian, tidaklah tepat bila demokrasi harus diformulasikan dalam suatu bentuk
dan mekanisme yang seragam di seluruh dunia. Adalah
tidak demokratis apabila menunggalkan pemaknaan dan penerapan demokrasi di
seluruh dunia. Hal ini sangat bertentangan dengan ontologi dari demokrasi itu
sendiri.
DAFTAR KEPUSTAKAAN
Adam Kuper & Jessica Kuper, 2000, Ensiklofedi Ilmu-Ilmu Sosial, Raja
Grafindo Persada, Jakarta.
Arif
Budiman, 1993, Agama, Demokrasi dan
Keadilan, dalam Iman Aziz dkk,
“Agama, De-mokrasi dan keadilan”, Gramedia Pustaka Jaya, Jakarta.
‘Alija
‘Ali Izetbegovic, 1992, Membangun Jalan
Tengah Islam antar Timur dan Barat, Mizan, Bandung.
Bernard
Delfgaauw, 2001, Filsafat Abad 20,
Tiara Wacana Yogyakarta.
Bur
Rasuanto, 2005, Keadilan Sosial,
Pandangan Deontologis Rawls dan Hebermas Dua Teori Filsafat Politik Modern,
Gramedia Pustaka Utama.
Budiono
Kusumohamidjojo, 2004, Filsafat Hukum
Problematik Ketertiban yang Adi, Grasindo, Jakarta.
Carol
C.Gould, 1989, Demokrasi Ditinjau Kembali,
Tiara Wacana Yogyakarta.
Cipta
Adi Pustaka, 1993, Ensiklopedi Nasional
Indonesia, jilid 4, Jakarta.
Francis
Fukuyama, 2002, Trust, Qalam, Yogyakarta.
Heru
Nugroho,2001, Negara, Pasar, dan Keadilan
Sosial, Pustaka Pelajar, Yogjakarta.
Jalaluddin Rahmat, 1993, Islam dan Kekuasan: Aktor atau Instrumen, dalam M.Imam Aziz dkk, “Agama Demokrasi &
Keadilan”. Gramedia Pustaka Jaya, Jakarta.
Jerry D.Gray, 2004, Fakta
Sebenarnya Tragedi 11 September, Sinergi Publishing, Jakarta.
Jimly Asshiddiqie, 2004, Konstitusi & Konstitualisme Indonesia, Mahkamah Agung RI
kerjasama dengan Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas
Indonesia, Jakarta.
John
L.Esposito,1990, Islam dan Pembangunan,
Rineka Cipta, Jakarta.
Richard M.Ketchum (ed), 2004, Demokrasi Sebuah Pengantar, Niagara, Yogyakarta.
Robert A.Dahl, 1992, Demokrasi
Ekonomi Sebuah Pengantar, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta.
Robert
A.Dahl, 2001, Perihal Demokrasi
Menjelajahi Teori dan Praktek Demokrasi Secara Singkat, Yayasan Obor Indonesia,
Jakarta.
Masykuri
Abdillah,1999, Demokrasi di Persimpangan Makna, Respons Intelektual Muslim Indonesia
terhadap konsep Demokrasi (1966-1993), Tiara Wacana Yogya.
Muchsin,
Fadillah Putra, 2002, Hukum dan Kebijakan
Publik, Analisis atas Praktek Hukum dan Kebijakan Publik dalam Pembangunan
Sektor Perekonomian di Indonesia, Averros Press, Malang.
Muladi,
2002, Demokratisasi, Hak Asasi Manusia,
dan Reformasi Hukum di Indonesia, The Habibie Center, Jakarta.
Sukarna,
1981, Kekuasan Kediktatoran dan
Demokrasi, Alumni Bandung.
Sunyoto
Usman, 2003, Pembangunan dan Pemberdayaan
Masyarakat, Pustaka Pelajar, Jogjakarta.
Oliver
Leaman, 2002, Pengantar Filsafat Islam,
Sebuah Pendekatan Tematis, Mizan, Bandung.
YB
Mangunwijaya,1993, Kosmologi Baru, Agama
dan Demokratisasi Bangsa, dalam M.Imam Aziz dkk, “Agama Demokrasi &
Keadilan”, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
[1] Muladi, Demokratisasi, Hak
Asasi Manusia, dan Reformasi Hukum di Indonesia, The Habibie Center, Jakarta, 2002, hlm. 28.
[2] Secara teoritis, Pengaruh politik terhadap hukum sangat terasa kuat
sekali khususnya pada pemikiran yang menganut aliran legisme yang menyatakan di
luar undang-undang tidak ada hukum. Berdasarkan ajaran Trias Politika, bahwa
pembuat undang-undang adalah Dewan Perwakilan Rakyat yang pada dasarnya berasal
dari politik. Oleh karena itu, berdasarkan aliran legisme ini wajar bila
gejolak dan perkembangan di bidang politik mempengaruhi pula bidang hukum.
[3] Perubahan ketiga disahkan pada tanggal 10 November 2001.
[4] Bernard Delfgaauw, Filsafat
Abad 20, Tiara Wacana Yogyakarta, 2001, hlm.
173-174.
[5] Ibid.
[6] Robert A.Dahl, Perihal
Demokrasi Menjelajahi Teori dan Praktek Demokrasi Secara Singkat, Yayasan
Obor Indonesia, Jakarta, 2001, hlm.,
24.
[7] Bur Rasuanto, Keadilan
Sosial, Pandangan Deontologis Rawls dan Hebermas Dua Teori Filsafat Politik
Modern, Gramedia Pustaka Utama, 2005, hlm.,
211.
[8] Konsekwensi bahwa demokrasi adalah produk masyarakat dan bagian
kebudayaan maka dimungkinkan terdapat perbedaan makna demokrasi pada suatu
masyarakat dengan masyarakat lainnya. Pemaknaan ini akan dipengaruhi oleh
pengertian kebenaran, nilai, yang dianut oleh suatu masyarakat tertentu.
Keyakinan masyarakat terhadap sesuatu yang benar sangat pula dipengaruhi oleh
keyakinan masyarakat itu sendiri, yaitu kebenaran yang ditentukan oleh Tuhan,
ada pula kebenaran yang di dasarkan oleh kemampuan akal manusia semata-mata
terlepas dari Tuhan.
[9] Richard M.Ketchum (ed), Demokrasi Sebuah Pengantar, Niagara,
Yogyakarta, 2004, hlm., 9.
[10] Adam Kuper & Jessica Kuper, Ensiklofedi Ilmu-Ilmu Sosial, Raja
Grafindo Persada, Jakarta, 2000, hlm 214.
[11] Istilah keadilan dalam konteks ini lebih
diartikan sebatas pada persamaan. Lihat Jalaluddin Rahmat, Islam dan Kekuasan: Aktor atau Instrumen? dalam M.Imam Aziz dkk,
“Agama Demokrasi & Keadilan”, Op.cit,
hlm. 63.
[12] Richard M. Kitchum, Op.cit.,
hlm., 36-37.
[13] Carol C.Gould, Demokrasi
Ditinjau Kembali, Tiara Wacana Yogyakarta, 1993, hlm., 31
[15] YB Mangunwijaya, Kosmologi
Baru, Agama dan Demokratisasi Bangsa, dalam M.Imam Aziz dkk, “Agama
Demokrasi & Keadilan”, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1993, hlm., 10
[16] Francis Fukuyama, Trust,
Qalam Yogyakarta, 2002, hlm., 56-57.
[17] Adam Kuper, Log.Cit.
[19] Cipta Adi Pustaka, Ensiklopedi
Nasional Indonesia, jilid 4, Jakarta,
1989, hlm., 293.
[20] Ibid.
[21] Arif Budiman, Agama,
Demokrasi dan Keadilan, dalam Iman
Aziz dkk, “Agama, Demokrasi dan keadilan”, Gramedia Pustaka Jaya, Jakarta,
1993, hlm. 26
[22]
Sukarna, Kekuasaan Kediktatoran
dan Demokrasi, Alumni Bandung, 1981, hlm.,
63.
[23] Carol C.Gould, Op.cit., hlm. 92-93.
[24] Ibid., hlm.,
4
[25] Ibid.
[26] Ibid., hlm 8-9.
[27] Ibid., hlm. 6-7
[28] YB Mangunwijaya, Op.cit, hlm., 16
[29] Masykuri Abdillah, Demokrasi di Persimpangan Makna, Respons
Intelektual Muslim Indonesia terhadap konsep Demokrasi (1966-1993), Tiara
Wacana Yogya, 1999, hlm, 75
[30] Hal ini dipengaruhi dari perhatian dunia terhadap penekanan
perlindungan hak asasi manusia tidak saja diarahkan pada hak politik, hak sipil
tetapi juga kepada hak ekonomi, sosial, dan budaya dalam upaya mencapai
kesenangan hidup. Kesenangan hidup itu sendiri ada yang menonjolkan segi materi
semata-mata, tetapi ada juga yang menonjolkan segi materi segaligus segi
rohani. Penonjolan pencapaian kesenangan hidup ini juga dipengaruhi dari
padangan terhadap manusia, ada manusia yang dipandang dari segi materi
semata-mata tetapi ada yang memandang manusia adalah terdiri dari materi dan
roh.
[31] Grayson Kirk, dalam Richard M.Ketchum (ed), Demokrasi Sebuah Pengantar, Op.cit.,
hlm., 6.
[32] Kesadaran adalah berkenaan dengan eksistensi manusia sebagaimana
terbukti dari pernyatan Rene Decartes, yang menyebutkan cogito ergo sum. Saya berpikir, maka saya ada.
[33] ‘Alija ‘Ali Izetbegovic, Membangun
Jalan Tengah Islam antara Timur dan Barat, Mizan, Bandung, 1992, hlm. 21
[34] Oliver Leaman, Pengantar
Filsafat Islam, Sebuah Pendekatan Tematis, Mizan, Ban-dung, 2002, hlm., 149
[35] Heru Nugroho, Negara, Pasar,
dan Keadilan Sosial, Pustaka Pelajar, Yogjakarta, 2001, hlm., 146.
[36] Dalam Richard M.Ketchum (ed), Op.cit.
hlm. 6
[37] Ibid,, hlm.,22.
[38] Dalam pemaknaan demokrasi persamaan yang dimiliki oleh setiap orang
berakibat setiap orang mempunyai kebebasan khususnya dalam bidang ekonomi.
Artinya persamaan politik diwujudkan bentuk kebebasan ekonomi. Sehingga ada
sebagaian penulis menyebutkan bahwa isi dari demokrasi adalah (a) kebebasan dan
(b) rakyat adalah sumber kekuasaan. Merupakan suatu argument yang terkenal di
Amerika Serikat bahwa suatu klaim bagi kebebasan ekonomi sama sahihnya dengan
klaim terhadap kebebasan politik, atau persamaan politik, Robert A.Dahl, Demokrasi Ekonomi Sebuah Pengantar,
Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 1992, hlm.,
38
[39] Robert A.Dahl, Perihal Demokrasi
Menjelajahi Teori dan Praktek Demokrasi Secara Singkat, Yayasan Obor Indonesia,
Jakarta, 2001, hlm., 30-31.
[41] Secara empirik juga terlihat bahwa adanya keterkaitan antara agama
dengan negara di Indonesia,
ditandai banyaknya partai politik berbasis agama dan keberadaannya diakui oleh
undang-undang yang berlaku di Indonesia.
[42] Sebagamana yang gencar dilakukan oleh Amerika Serikat dalam
globalisasi saat ini, yang mencoba menunggalkan pemaknaan dan pelaksanaan
demokrasi di seluruh belahan dunia melalui jalur budaya, ekonomi, hukum dan
pendidikan. Menurut pakar pendidikan Amerika Serikat, Damon Anderson, pada
Seminar Internasional Bahasa dan
Pendidikan Kunci Kerhasilan Pencerdasan Bangsa Dalam Globalisasi yang
diselenggarakan pada tanggal 12-13 Juli 2005 Unimed Medan, yang menyatakan
bahwa Amerika Serikat yang mempengaruhi globalisasi dunia dengan kekuatan
ekonomi, hukum, budaya, dan pendidikannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar