Senin, 04 Januari 2016

KEBEBASAN HAKIM



KEBEBASAN HAKIM




 “Mudah-mudahan beliau (adil), saya yakin, beliau ini  kan perwujudan Tuhan berbentuk manusia. Oleh karena itu, saya mohon keadilan dari beliau-beliau” Tutur Waryono Karno Sekretaris Jenderal Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) sesaat sebelum sidang (Forum Keadilan  Tahun XXIV/21-27 September 2015).



Pernyataan seperti itu,  acap kali dilontarkan seseorang manakala sedang berperkara di pengadilan. Pernyataan itu sudah awam didengar; tapi bila direnungkan, pernyataan itu sesungguhnya sarat makna dan mengandung unsur filosofis. Sesungguhnya pernyataan itu adalah bentuk gugatan moral terhadap summum bonum (The Supreme Good) hakim,   secara praktis gugatan itu ditujukan pada kebebasan hakim.  



Dalam lintasan sejarah pemikiran manusia, kata kebebasan tidak habis-habisnya diperdebatkan baik di bidang politik maupun hukum. Dalam arena hukum, perdebatan tentang kebebasan menjadi kajian filsafat hukum yang masih relevan hingga saat ini; apalagi bila dikaitkan dengan upaya mencari keadilan.   Tulisan ini mencoba membahas secara ringkas kebebasan hakim secara proporsional tanpa ada tendensi apapun terkecuali hanya suatu analisis hukum dari perhati hukum yang  peduli terhadap prilaku hukum  yang terjadi di tengah-tengah kehidupan sehari-hari.




Hakim dan peradaban

Hakim adalah ujung tombak terwujudkan hukum dan keadilan. Tugas dan fungsi hakim pada hakikatnya adalah meraih tujuan sejati hukum yakni keadilan di dalam pengadilan. Tidak ada bangsa yang beradab tanpa peradilan yang baik. Secara klasik ungkapan ini di tulis oleh  Aeshylus dalam bukunya “Eumenides” dan tulisan Sophocles dalam bukunya “Antigone”; masing-masing mengatakan : “seruan  untuk menghormati hukum sebagai pelindung utama dari ketertiban perdamaian dan keimbangan di negara. Suatu kepercayaan pada kemajuan suatu masyarat yang beradab dan yang dikuasai oleh perturan-peraturan hukum, yang bijaksana di atas anarchi dan tirani yang merajalela”. Jadi tak diragukan lagi, posisi hakim menentukan dan mencerminkan suatu peradaban bangsa.



Dalam bangunan negara hukum kebebasan hakim mutlak diperlukan. Untuk itu, ada dua prasyarat bagi seorang hakim dalam menjalankan tugas dan fungsinya, yaitu: (a) memiliki moralitas terpuji dan (b) intelektualitas hukum yang paripurna. Heraklitus pernah mengingatkan: tragedi manusia yang terbesar  terletak pada moralitas dan bahwa mereka yang mempunyai pengetahuan atau kebajikan tidak memilki bagian, atau bagian yang efektif dalam kekuasaan. Oleh karena itu, moral dan intelektual menjadi tolok ukur hakim yang mempengaruhi secara langsung fungsi pengadilan sebagai pembentuk peradaban.



Kebebasan hakim perlu diawasi?

Kebebasan hakim menjadi kata kunci tegaknya hukum dan keadilan di pengadilan. Hal itu sesuatu yang objektif karena ditentukan undang-undang. Pernyataan ini kelihatannya sudah final dan tidak perlu diperdebatkan lagi bila didekati melalui pendekatan positivis legis. Tapi, benarkah begitu? Kenyataannya banyak gugatan terhadap kebebasan hakim. Terlebih-lebih lagi manakala hakim melakukan terobosan hukum yang dinilai mencederai keadilan moral dan keadilan masyarakat. Dari fakta itu timbul pertanyaan, pelukah hakim di awasi dalam merealisasikan kebebasannya? Pertanyaan ini dapat dijawab melalui tiga hal. Pertama, bagaimanakah “sikap” hakim terhadap kebebasannya? Kedua, bagaimana “seharusnya sikap”  hakim terhadap kebebasannya? Ketiga, bagaimana meralisasikan lebih jauh potensi dan kemampuan kebebasan yang dimilikinya?.



Hal pertama, tidak dapat dipungkiri, kebebasan hakim sesungguhnya berkaitan dengan implementasi kekuasaan untuk menegakan hukum dan keadilan.  Untuk itu, “sikap” hakim adalah objektif, fair, terlepas dari prasangka, terlepas dari kepentingan pribadi, kelompok maupun kepentingan penguasa. Hakim adalah saksi yang paling menentukan dari perkara yang ditanganinya. Untuk ini, hakim pada posisi mendengar, melihat dan merasakan apa yang terjadi dalam pesidangan. Aristoteles mengingatkan, seorang hakim yang mengambil tindakan in concreto hendaknya mengambil tindakan seakan-akan ia menyaksikan sendiri peristiwa konkret yang diadilinya. Dalam hal ini kebebasan hakim adalah pasip. Hakim harus bersikap menerima semua masukan kemudian mencernanya sesuai dengan konteksnya; dia tidak boleh keluar dari kontek. Apabila hal ini dilanggar sudah dipastikan akan terjadi bias dari apa yang disaksikannya. Sikap hakim yang demikan itu berasal dari undang-undang (hukum yang dibuat oleh manusia).  Oleh karena itu, agar sikap hakim tetap pada jalurnya, kebebasan hakim perlu diawasi, jika tidak ia akan menjadi tirani dan anarchi yang berlindung dibalik undang-undang.

  

Hal kedua, bagaimana hakim “seharusnya bersikap” atas kebebasan yang dimilikinya dalam mengadili suatu perkara. Untuk ini dapat dilihat dari ketentuan undang-undang mengatakan setiap putusan hakim wajib mencantumkan irah-irah: “Demi Keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. Irah-irah ini mengandung norma moral, kesusilaan yang tertinggi, dan mengandung norma hukum yang berisikan unsur wajib, yakni  “hakim harus!”. Dalam hal ini, hakim terikat pada keharusan yang ditetapkan oleh Tuhan. Keharusan itu adalah menegakan keadilan bagi diri sendiri, keluarga dan masyarakat.  Jadi ada keterkaitan erat antara hakim dengan Tuhan. Dalam hal ini kebebasan hakim adalah suatu amanah yang harus dipertanggungjawabkan tidak saja kepada negara tetapi juga kepada Tuhan Yang Maha Esa.  



Pemahaman terhadap keterkaitan hakim dengan Tuhan sangat berpengaruh langsung terhadap “keharusan sikap hakim”  terkait kebebasannya. Dalam hal ini ada dua segi memandang kebebasan hakim. Dari segi konseptual dan dari segi eksistensial hakim. Dari segi konseptual, kebebasan itu adalah tanpa batas, apalah arti kebebasan kalau harus dibatasi? Kalau kita mau konsekuen dengan pengertian kebebasan secara konseptual. Jika kita larut pada pengertian kebebasan konseptual, tidak dapat dipungkiri posisi hakim beralih menjadi Tuhan dalam menyelesasikan perkara yang dihadapinya. Dalam hal ini seakan hakim identik dengan Tuhan. Pada situasi demikian, hakim dapat menjadi tyrani dan anarchie dalam mengoperasonalisasikan kebebasannya. Sejarah peradaban umat manusia membuktikan, jika hakim berpegang teguh pada kebebasan konseptual semata-mata telah terjadi tragedi manusia yang terbesar bagaimana martabat manusia diluluhlantakkan. Fir’aun contohnya. Dia merasa memiliki kebebasan tanpa batas, akibatnya bertindak secara semena-mena dan meluluhlantakkan martabat manusia yang klimaksnya menyatakan dirinyalah Tuhan.



Cukupkah hakim mendasarkan diri pada pengertian otonominya secara konseptual saja? Pembatasan macam ini tidak hanya kurang seibambang tetapi juga tidak sesuai dengan pengalaman dirinya yang eksistensial. Jadi, kebebasan harus juga dipandang sisi eksistensial hakim sebagai bagian dari segi eksistensialnya selaku manusia. Dalam hal ini hakim harus bersikap benar-benar wakil Tuhan; sebagai wakil Tuhan dia memiliki kebebasan yang terbatas dan bertujuan, dia juga bagian dari ciptaaan Tuhan yang mempunyai kelemahan dan keterbatasan. Oleh karena itu, hakim dalam menegakan hukum dan keadilan haruslah tidak lepas dari kontrol wakil Tuhan lainnya, yakni manusia lainnya yang bukan hakim yang memiliki intelektualitas hukum tetapi tidak memiliki kekuasaan hukum. Bukankah manusia secara umum adalah wakil Tuhan di dunia ini? Lagi pula dalam konteks negara hukum tidak ada kekuasaan negara yang tidak diawasi sebagaimana yang terkandung dalam prinsip cheks and balances sebagai prinsip negara demokratis.



Terakhir, bagaimana hakim merealisasikan potensi dan kemampuan kebebasannya? Syarat utamanya adalah hakim harus benar-benar memahami, bukan sekedar tahu posisinya dalam menangani sengketa yang dihadapkan kepadanya. Hakim haruslah memahami kebebasan yang dimilikinya diperuntukkan sebesar-besarnya diabdikan pada perlindungan harkat dan martabat manusia. Artinya hakim dalam mengoperasi-onalisasikan kebebasannya memberikan keadilan di antara manusia, bukan keadilan hanya ada pada yang setara; karena  sejarah tragedi keberadaan manusia sepanjang sejarah terletak pada yang kuat mengambil apa yang diinginkannya, dan yang lemah menyerahkan apa yang harus diserahkannya.  Hakim dalam menangani perkara berhadapan dengan manusia bukan berhadapan dengan benda-benda mati. Untuk itu, hakim dituntut mengembangkan potensinya semaksimal mungkin untuk menjaga, memelihara, melindungi dan menghormati  harkat dan martabat manusia. Intinya, dalam hal ini, hakim dituntut kepekaannya terhadap sisi kemanusiaan manusia sebagai mahkluk yang memiliki drajat tertinggi dari makhluk hidup lainnya.  



Tak sak lagi, dari apa yang diutarakan di atas, memahami kebebasan hakim tidaklah semata-mata dipahami dari segi konseptual, tetapi harus dipahami sisi eksitensialnya. Jadi, kebebasan hakim mengandung hak dan kewajiban. Untuk itu, secara alamiah, kebebasan hakim itu sendiri menuntut agar dirinya yakni “kebebasan itu sendiri” diawasi terkait pelaksanakan kewajibannya. Kata kuncinya: hakim adalah wadah keadilan bukan mata air keadilan; hakim adalah manusia bukan Tuhan. 


Tulisan ini dibuat pada  Majalah Forum Keadilan, No. 21, 11 Oktober 2015, h. 70-71.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar